Mohon tunggu...
Aldentua S Ringo
Aldentua S Ringo Mohon Tunggu... Pengacara - Pembelajar Kehidupan

Penggiat baca tulis dan sosial. Penulis buku Pencerahan Tanpa Kegerahan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Refleksi untuk Amien Rais: Setiap Orang Ada Masanya, Setiap Masa Ada Orangnya

12 Mei 2020   10:24 Diperbarui: 13 Mei 2020   16:07 18945
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Amien Rais saat menjabat Ketua Majelis Pertimbangan Partai Dewan Pimpinan Pusat Partai Amanat Nasional (TRIBUNNEWS/DANY PERMANA)

Catatan dan refleksi untuk Amien Rais dan Partai Barunya.

Ketika mendapat kabar tentang seorang teman yang mengundurkan diri dari direksi perusahaan negara, saya mengirim WA menanyakannya. "Kenapa mundur, Bro? Ada apa?" demikian WA saya. Tak lama kemudian dia menjawab.

"Sudah cukuplah, Bang. Setiap orang ada masanya, setiap masa ada orangnya."

Lama saya termenung membaca jawabannya. Dia seorang direktur andal. Di kala devisi operasi perusahaan rugi, dia bisa melakukan upaya keuangan lainnya, termasuk mengelola asset, sehingga laporan akhir perusahaan untung. 

Artinya dia masih gagah dan cukup kompeten melakukan tugasnya. Namun dia menyadari bahwa masanya sudah cukup dan selesai. Biarlah orang lain yang melanjutkan tugasnya, mungkin mereka akan lebih baik, demikian argumentasi lanjutannya. Kondisi kesehatan dan pertimbangan keluarga menjadi alasan yang kuat untuk melakukan tindakan mundur dari jabatan itu. 

Sangat manusiawi dan sangat saya apresiasi. Tidak memaksakan diri untuk terus bertahan dalam jabatan dan peran itu, semua harus diakhiri. Elegan dan terhormat. 

Mundur ketika bersinar meninggalkan aura mekar dan aroma yang wangi. Janganlah tunggu sampai layu dan jatuh sendiri bagaikan bunga dan daun yang sudah mengering dan kerontang, lalu jatuh diterbangkan angin.

Tiba-tiba ingatan saya tentang itu muncul, ketika mengikuti perkembangan partai PAN dengan segala dinamika politiknya. Kemunduran Hanafi Rais dari PAN dan DPR mengindikasikan bahwa kemungkinan Amien Rais akan membentuk partai baru.

Betulkah dorongan dari ratusan DPD dan DPW untuk membentuk partai baru pecahan PAN? Mungkin ada rencana, namun selama belum deklarasi resmi, kita masih akan menduga-duga.

Sebelum dugaan tersebut terjawab tentu saja kita bertanya, kenapa partai baru harus dibentuk? Apakah tak ada lagi jalan rekonsiliasi akibat persaingan tajam dalam Kongres V Februari lalu? 

Kenapa nama Amien tidak lagi diikutkan dalam struktur yang baru? Apakah persoalannya dengan Zulkifli Hasan tak bisa lagi dikompromikan? Apakah pencantuman dan mengikutkan Hanafi dan Mumtaz Rais tidak cukup sebagai representasi keterwakilan Amien sebagai tokoh dan pendiri partai? 

Apakah ia merasa bahwa walaupun dua anaknya ikut dalam struktur partai, jika namanya tidak ada lagi, maka dia menganggap dirinya tak lagi diakui oleh Zulhas? Apakah ini yang membuat Hanafi mundur dari partai?

Mungkin pertanyaan ini bisa kita lanjutkan sampai besok pagi tak ada habisnya. Namun mari kita cermati perjalanan partai dan ketokohan Amien dalam politik pasca reformasi.

Setelah tumbang rezim Orde Baru Mei 1998, maka Majelis Amanat Rakyat (MARA) merasa perlu meneruskan cita-cita reformasi dengan mendirikan partai politik baru.

Amien Rais bersama 49 orang mendeklarasikan PAN pada 23 Agustus 1998 dan ia didaulat menjadi ketua umum pertama. Pendirinya antara lain Hatta Rajasa, Goenawan Mohamad, Faisal Basri, dan Alvin Lie.

Pada pemilu 1999, PAN memperoleh suara 7,4 persen dengan 34 Anggota DPR. Walaupun hanya memperoleh suara demikian, PAN berhasil menjadi penggerak utama partai berbasis Islam seperti PKB, PBB, PPP, dan PKS. 

Mereka membentuk poros tengah yang mendudukkan Gus Dur sebagai Presiden dan Megawati sebagai wakil presiden, walaupun PDIP keluar sebagai pemenang pemilu 1999. 

Pada Pemilu 2004, PAN memperoleh suara 6,4 persen 53 Anggota DPR. Dalam pilpres, Amien maju berpasangan dengan Siswono Yudo Husodo dan hanya memperoleh suara 14,66 persen di putaran pertama dan kalah. 

Pada 2009, PAN memperoleh 6 persen dan 43 Anggota DPR. Pada tahun 2014 PAN memperoleh 7,6 persen 48 Anggota DPR. Hatta Rajasa waktu itu ketua umum, maju dalam pilpres dengan paket Prabowo Subianto-Hatta Rajasa tapi kalah. Pada tahun 2019 PAN memperoleh suara 6,8 persen dan 44 Anggota DPR.

Gambaran perolehan suara dan peran para tokoh PAN tersebut di atas bisa kita lihat dan amati secara cermat, bagaimana peran dan ketokohan Amien dalam percaturan politik nasional dengan partai besutannya ini.

Ia memang hanya satu periode menjadi ketua umum. Namun ketua umum berikutnya Soetrisno Bachir, Hatta Rajasa, dan Zulkifli Hasan jilid pertama semua harus melewati restunya untuk bisa menjadi ketua umum.

Pada tahun 2020, jagoan Amien untuk jabatan ketua umum, Mulfachri Harahap, ternyata keok dan takluk dari Zulhas yang tak direstuinya, walaupun dia besannya.

Perjalanan politik ini menggambarkan betapa perkembangan PAN sebagai partai politik berjalan dan berkembang sejalan dengan dinamika politik Indonesia yang sedemikian dinamis, apalagi setelah reformasi. 

Peranan Amien dalam gonjang-ganjing politik selama masa transisi sampai kepada Sidang Umum MPR 1999-2002 yang melakukan amandemen sebanyak empat kali terhadap UUD 1945 yang banyak meninggalkan lubang yang ternganga di UUD 1945 kita telah usai. 

Perjalanan karier politiknya mulai dari dosen dan guru besar menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah dan terpilih sebagai Ketua Umum PAN pertama dan akhirnya sampai kepada jabatan Ketua MPR, sudah usai juga. Puncak keinginan dan hasrat  politik menjadi presiden sudah dijalaninya.

Pada Pilpres 2004 ketika pertama sekali dilakukan pemilihan langsung sebagai akibat hasil amandemen UUD 1945 yang ikut diprakarsainya, dengan pasangannya Siswono Yudo Husodo memperoleh suara 14,66 persen di putaran pertama dan tidak lolos ke putaran kedua. Pilpres itu juga sudah usai.

Yang teranyar adalah Kongres PAN V yang baru saja berlangsung berapa bulan, ketua umum yang menang bukan lagi yang direstuinya. Berarti budaya restu miliknya yang menjadi syarat kemenangan bagi Ketum PAN seperti tiga periode yang lalu juga sudah usai.

Lalu ketika semua masa keemasan itu dan perjalanan panjang itu sudah usai, apalagi yang mau dicari?

Seandainya partai baru terbentuk, siapakah yang akan menjadi ketua umumnya? Apakah Amien berniat kembali memimpin langsung dengan argumentasi atas desakan ratusan DPD dan beberapa DPW? 

Ataukah akan memberikan kesempatan kepada anaknya atau kader yang lain yang memimpin partai baru tersebut? Apakah pembentukan partai baru tidak akan mengulang sejarah Partai Matahari Baru dulu, dan kini tak ada lagi kabar beritanya? Atau apa yang akan terjadi?

Dengan posisi urutan kesembilan dari partai yang memiliki kursi di DPR yang memperoleh suara 6,8 persen suara dan 44 kursi di DPR untuk hasil Pemilu 2019 yang lalu, apakah kehadiran partai baru tidak akan memecah suara partai ini pada tahun 2024 mendatang yang bisa berakibat fatal terhadap partai lama dan partai baru?

Masih bisa kita perpanjang uraian dan pertanyaan-pertanyaan ini kepada Amien Rais dan para pendukungnya.

Namun kembali ke catatan awal, apakah ia masih merasa dirinya sebagai tokoh penting dan paling berpengaruh di PAN untuk memberikan arah dan restu kepada calon ketua umumnya? Boleh merasa baper. Namun lain dirasa, lain faktanya. Dan kini faktalah yang berbicara.

Jadi sebelum dipikirkan tindak lanjut perencanaan untuk membentuk partai baru, alangkah baik dan bijaknya untuk menimbang-nimbang baik buruknya, peluang, dan tantangannya. 

Jika masih mungkin berbaikan dan rekonsiliasi, kenapa tidak? Jika masih mungkin sebagai besan saling silaturahmi di bulan Ramadan ini dan Idul Fitri mendatang saling bermaaf-maafan, mohon maaf lahir dan batin, kenapa tidak dirajut lagi kebersamaan dulu?

Apakah amarah sudah tak terkendalikan lagi sehingga harus dipelihara dan dibiarkan membara sampai kiamat datang? 

Mungkin pertanyaan-pertanyaan ini terlalu banyak untuk dipikirkan. Namun kita harus kembali kepada harkat dan kodrat kita sebagai manusia yang tidak sempurna.

Selalu bisa keliru dan salah. Namun masalahnya bukan soal keliru dan salah, dan tidak berhenti di situ, namun bagaimana kita memperbaiki keliru dan salah, itu jauh lebih penting.

Untuk Amien Rais, sebaiknyalah kembali ke prinsip mulia dari seorang guru. Seorang guru akan bangga, jika muridnya lebih cerdas dan lebih pintar dari dirinya.

Mungkin sebagai guru di PAN, biarlah para muridnya akan lebih pintar dan cerdas mengelola partai ini menjadi partai modern dan maju ke depan. Daripada memikirkan mendirikan partai baru lagi seakan memutar waktu 22 tahun seperti 23 Agustus 1998 mendeklarasikan PAN.

Mungkin WA dari sahabat saya di awal catatan ini menjadi catatan dan refleksi untuk Amien Rais. Setiap orang ada masanya, setiap masa ada orangnya. 

Biarlah masa lalu yang panjang itu, bapaklah orangnya, dan bapak menjadi orangnya di masa itu. Namun kini, dan di sini saat ini, biarlah yang terpilih di Kongres V PAN itu yang menjadi orangnya di masa ini, dan masa ini memilih mereka menjadi orangnya.

Selamat merenung. Demikian catatan dan refleksi ini disampaikan. Mohon maaf lahir dan batin. Sekian dulu.

Terima kasih. Salam dan doa.
Aldentua Siringoringo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun