Mohon tunggu...
Alif Syuhada
Alif Syuhada Mohon Tunggu... Penulis - Blogger

https://alifsyuhada.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Memutus Kemiskinan dengan Bantuan Sosial yang Mendidik ala PKH

17 Februari 2019   18:00 Diperbarui: 17 Februari 2019   18:14 523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : republika.com

Bantuan sosial kini memiliki citra negatif bagi sebagaian orang. Mereka menanggap bantuan kemiskinan membuat orang malas dan hanya menimbulkan ketergantungan. Anggapan ini muncul karena pembelanjaan bantuan hanya masuk pada sektor konsumtif semata. Ketika dana bantuan habis dikonsumsi, rakyat akan kembali mengharap uluran tangan pemerintah. Hal itu terjadi terus menerus sehingga menciptakan siklus ketergantungan tanpa ada upaya menjadi mandiri. 

Persoalan ini mengingatkan kita pada kisah pengemis tajir yang berbuntut respon publik menolak pemberian kepada pengemis. Bantuan seperti itu tentu akan sulit memutus rantai kemiskinan. Sebaliknya, kita justru memelihara kemiskinan dengan menciptakan ketergantungan.

Anggapan diatas nampak dilematis. Pada satu sisi kita hendak memberantas mental ketergantungan dengan tidak memberi bantuan, namun di sisi lain, kita akan terjebak mengeneralisir mereka yang benar-benar tidak mampu sehingga membuat mereka benar-benar menderita. Namun kini kita tidak usah gundah lagi. 

Dilema bantuan kemiskinan diatas telah ditangani dengan cerdas oleh Kemensos melalui Program Keluarga Harapan (PKH). Program ini layak kita andalkan sebagai tulang punggung pengentasan kemiskinan di Indonesia.

Oke, mari kita berkenalan dengan PKH. Program ini, Sebagaimana yang disebut dalam situs Kemensos, adalah bantuan sosial bersyarat (Conditional Cash Transfer) yang diberikan kepada Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang ditetapkan sebagai keluarga penerima PKH. Adanya klausa "bersyarat" menandakan bantuan tidak  diberikan secara cuma-cuma dan tanpa ada arahan. 

Kemensos mensyaratkan bantuan yang diterima oleh KPM digunakan untuk memperoleh fasilitas pendidikan dan kesehatan. Persyaratan ini adalah trobosan cerdas guna menanggulangi alokasi bantuan tidak jatuh pada hal yang konsumtif.

Strategi Kemensos untuk memutus rantai kemiskinan adalah dengan cara menyelamatkan anak si miskin. Hal ini bisa dilihat dari pilihan Kemensos pada pemenuhan kesehatan dan pendidikan anak sebagai syarat untuk memperoleh manfaat PKH. Menciptakan generasi yang sehat dan cerdas adalah solusi untuk mengakhiri siklus kemiskinan yang turun temurun.

 Anak yang berprestasi tentu akan mampu mengangkat ekonomi keluarganya. Generasi sehat dan cerdas akan mampu berdaya saing dan memaksimalkan berbagai potensi yang mendatangkan penghasilan layak baik melalui karier atau karya.

Pemerintah sangat optimis dengan keberhasilan program ini. Bahkan Presiden Joko Widodo mengharap kelak akan lahir presiden Republik Indonesia dari anak PKH. Jika harapan Jokowi terjadi, maka akan menjadi sejarah baru bagi Indonesia, dimana presiden lahir dari rakyat miskin biasa bukan dari kalangan keluarga yang sudah mapan secara ekonomi maupun status sosialnya di dunia politik nasional.

sumber : medcom.id
sumber : medcom.id
Mendidik dengan Bantuan Bersyarat dan Pendampingan

Mengubah pola pikir masyarakat di daerah miskin tentu bukanlah hal yang mudah. Coba saja tanyakan kepada mereka yang aktif mendampingi masyarakat baik dari kalangan lembaga swadaya masyarakat maupun pemerintah. Butuh kesabaran dan proses yang panjang mengajak masyarakat berubah, menerima kemajuan, dan meninggalkan kebiasaan yang kurang mendukung kesejahteraan. 

Menghadapi hal ini, Kemensos menyiapkan dua strategi yakni melalui kebijakan administratif dan tenaga pendamping PKH.

Kebijakan administratif ditempuh dengan cara menetapkan kriteria KPM. Kriteria peserta yang dapat menerima bantuan PKH adalah unit keluarga dengan ketentuan ;

1. Ibu hamil/nifas/anak balita,

2. Anak usia 5-7 tahun pra sekolah atau belum masuk pendididikan dasar,

3. Anak sekolah SD/MI/Paket A/SDLB (usia 7-12 tahun),

4. Anak sekolah SLTP atau sederajat (usia 12-15 tahun),

5. dan anak usia 15-18 tahun yang belum menyelesaikan pendidikan dasar.

Unit keluarga dipilih, yakni ibu atau perempuan dewasa, karena merekalah yang bertanggung jawab langsung atas kesehatan dan pendidikan anaknya.

Adanya hak dan kewajiban peserta turut menjadi faktor penting mengubah presepsi masyarakat untuk memperhatikan pendidikan dan kesehatan. Jika ditelisik, sebenarnya hak dan kewajiban yang ditentukan dalam PKH ini sama-sama menguntungkan karena keduanya mendorong pada peningkatan kesejahteraan. 

Hak yang diperoleh dari peserta PKH antara lain menerima bantuan tunai, pelayanan kesehatan Puskesmas, Posyandu, dan Polindes untuk ibu dan bayi, serta menerima pelayanan pendidikan untuk anak usia wajib belajar. Adapun kewajiban yang harus dipenuhi oleh peserta di bidang kesehatan meliputi pemeriksaan rutin balita di posyandu, imunisasi, pemberian vitamin pada bayi, serta pemberian ASI ekslusif untuk anak usia 0-6 bulan.

Persyaratan dalam bidang pendidikan meliputi kewajiban anak mengikuti dan menghadiri sekolah sesuai jenjangnya minimal 85%. Begitu pula dengan mereka yang menyandang disabilitas wajib mengikuti pendidikan non reguler yaitu SDLB atau SMLB. Sedangkan anak yang belum menyelesaikan pendidikan dasar wajib didaftarkan ke lembaga reguler dan non reguler. Adapun mereka yang telah cukup lama meninggalkan bangku pendidikan maka harus mengikuti program remidial.

Kemensos tidak tanggung-tanggung memastikan perubahan kongkrit terjadi pada rakyat miskin. Sebab itu, Kemensos tidak hanya cukup bersiasat di kebijakan administratif, namun juga menerjunkan pasukan-pasukannya ke desa. Pasukan kemensos ini adalah para pendamping PKH yang menjadi ujung tombak keberhasilan program. 

Tugas pendamping PKH meliputi pendataan KPM, memberikan motivasi dan penyadaran pentingnya pendidikan dan kesehatan, serta sosialisasi dan pemantuan program. Pendamping PKH diwajibkan untuk memastikan dana bantuan digunakan untuk kebutuhan memenuhi pendidikan dan kesehatan, bukan ke hal yang sifatnya konsumtif. Berhasil atau tidaknya PKH sangat dipengaruhi bagaimana kecakapan pendamping mempersuasi peserta program.

Pendamping PKH dituntut mampu menjadi sahabat KPM. Mereka harus mengiventarisir persoalan rakyat miskin, mengakrabi suasana batinya, serta harus mampu berpikir kreatif memberikan solusi. Tentu tugas ini tidak mudah dilakukan, namun para pendamping PKH mampu menjalaninya dengan penuh kesabaran. 

Tantangan yang mereka hadapi di lapangan bermacam-macam mulai dari menghadapi kemarahan warga yang tidak terdaftar hingga kejadian mengharukan hati saat menghadapi ibu-ibu renta berkaca-kaca mengetahui dirinya tidak lagi menerima bantuan sebab tidak memenuhi syarat. Berbagai macam situasi dan pergulatan emosi sangat memainkan perasaan hati sahabat kita yang mengabdi pada negara dan bangsa tersebut.

Tidak jarang para pendamping mendapatkan rasa kekeluargaan serta bahagia melihat ibu-ibu peserta program begitu antusias dengan kegiatan yang dilakukan para pendamping seperti senam lansia, senam pencegahan stroke dan penyakit jantung, maupun sosialisasi seputar program PKH, kesehatan dan pendidikan. 

Ungkapan rasa terimakasih yang diberikan oleh ibu-ibu KPM membayar lunas jerih payah pendamping yang terkadang harus bergelut dengan sulitnya medan tempuh desa-desa pelosok. Kisah semacam ini dapat kita baca di keluargaharapan.com.

Perpaduan antara kebijakan administratif yang mendidik serta peran pendamping terbukti memberikan perubahan besar. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka kemiskinan turun menjadi 9,66% per September 2018 dari posisi Maret sebesar 9,82%. Artinya orang miskin di Indonesia berkurang dari semula 25,95 juta orang menjadi 25,67 juta. 

Keberhasilan ini membuat Menteri Sosial Agus Gumiwang meyakini di akhir 2019 nanti angka kemiskinan turun menjadi 9%. Pemerintahan Jokowi-JK bahkan menambahkan alokasi bantuan PKH dari semula 19 triliun menjadi 38 triliun pada 2019 ini. Peserta program dapat menerima bantuan hingga 3,6 juta sampai 4 juta tergantung dengan keadaannya. Upaya ini dilakukan guna mempercepat penurunan angka kemiskinan.

Menciptakan Kesejahteraan yang Berkelanjutan

Bangsa kita memiliki rantai, tapi tentu bukanlah rantai kemiskinan. Rantai itu bernama "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab" terukir gagah di perisai burung Garuda. Memutus rantai kemiskinan tentu harus bersambut dengan membangun rantai kemanusiaan demi menciptakan kesejahteraan berkelanjutan. 

Rantai kemiskinan yang menjerat leher harus diganti dengan rantai gotong royong berupa suasana hidup warga yang saling mengulurkan tangan dan bahu membahu menciptakan kesejahteraan bersama secara mandiri. Hal itu dapat dimulai dengan menanamkan rasa gotong-royong kepada anak para penerima PKH.

Generasi anak penerima PKH yang cerdas tentu bukan hanya menjadi aset keluarga atau bangsa, melainkan juga lingkungan desanya. Kita dapat membayangkan jika generasi anak PKH itu kelak menjadi dokter, ilmuwan, insinyur, dan guru bersepakat memajukan kehidupan desanya. Tentu negara kita akan memiliki jutaan desa maju yang secara otomatis akan memperkuat kedaulatan bangsa dan negara itu sendiri.

Hal ini akan berbeda jika rasa gotong-royong tidak tertanam kuat pada generasi anak PKH. Setelah menjadi cerdas, mereka hanya akan berkarir atau mencari kerja di kota dan meninggalkan desanya. Tidak adanya rasa sosial menyebabkan kembali peningkatan angka urbanisasi dan kesenjangan antara kota dan desa. Kampung halaman mereka kembali menjadi terbelakang dan minim produktifitas sebab tidak ada anak muda cerdas yang mau memajukan desanya.

Jika Kemensos telah berhasil memutus kemiskinan melalui "bantuan" sosial PKH, maka menanamkan "rasa" sosial pada generasi anak PKH menjadi tantangan selanjutnya. Begitu pula juga dengan pendamping PKH. 

Jika kini dapat menampilkan berbagai prestasi anak penerima PKH kelak ditantang untuk menampilkan peran anak cerdas PKH terhadap kemajuan desanya. Melalui kebijakannya, Kemensos dapat menciptakan trobosan administratif menggalang anak PKH tersebut untuk memajukan desanya kelak saat sudah dirasa mampu. 

Begitupula dengan para pendamping PKH, dapat memulai untuk merajut hati lembut anak-anak tersebut menjadi rantai besi solidaritas yang kuat guna memajukan desanya. Dengan demikian, kita akan menciptakan kesejahteraan rakyat yang tiada putus-putusnya seperti rantai sila ke 2 di sepanjang Sabang hingga Merauke.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun