Kita tidak akan move on dan tidak perlu move on. Duka tidak akan hilang, tapi kita lah yang bertumbuh.
Lagu karangan Sal Priadi meledak di hampir semua platform, mulai dari media sosial hingga pemutar musik. Gala Bunga Matahari benar-benar sukses mengunci telinga pendengar karena menjadi jembatan nostalgia yang epik bagi banyak orang. Videoklipnya pun begitu, orang-orang dibuat sesegukan menguras air mata.Â
Dari Tiktok hingga YouTube, penggalan lagu tersebut kerap digunakan sebagai latar belakang foto atau video yang menggambarkan kesedihan karena ditinggal seseorang menghadap Ilahi. Potongan liriknya juga sangat mendukung.Â
Ceritakan padaku, bagaimana tempat tinggalmu yang baru? Adakah sungai-sungai itu benar-benar dilintasi dengan air susu?
Kutipan lirik tersebut tentu sangat mengena, terutama bagi pribadi yang paham betul bagaimana pahitnya pengalaman melepas kepergian seseorang yang penting.Â
Pendengar seperti diberi karpet merah untuk merealisasikan pesan. Sementara saya berada di barisan orang-orang kehilangan itu, lantaran mendadak yatim karena mendiang Ibu 'dijemput' Yang Maha Kuasa.Â
Sedari awal lagu ini sering diperdengarkan, saya dengan reflek menghindar. Bahasa gaulnya, denial. Sebab saya meyakini, lagu-lagu semacam itu hanya akan membuat saya terhanyut kesedihan, mengawang kembali sakitnya pelipis mata akibat menangis tak berkesudahan.Â
Keyakinan saya itu bukan karena sugesti belaka. Jauh sebelum Gala Bunga Matahari, lagu dengan vibes identik itu sudah banyak diproduksi.Â
Jika mendengarnya, dampaknya selalu berakhir seperti saya sebutkan, sesaknya sulit dikira-kira. Kita tahu Andmesh--saya lupa judulnya, kemudian lagu besutan Karnamereka dengan Ayah Ibu, Virgoun dengan Saat Kau Mengerti, hingga Fajar Merah dengan Lagu Anak.Â
Lagu-lagu itu selalu memberi efek samping yang seragam. Sedih akibat kehilangan, penyesalan yang berlipat, dan akhirnya memicu kemarahan pada kehidupan yang terkesan egois.Â
Pada sebagian orang, terkadang malah menyalahi keadaan dan berujung putus asa menghakimi Tuhan.Â
Maka, dengan kemunculan lagu Gala Bunga Matahari itu menjadikan saya membentengi diri agar tidak tertarik mendengar. Kalaupun terpaksa terdengar, saya memilih menjauh.Â
Sebab seperti yang sudah-sudah--karena terlanjur terbawa lirik, kesedihan yang kembali muncul mustahil datang sendiri, namun pasti dibarengi penyesalan yang teramat.Â
***
Pada satu waktu sepulang saya menjemput anak dari penitipan, lagu Gala Bunga Matahari terputar di radio. Saya sempat luluh dan ingin hanyut pada kesempatan nostalgia yang ditawarkan.Â
Namun saya yang sejurus tersadar, lantas menggantinya dengan kanal musik lain. Seketika itu saya menghela napas; nyaris kehilangan kendali.Â
Tapi kadang sudah seperti tabiat manusia, benteng diri itu akhirnya goyah juga. Saya dengan penuh sadar mencari lagu Gala Bunga Matahari di Spotify dan berlanjut ke YouTube, menikmati alunan nada dan komposisi lirik yang anehnya bisa menghubungkan dimensi hari ini dengan lalu dulu.Â
Praktis, kesedihan menggulung saya. Singkat cerita--entah kenapa, memori-memori semasa kecil ibarat kitab tua yang dibuka lagi.Â
Dia membawa saya pada kesenangan masa lalu bersama mendiang, lalu dibuat terpelanting kenyataan bahwa kenangan itu mustahil terulang. Sedih, sudah barang pasti. Sesegukan, tak usah ditanya lagi.Â
Berkali-kali saya putar, merefleksikan kembali bagaimana koneksi emosional terhadap mendiang Ibu yang sudah lama tiada. Hasilnya berkali-kali pula nostalgia itu memicu kesedihan berdaya sesak tinggi. Saya tak menampik, saya mendadak cengeng.Â
Mulanya, saya menganggap didera kerinduan yang terlampau berat. Namun rasanya masih kurang sreg kalau saya dikatakan merasa rindu. Ya, akibat lagu Gala Bunga Matahari, rasa-rasanya ada kesadaran bahwa makna kerinduan itu bergeser dari kedudukannya.Â
Padahal secara definisi, benar saja kalau saya merasa rindu pada almarhumah. Mengacu KBBI, rindu berarti memiliki keinginan kuat untuk bertemu. Dengan demikian, lagi-lagi benar saja, saya dan semua orang yang ditinggalkan, tentu diselimuti keinginan semacam itu.Â
Kocaknya, alih-alih sedih bernostalgia, saya mengalami pertempuran batin hanya karena menolak disebut merasa rindu pada mendiang, padahal memang tidak salah juga kalau dianggap demikian.Â
Saya membatin, perlu kata yang lebih bisa membahasakan tiap strata rindu. Mulai rindu dari tingkat biasa hingga tingkat makrifat. Sebab rasa ingin bertemu ini rasanya terlalu sepele jika dinarasikan setara dengan rindu yang diartikan KBBI.Â
Kalau kita mengamati lirik Gala Bunga Matahari secara penuh, tidak ada istilah 'rindu', melainkan 'kangen'. Dalam lagu itu, Sal Priadi tak banyak mengumbar kerinduan secara telanjang.Â
Kata 'kangen' tadi pun hanya tertulis sekali. Dia lebih memilih mendefenisikan makna 'rasa ingin jumpa' lewat banyak pertanyaan yang sifatnya deskriptif.
Mungkin saya atau kita tak ubahnya lagu Gala Bunga Matahari. Banyak bertanya dan berharap bisa memastikan sendiri jawabannya demi mengekspresikan ke-ingin-jumpa-annya.Â
Mungkin saja 'rindu' punya arti yang terlalu tinggi untuk dimaknai orang yang kehilangan, sehingga perlu disederhanakan. Atau 'rindu' memang terlalu sederhana untuk menggambarkan rasa ingin jumpa pada orang yang telah lama berpulang. .Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H