Nada bicara ibu Ratri sedikit naik.
"Sudah lama, Bu.Ya, kira-kira dua tahun, Bu. Namanya Dimas, dia berasal dari kota kabupaten, tapi daerah operasinya sekitar kota ini. Maaf, Bu, Â Dimas itu berasal dari keluarga broken home, menjadi pencopet juga tidak diharapkan. Hanya dia harus bertahan hidup, akhirnya mencari rezeki dengan cara yang salah."
"Ibu tetap tidak setuju jika kamu dekat dengannya. Malu ... Ibu malu, Nduk. Kamu mbok jangan mudah percaya dengan omongan lelaki, apalagi dia kan berbuat kriminal," kata ibu Ratri sambil membersihkan dapur.
Ratri memilih diam, meski hatinya kurang bisa menerima kalimat yang disampaikan ibunya. Dalam hatinya terjadi pertentangan serius. Malam Minggu kemarin, Dimas telah berjanji akan berubah meski dari sedikit. Dimas mengatakan bahwa Ratri diminta untuk mengajarinya mengaji dan salat, sebab hal tersebut sudah lama ditinggalkannya.
Apa yang dikatakan Dimas cukup membuat hati Ratri lega. Ada niat berubah menjadi lebih baik. Lelaki yang bertubuh gagah dan kulit cenderung cokelat itu terlihat kotor  dan tidak terawat.
Selama dalam tahanan, Ratri selalu menemui Dimas, meski secara diam-diam. Dia takut kedua orang tuanya marah. Kehadiran Ratri benar-benar membuat Dimas makin bersemangat untuk berubah menjadi lebih baik.
"Ratri, besuk jika aku sudah keluar dari tahanan, mau dong kamu mengajariku salat dan mengaji. Aku ingin sekali hidup secara wajar, jadi orang baik, meski belum bisa seutuhnya. Hidup ini keras, Rat, aku harus dapat bertahan dengan mencari makan sendiri," kata Dimas dengan mimik cukup serius.
"Oke, Dim. Asal kamu mau sungguh-sungguh berubah, pasti bisa. Semoga kamu mampu mewujudkan keinginanmu. Aku pasti akan membantumu menjadi lebih baik, sebisaku. Oh, ya, ibuku kurang begitu setuju jika kita dekat."
Proses hukum bagi Dimas tetap berlangsung dan dijalaninya dengan baik, Dimas selalu mendapat dukungan dari Ratri, perempuan yang telah menambat hatinya dengan tali cinta.(*)