BEBERAPA hari lalu, sejumlah sopir angkutan kota atau angkot ramai-ramai menggelar protes di depan Kantor Walikota Balikpapan. Mereka memilih meluangkan waktu tidak 'ngider' pada Rabu, 17 Juli 2024, demi berunjuk rasa karena menolak keberadaan bis Balikpapan City Trans.
Menurut mereka, keberadaan bis dalam kota yang baru beroperasi genap seminggu tersebut sudah memangkas pemasukan sopir angkot. Wajar, sebab selama seminggu berjalan, penumpang tidak dibebankan ongkos sama sekali. Dalihnya ujicoba. Alhasil bis ini praktis digandrungi banyak warga.
Para sopir angkot ini mendesak agar operasional bus Balikpapan City Trans dihentikan. Sebagian di antaranya meminta agar bus itu dikembalikan ke asalnya, yakni ke Makassar. Tuntutan ini bukan tanpa musabab. Sejak awal beroperasi, belasan unit bus itu menggunakan plat kuning dengan kode seri depan DD yang khusus untuk area Sulawesi Selatan.
"Di Makassar saja tidak laku, malah dikirim kesini," setidaknya begitu perkataan mereka yang saya ingat.
Aksi unjuk rasa ini ramai-ramai diunggah di media sosial. Sebagian besar komentar warganet berseberangan dengan suara sopir angkot. Bagi sebagian warganet, keberadaan bis itu justru merupakan kemajuan zaman dan relevan untuk menggeser peradaban angkot.
Beberapa warganet juga menyoroti soal para sopir angkot yang justru berasal dari Makassar, dan bukan warga Balikpapan. Sedikit terkesan rasis memang, tapi itulah kadang tabiat kita yang kadang suka khilaf.
Walikota Balikpapan, Rahmad Mas'ud, rupanya dengan tangan terbuka menyanggupi kemauan sopir-sopir angkot. Ya, operasional Balikpapan City Trans akhirnya terpaksa 'direm' untuk memenuhi desakan-desakan tersebut.
Mulanya saya pesimis jika politisi dari partai Golkar itu bakal mengiyakan. Pasalnya, bis tersebut bukan dibeli menggunakan APBD, melainkan hibah dari Kementerian Perhubungan.
Barang hibah ini juga tidak bisa begitu saja diabaikan, terlebih Walikota Rahmad pernah disindir langsung oleh Presiden Jokowi di depan Walikota se-Indonesia karena Balikpapan kian macet. Bis inilah yang dirasa bisa menjawab sindiran itu.
Mulanya saya justru mengira, untuk menanggapi desakan sopir angkot, Rahmad bakal berkelit dengan bahasa penolakan yang diplomatis agar tidak ada kesan 'menolak permintaan rakyat', tapi hanya menunda.Â