Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Sosok Artikel Utama

Keluh Ernest Prakasa, Kisah Volodymyr Zelensky, dan Gairah Giring Ganesha

26 Agustus 2020   08:20 Diperbarui: 27 Agustus 2020   05:56 2047
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Volodymyr Zelensky merayakan kemenangan di Pilpres Ukraina 2019 (Foto: AFP/Genya Savilov)

Saya ceritakan kisah Zelensky kepada khalayak pembaca bukan sekadar pamer informasi, bukan. Ini soal kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi atau menimpa kita dalam sejam mendatang. Jangankan sejam, sedetik saja sangat rahasia. Yang sehat bisa sakit, yang kaya bisa miskin, yang hidup bisa mati.

Apakah kisah Zelensky berakhir pahit atau manis? Sangat manis. Pelawak itu berhasil mengalahkan petahana dengan perolehan suara mencapai kisaran 73%. Komedian itu tidak punya pengalaman secuil pun di dunia politik. 

Beliau tidak pernah jadi bupati, tidak pernah jadi gubernur. Toh konstitusi di sana memang tidak saklek menyatakan bahwa calon presiden harus pernah menjadi pejabat publik. Tidak ada.

Bagaimana dengan pencalonan Giring? Vokalis yang mahir jingkrak-jingkrak di panggung itu naga-naganya sudah merasa diyakinkan Tuhan untuk maju sebagai capres. Pengalaman nihil. Satu-satunya pengalaman politik yang ia punyai adalah gagal melangkah ke Senayan. Partainya, PSI, juga tidak lolos ambang batas parlemen.

Giring Ganesha
Giring Ganesha
Mungkinkah Giring akan bernasib seperti Zelensky? Tunggu dulu. Aturan mengajukan capres di negara kita tidak sama dengan ketentuan pencapresan di Ukraina.

Di sini ada ambang batas pencalonan capres-cawapres. Tidak bisa satu parpol asal main usung calon. Ambil contoh pada Pilpres 2019 yang menggunakan UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Berikut bunyi Pasal 222 dalam UU tersebut yang mengatur tentang ambang batas pencalonan.

Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan peroleh kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.

Andai kata masih Undang-Undang itu yang digunakan sebagai aturan pencapresan pada Pilpres 2024, jelas pencalonan Giring hanyalah penggiringan mimpi. Seperti pungguk yang menggiring opini bahwa ia adalah pacar rembulan. Padahal, jauh jantung dari pantat.

Mengapa saya menyebut pencalonan Giring sebatas penggiringan mimpi? Realistis saja. Silakan lihat perolehan suara PSI pada Pileg 2019. Jangankan meraih 25% suara sah secara nasional, ambang batas parlemen yang hanya 4% tidak bisa dipenuhi PSI.

Jangankan meraih 20% kursi DPR, satu kursi saja tidak dapat diduduki. Itu masalah terbesar yang dimiliki oleh PSI jika memaksakan diri menggiring mantan vokalis Nidji.

Kalau ngeyel, mau tidak mau PSI harus berkoalisi dengan partai lain yang punya jumlah raihan suara yang signifikan. Bisa dengan PDI Perjuangan (19,33%), Golkar (12,31%), atau Gerindra (12,57%). Hanya saja, posisi tawar PSI harus cukup kuat untuk menyakinkan partai lain supaya sepakat mengusung Giring. Bisa? Mungkin bisa, tetapi kemungkinan tidak bisa jauh lebih besar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun