Beberapa tahun belakangan ini katertarikan saya kepada batik semakin menjadi-jadi saja, kendati saya tidak memiliki banyak koleksi batik, tapi setidaknya adalah beberapa helai baju batik (motif kontemporer) yang saya miliki. Alasan ketertarikan saya kepada batik antara lain karena saya terpukau dengan nilai-nilai estetika pada motifnya: rumit, detail, indah dan sangat filosofis. Sejak saya menyukainya, saya lalu mengamati—atau mungkin tepatnya mengira-ngira—motif dari beberapa batik yang saya miliki. Motif-motif yang ada pada Batik sepertinya banyak dipengaruhi oleh watak, karakter, dan sosial budaya pembatiknya atau bahkan kondisi geografis dimana pembatik itu tinggal sehingga nilai filosofis yang terkandung pada Batik tersebut sangat tampak dan membuat pemakainya tampil berkarakter. Kita lihat motif dari batik Pamekasan ini:
[caption id="" align="aligncenter" width="336" caption="Batik Pamekasan"][/caption] Saat saya membelinya, si penjual mengatakan bahwa motif batik ini bernama Bherras Dumpa (Beras Tumpah), saya melihat karakter orang Madura yang sangat kental pada motif ini, mereka orang Madura rata-rata yang berprofesi sebagai pengrajin batik adalah perempuan yang menjadikan membatik sebagai kegiatan sampingan untuk menambah penghasilan, mengisi waktu senggang, dan merawat bakat melukisnya. Saya membayangkan ketika si pembatik melukis di atas kain ini sepertinya baru saja ditimpa musibah, yaitu, beras yang baru dibeli atau dipanen suaminya tanpa sengaja tumpah dan si istri lalu mengekspresikan kesedihan dan penyesalannya dengan melukis beras tumpah itu di atas kain.
Hmmm... Ini bisa saja benar dan bisa saja salah, sebab sejauh saya memahami—sebagai orang Madura—karakter asli orang Madura salah satunya adalah sangat menghargai jerih payah orang lain dalam hal apapun, apalagi jerih payah orang-orang yang dicintainya. Mungkin mereka tidak membalasnya dengan materi, tapi mereka membalas dalam bentuk perhatian dan kepedulian yang sangat baik. Aduh... Manisnya :D
Nah, yang ini Batik Pakandangan 3 Dimensi: [caption id="" align="aligncenter" width="448" caption="Batik Pakandangan (Sumenep) 3 Dimensi"]
[caption id="" align="aligncenter" width="672" caption="Bersama Bibi Nampang di Depan Masjid Muhammad Ceng Hoo Surabaya"]
Kalau yang ini Batik khas Situbondo:
[caption id="" align="aligncenter" width="384" caption="Batik Khas Situbondo"]
Oh ya, saat ini saya juga mulai tertarik untuk belajar membatik. Saya belajar membatik di rumah saudara saya bernama Aisyiyah. Ia yang seorang aktifis mengadakan pelatihan membatik untuk ibu-ibu yang berlatar belakang perekonomiannya “relatif rendah” dan memberdayakannya yang didanai oleh pemerintah Kabupaten Situbondo. Ah... Tapi sungguh miris. Mbak Ai—nama panggilan Aisyiyah—yang semula mengajak 17 peserta aktif pelatihan membatik dari kalangan tetangga kini pesertanya sangat menurun menjadi 3 orang, dan salah satunya saya. Banyak faktor mengapa peserta membatik disini sangat menyusut. Di antaranya, mereka mungkin lebih memilih pekerjaan yang lebih praktis dan "lebih riil" (rata-rata mereka mundur dari kegiatan ini karena lebih memilih mencari rumput untuk makan sapinya di rumah) dan kurangnya pemahaman mereka terhadap pentingnya melestarikan Budaya Indonesia. Dua peserta lain yang rajin berlatih membatik di rumah Mbak Ai kini telah bisa membatik dengan baik. Ini salah satu proses membatik mereka: [caption id="" align="aligncenter" width="960" caption="Bagus, yaa???"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H