Maka, dengan kemunculan lagu Gala Bunga Matahari itu menjadikan saya membentengi diri agar tidak tertarik mendengar. Kalaupun terpaksa terdengar, saya memilih menjauh.Â
Sebab seperti yang sudah-sudah--karena terlanjur terbawa lirik, kesedihan yang kembali muncul mustahil datang sendiri, namun pasti dibarengi penyesalan yang teramat.Â
***
Pada satu waktu sepulang saya menjemput anak dari penitipan, lagu Gala Bunga Matahari terputar di radio. Saya sempat luluh dan ingin hanyut pada kesempatan nostalgia yang ditawarkan.Â
Namun saya yang sejurus tersadar, lantas menggantinya dengan kanal musik lain. Seketika itu saya menghela napas; nyaris kehilangan kendali.Â
Tapi kadang sudah seperti tabiat manusia, benteng diri itu akhirnya goyah juga. Saya dengan penuh sadar mencari lagu Gala Bunga Matahari di Spotify dan berlanjut ke YouTube, menikmati alunan nada dan komposisi lirik yang anehnya bisa menghubungkan dimensi hari ini dengan lalu dulu.Â
Praktis, kesedihan menggulung saya. Singkat cerita--entah kenapa, memori-memori semasa kecil ibarat kitab tua yang dibuka lagi.Â
Dia membawa saya pada kesenangan masa lalu bersama mendiang, lalu dibuat terpelanting kenyataan bahwa kenangan itu mustahil terulang. Sedih, sudah barang pasti. Sesegukan, tak usah ditanya lagi.Â
Berkali-kali saya putar, merefleksikan kembali bagaimana koneksi emosional terhadap mendiang Ibu yang sudah lama tiada. Hasilnya berkali-kali pula nostalgia itu memicu kesedihan berdaya sesak tinggi. Saya tak menampik, saya mendadak cengeng.Â
Mulanya, saya menganggap didera kerinduan yang terlampau berat. Namun rasanya masih kurang sreg kalau saya dikatakan merasa rindu. Ya, akibat lagu Gala Bunga Matahari, rasa-rasanya ada kesadaran bahwa makna kerinduan itu bergeser dari kedudukannya.Â
Padahal secara definisi, benar saja kalau saya merasa rindu pada almarhumah. Mengacu KBBI, rindu berarti memiliki keinginan kuat untuk bertemu. Dengan demikian, lagi-lagi benar saja, saya dan semua orang yang ditinggalkan, tentu diselimuti keinginan semacam itu.Â