Kekerasan pada perempuan dan anak bisa terjadi dimana saja, kapan saja, dan oleh siapa saja. Menurut data Komnas Perempuan, sepanjang tahun 2015 dalam satu hari terdapat 881 kasus kekerasan terhadap perempuan. Kalau interval waktunya kita perpendek lagi, dalam satu jam terjadi sekitar 37 kasus kekerasan. Sebuah angka yang luar biasa besar dan luar biasa miris bukan?
Sementara itu, berdasarkan catatan KPAI, kasus kekerasan pada anak pada tahun yang sama terdapat sebanyak 1.698 kasus, dengan lebih dari separuhnya adalah kasus kekerasan seksual. Ini baru kasus yang dilaporkan kepada KPAI, sementara yang tidak dilaporkan diduga cukup banyak.
Menyikapi banyaknya kasus kekerasan tersebut, pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KPPPA) telah menginisiasi Gerakan Three Ends KPPPA yang salah satu tujuannya adalah mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak, sementara dua tujuan lainnya adalah mengakhiri perdagangan orang serta ketidakadilan akses ekonomi bagi perempuan. Pemerintah tidak mungkin bergerak sendiri, tentunya perlu dukungan dari masyarakat untuk terlibat aktif dalam gerakan ini.
Namun, kekerasan terhadap perempuan dan merupakan masalah yang sangat kompleks. Siapa saja bisa jadi pelakunya, bisa keluarga, guru atau rekan kerja. Waktunya mungkin siang hari atau malam hari, tempatnya pun bisa di rumah, sekolah, pasar dan lain-lain. Dampaknya kepada korban pun sangat mengerikan, tidak hanya menimbulkan trauma psikis dan luka fisik bahkan menyebabkan kehilangan nyawa.
Lalu, bagaimana memulai gerakan mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak ini? Mari kita cermati terlebih dahulu siapa pelaku utama kekerasan ini. Mungkin kita sering membaca artikel yang menyebutkan bahwa kekerasan pada perempuan dan anak ternyata kerap dilakukan oleh orang-orang dekat atau orang-orang yang dikenal oleh korban. Nah, sebuah survei yang mencoba memotret fenomena tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak mengungkap fakta miris tersebut. Temuan survei dengan ruang lingkup nasional yang dilaksanakan hampir sembilan tahun lalu ini, adalah bahwa dari seluruh perempuan korban kekerasan, lebih dari setengahnya (53,3 persen) adalah korban tindak kekerasan suami (BPS-Kemeneg PP, 2006).  Fakta ini diperkuat lagi oleh catatan oleh Mitra Perempuan Women’s Crisis Centre tahun 2011,  dari jumlah layanan pengaduan dan bantuan diberikan kepada perempuan korban kekerasan, pelaku terbanyak adalah suami korban (75,60%).
Sementara itu, mayoritas pelaku kekerasan terhadap anak adalah ibunya sendiri. Ini adalah temuan survei yang dilakukan Pusat Studi Gender dan Anak Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP2M) Universitas Negeri Semarang (Unnes) pada tahun 2013. Salah satu fakta yang diungkap oleh survei ini, adalah pelaku kekerasan psikis terhadap anak, sekitar 34 persen adalah ibu dengan bentuk kekerasan membentak, menghina kemampuan anak, mengejek dan lainnya.
Ya, mayoritas pelaku kekerasan terhadap perempuan justru adalah orang terdekatnya, suaminya sendiri. Orang yang semestinya menyayangi dan melindungi si perempuan. Â Sealnjutnya, ironis sekali, mayoritas pelaku kekerasan terhadap anak justru sang ibu. Seseorang yang pada awal kelahiran anaknya telah berjuang antara hidup dan mati agar anaknya lahir dengan selamat.
Menyedihkan memang, bila ini menjadi potret keluarga di Indonesia. Suami yang memukuli istri. Ibu yang memukuli buah hatinya.
Terlepas dari masalah yang melatarbelakangi terjadinya kekerasan, yang menurut salah satu penelitian terjadi karena berbagai faktor di antaranya kesulitan ekonomi, kecemburuan pasangan, dan perilaku buruk pasangan (berjudi, minum minuman keras), tampaknya membentuk mindset masyarakat, khususnya para suami dan para ibu, agar tidak menjadi pelaku kekerasan menjadi hal yang sangat krusial untuk mencegah terjadinya kekerasan.
Pencerahan kepada keluarga-keluarga di Indonesia tentang bagaimana menjadi keluarga yang sayang ibu dan anak, saya kira, inilah yang menjadi prioritas. Pencerahan ini bisa dilakukan oleh ustadz pada saat khutbah Jum’at misalnya, disampaikan oleh pendeta pada misa, disampaikan oleh tokoh agama lainnya atau tokoh masyarakat. Rekan-rekan blogger, mari menulis untuk mendukung gerakan akhiri kekerasan ini.
Bagi mereka yang belum berkeluarga, alangkah baiknya bila mengikuti kursus pra nikah. Bagi pemuda muslim, kursus semacam ini telah diselenggarakan oleh Masjid Salman ITB sejak beberapa tahun yang lalu, yang dinamakan sekolah pra nikah. Para peserta akan dibekali pengetahuan seputar materi ta’aruf, motivasi menikah, mengenal karakter diri dan pasangan, seks dan kesehatan alat reproduksi, fiqih thaharah, manajemen keuangan, menikah menurut hukum negara dan syari’at Islam, serta gambaran problem yang akan muncul dalam rumah tangga, disertakan beragam solusinya.