Jika ditelaah lebih jauh, fenomena ini mencerminkan masalah mendasar dalam masyarakat kita: minimnya lapangan kerja dan rendahnya tingkat kesejahteraan. Banyak pemuda seperti Asbun dan Bahlul yang terjebak dalam kemiskinan struktural, sehingga mereka melihat pekerjaan ilegal ini sebagai satu-satunya jalan untuk bertahan hidup.
Di sisi lain, pengguna sabu juga tidak lepas dari beban sosial-ekonomi. Sebagian besar dari mereka adalah pekerja kasar yang harus menghadapi tuntutan fisik tinggi, sementara pendapatan mereka tetap rendah. Mereka rela mengambil jam lembur demi mendulang upah yang berlipat. Dalam kondisi ini, sabu dianggap sebagai "solusi instan" untuk bertahan.Â
Maraknya peredaran sabu tidak semata-mata soal hukum atau kriminalitas. Ia adalah gejala dari masalah yang lebih besar: ketimpangan sosial, kurangnya lapangan pekerjaan, dan rendahnya kesejahteraan masyarakat. Selama akar permasalahan ini tidak diselesaikan, peredaran sabu akan terus berputar, seperti lingkaran setan yang digerakkan oleh mereka yang terdesak oleh kebutuhan hidup. Memerangi peredaran sabu bukan hanya soal menangkap kurir atau pengedar, tetapi juga menciptakan masyarakat yang lebih sejahtera, di mana tidak ada lagi orang yang rela menjual dirinya untuk barang haram.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H