Mohon tunggu...
Zuni Sukandar
Zuni Sukandar Mohon Tunggu... Guru - Seorang guru SLB

Lahir di Magelang, 20 Mei 1971, SD-SMP di kota yang sama, S-1 di Jogjakarta, saat ini mengajar di SLB Maarif Muntilan sebagai guru tunanetra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tali Cinta

19 Maret 2021   20:22 Diperbarui: 19 Maret 2021   20:30 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ratri keluar rumah dengan mengendap-endap karena takut ketahuan kedua orang tua serta kakaknya. Langkah kakinya sedikit jinjit mengurangi gesekan sandal dengan lantai rumah. Malam yang sepi dan dingin itu menjadi saksi pertemuan Ratri dengan Dimas.

Perempuan itu sangat hati-hati saat membuka gagang pintu rumah dan menguncinya kembali. Pertemuan yang telah disepakati keduanya di gang sempit beberapa meter di sebelah rumah Ratri. Ini bukan pertemuan yang pertama kali. Namun, tanpa mereka berdua ketahui  ada sepasang mata yang dari jauh memperhatikan.

Perempuan berjilbab itu setiap malam Ahad sering menyisihkan waktu khusus untuk sekadar menyapa Dimas yang akhir-akhir ini makin terlihat akrab dengannya. Ratri, perempuan berwajah putih bersih, yang sekarang kelas tiga SMP itu kini terlihat lebih ekspresif, suka berdandan meski hanya dengan taburan bedak tipis, serta suka bercermin.

Entah apa yang saat ini dirasakan oleh Ratri. Perempuan yang pintar mengaji dan rajin pergi ke masjid itu sepertinya diam-diam sedang berbunga hatinya. Senyum manis selalu menghiasi wajahnya yang mirip bintang Korea Kim Hyun-joo.

 Sejak peristiwa di terminal bus minggu kemarin, Ratri seolah mendapatkan energi khusus. Wajahnya yang terlihat lebih ranum ketika tersenyum menambah pesonanya berlipat. Kedua sorot mata lelaki itu begitu teduh saat bertemu dengan Ratri. Insan beda jenis itu terpesona pada pandangan pertama. Dimas sering memperhatikan Ratri saat membantu kedua orang tuanya berjualan.

"Nduk, makanan ini bawa ke terminal. Tadi Ibu pesan agar segera mengambil stok makanan karena di warung menipis," pinta ibu Ratri sambil memasukkan pisang goreng ke wajan.

Ratri yang diajak bicara segera melaksanakan perintah ibunya. Dengan cekatan tangannya memasukkan beberapa gorengan yang sudah matang ke dalam tas plastik bergagang untuk disajikan di warung.

Ratri mengambil sepeda mininya yang telah berumur belasan tahun di samping rumah,  dan segera mengayuhnya menuju terminal yang berjarak sekitar seratus meter. Orang tua Ratri membuka warung kecil yang menyediakan berbagai makanan kecil, minuman, dan gorengan serta rokok di terminal bus.

Saat Ratri sekolah, dan kakaknya bekerja, warung dijaga bapak atau ibunya, sedang siang serta sore hari, Ratri mendapat tugas menjaga warung. Pekerjaan orang tua Ratri berjualan di terminal sudah puluhan tahun sejak kakak Ratri berumur satu tahun. Bapak Ratri selain membantu menjaga warung di terminal, kadang juga menjadi tukang parkir sepeda motor di dekat terminal.

Suasana terminal siang itu cukup padat,  karena mendekati libur akhir pekan dan pergantian tahun. Beberapa bus dan mobil angkutan umum selalu penuh dengan penumpang. Pemandangan terminal serta hiruk pikuknya ternyata selalu menjadi peluang untuk mendapatkan rupiah.

Beberapa pedagang keluar masuk bus yang sedang berhenti mencari penumpang. Mereka rajin menawarkan makanan dan minuman pada para penumpang. Pengamen, serta penjual koran dan oleh-oleh menjadikan suasana di dalam bus jurusan antarkota itu menjadi gaduh.

Saat kendaraan mulai merangkak melanjutkan perjalanan ke tujuan, para penumpang yang tidak kebagian tempat duduk pun dengan rela harus berjejer berpegangan besi antar jok bus. Panas yang menyengat cukup membuat dahi berkeringat. Meski bus berjalan pelan, dan penghuni berjubel, tapi awak bus tetap menaikkan penumpang. Entah berapa  jumlah penumpang bus tersebut, mungkin lebih dari enam puluh orang.

Wajah penumpang yang tampak lelah pun mudah terbaca. Sebagian terlena dalam mimpi, tidak peduli penuh sesaknya penumpang lain. Tiba-tiba dari arah belakang, ada seorang ibu yang berteriak-teriak saat bus itu menaikkan salah satu penumpang di halte.

"Copet ... copet ... copet!" teriak seorang ibu setengah tua sambil berlari mengejar copet yang memanfaatkan waktu ketika bus berhenti sebentar di halte.

Pencopet itu membawa sebuah tas warna cokelat tua dan berlari dengan gesitnya. Mendengar teriakan ibu tadi, beberapa orang yang kebetulan lewat di jalan itu mempunyai rasa peduli yang besar. Mereka pun berlarian mengejar pencopet itu. Aksi saling mengejar pun terjadi di antara ramai dan hiruk pikuknya suasana jalan raya.

Pencopet itu ternyata lebih gesit saat berlari. Namun, malang baginya. Saat melewati salah satu tikungan, dia terjatuh di depan toko roti. Belum sempat bangun, seseorang telah menghadang, menghampirinya,  dan mencoba merebut tas cokelat itu. Terjadi baku hantam cukup sengit antara pencopet dan seorang lelaki kekar yang terlihat agak emosi.

Beberapa kali pencopet mendapat bogem maut dari lelaki kekar itu. Kondisi pencopet seakan kehilangan keseimbangan. Postur tubuh yang tidak seimbang, menyebabkan pencopet itu sempoyongan. Tepat pada pukulan kesekian, dia terjatuh. Banyak pejalan kaki yang melihat adegan keras tersebut pun menjerit, terutama kaum hawa.

Tas itu pun berhasil direbut dari pencopet yang sudah terjatuh dengan luka-luka cukup serius. Wajah lebam serta mulutnya berdarah. Berita tentang pencopet yang berhasil tertangkap dan mendapat hadiah pukulan dari lelaki kekar itu, akhirnya sampai juga di telinga bapak Ratri.

Siang itu, seperti biasa Ratri mengantarkan makanan berupa gorengan di warung dan kebetulan melewati jalan yang saat itu banyak pejalan kaki berkumpul. Mereka menyaksikan pencopet yang tertangkap dan diamuk massa. Rasa penasaran Ratri pun muncul. Dia berhenti sebentar dan turun dari sepedanya, ingin mengetahui apa yang terjadi.

"Pak, ada apa ini, kok banyak orang berkumpul di sini?"

"Oh, itu ada pencopet tertangkap dan dihajar. Mungkin gemas ya pada pencopet itu."

Ratri mencoba mendekati TKP, dia mencari celah agar dapat mengamati lebih jelas wajah pencopet yang dihajar tersebut. Betapa terkejut dirinya. Matanya tertuju pada seraut  wajah yang sangat dikenalnya. Hati Ratri pun bergetar hebat. Sekali lagi diperhatikannya pencopet yang ada di depannya.

Ketika mengetahui lelaki yang ada di depannya benar-benar Dimas, kekasihnya, dia pun terduduk dan langsung memeluk lelaki yang berlumuran darah itu. Ratri menangis tersedu-sedu sambil mengusap darah yang keluar dari sebagian wajah Dimas.

Masyarakat yang hadir di TKP tersebut pun saling berpandangan. Ekspresi keheranan terlihat nyata pada wajah mereka. Mereka kebanyakan mencibir Ratri, dan mulai mengeluarkan kata-kata kotor yang membuat merah telinga perempuan itu. Namun, Ratri tidak pernah menggubris apa pun yang mereka katakan tentang Dimas kekasih hatinya.

"Dim, ayo berobat, lukamu cukup serius, nih," ajak Ratri yang masih sesenggukan menahan tangisnya.

"Biarlah, nggak apa-apa. Sudah sana, kamu tinggalin aku. Biarkan aku sendiri di sini. Apa kamu nggak malu kenal aku yang seorang pencopet?" kata Dimas terbata-bata sambil memegangi pipinya yang terasa panas oleh pukulan lelaki kekar tadi.

Ratri mengusap wajah Dimas dengan tisu yang ada di saku bajunya. Tisu berwarna putih bersih itu, seketika menjadi merah penuh darah dari wajah Dimas. Adegan yang mirip sinetron itu pun mengundang rasa iba sebagian orang yang berkerumun.

 Lelaki itu merasa begitu tersanjung diperhatikan Ratri, perempuan yang rela mengorbankan harga dirinya hanya untuk sebuah hati yang terbiasa hidup tidak wajar dan banyak noda. Tidak pantas,  perempuan secantik Ratri jatuh cinta pada Dimas. Lelaki yang tidak jelas asal-usulnya, hidup sebagai penjahat kelas teri.

Suara dari kerumunan itu pun begitu santer terdengar. Mereka minta agar Dimas dibawa ke kantor polisi secepatnya. Masih terisak, Ratri pun mengikuti Dimas dari belakang. Beberapa menit kemudian, rombongan berseragam cokelat itu pun membawa Dimas ke mobil patroli. Dimas dibawa ke kantor polisi, dan sementara waktu masuk ruang tahanan.

***

"Nduk, kamu ternyata mencintai seorang copet, ya?" tanya ibu Ratri yang tiba-tiba, cukup mengagetkan perempuan berwajah cantik itu.

"Ibu tahu dari mana? Hm ... iya, Bu," jawab Ratri dengan sedikit rasa takut.

"Apa to yang istimewa dari seorang pencopet itu, Nduk? Ibu malu jika hubunganmu diteruskan. Apa kata dunia, jika kamu yang rajin, salihah, dan selalu ingat ke masjid mempunyai hubungan khusus dengan penjahat? Kamu sudah lama kenal dia?"

Nada bicara ibu Ratri sedikit naik.

"Sudah lama, Bu.Ya, kira-kira dua tahun, Bu. Namanya Dimas, dia berasal dari kota kabupaten, tapi daerah operasinya sekitar kota ini. Maaf, Bu,  Dimas itu berasal dari keluarga broken home, menjadi pencopet juga tidak diharapkan. Hanya dia harus bertahan hidup, akhirnya mencari rezeki dengan cara yang salah."

"Ibu tetap tidak setuju jika kamu dekat dengannya. Malu ... Ibu malu, Nduk. Kamu mbok jangan mudah percaya dengan omongan lelaki, apalagi dia kan berbuat kriminal," kata ibu Ratri sambil membersihkan dapur.

Ratri memilih diam, meski hatinya kurang bisa menerima kalimat yang disampaikan ibunya. Dalam hatinya terjadi pertentangan serius. Malam Minggu kemarin, Dimas telah berjanji akan berubah meski dari sedikit. Dimas mengatakan bahwa Ratri diminta untuk mengajarinya mengaji dan salat, sebab hal tersebut sudah lama ditinggalkannya.

Apa yang dikatakan Dimas cukup membuat hati Ratri lega. Ada niat berubah menjadi lebih baik. Lelaki yang bertubuh gagah dan kulit cenderung cokelat itu terlihat kotor  dan tidak terawat.

Selama dalam tahanan, Ratri selalu menemui Dimas, meski secara diam-diam. Dia takut kedua orang tuanya marah. Kehadiran Ratri benar-benar membuat Dimas makin bersemangat untuk berubah menjadi lebih baik.

"Ratri, besuk jika aku sudah keluar dari tahanan, mau dong kamu mengajariku salat dan mengaji. Aku ingin sekali hidup secara wajar, jadi orang baik, meski belum bisa seutuhnya. Hidup ini keras, Rat, aku harus dapat bertahan dengan mencari makan sendiri," kata Dimas dengan mimik cukup serius.

"Oke, Dim. Asal kamu mau sungguh-sungguh berubah, pasti bisa. Semoga kamu mampu mewujudkan keinginanmu. Aku pasti akan membantumu menjadi lebih baik, sebisaku. Oh, ya, ibuku kurang begitu setuju jika kita dekat."

Proses hukum bagi Dimas tetap berlangsung dan dijalaninya dengan baik, Dimas selalu mendapat dukungan dari Ratri, perempuan yang telah menambat hatinya dengan tali cinta.(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun