Mohon tunggu...
Zuni Sukandar
Zuni Sukandar Mohon Tunggu... Guru - Seorang guru SLB

Lahir di Magelang, 20 Mei 1971, SD-SMP di kota yang sama, S-1 di Jogjakarta, saat ini mengajar di SLB Maarif Muntilan sebagai guru tunanetra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pengakuan Sumini

27 Oktober 2020   08:16 Diperbarui: 27 Oktober 2020   08:20 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pernikahan Sumini dan Marto sudah berjalan  selama tiga puluh tahun. Selama itu pula tidak pernah terjadi sesuatu yang sangat merisaukan. Semua berjalan baik-baik saja. Pertengkaran kecil antara suami istri pun biasa terjadi, tetapi semua berakhir dengan damai dan baik.

Sumini, perempuan desa yang dinikahi Marto  tiga puluh tahun yang lalu, memang karena perjodohan. Orang tua Marto yang kebetulan juragan kaya, terkenal,  banyak memiliki sawah ladang dan hasil kebun melimpah, serta ternak yang cukup banyak hanya memilih Sumini, perempuan yang tidak pernah mengenal gincu dan bedak.

Sebenarnya banyak perempuan lain yang dekat dengan Marto, tetapi lelaki itu tidak pernah menggubrisnya. Jika ingin perempuan dengan tipe tertentu pun Marto mampu, punya modal dan tampang yang cukup lumayan. Namun, Sumini perempuan dengan wajah eksotik, nan mempesona bagi Marto. Bukan hanya wajahnya yang elok, tetapi budi pekertinya pun tidak diragukan lagi.

Pernikahan Sumini dan Marto telah dikaruniai empat anak yang manis-manis, penurut serta salih.  Bahkan dalam waktu dekat, Sumini akan mantu anak yang pertama. Kebetulan anak pertama perempuan, mirip sekali dengan Sumini, berwajah manis dan penampilan lumayan. Diana nama anak itu, sekarang menjadi seorang dosen di salah satu universitas ternama di kota gudeg.

Anak kedua dan ketiga sedang kuliah dan mondok di salah satu kota, sedang anak bungsu masih kelas dua SMP. Secara ekonomi, Sumini dan Marto tidak mengalami masalah, bahkan akhir-akhir ini mereka sering terlibat dalam kegiatan sosial keagamaan yang mengurusi anak yatim dan pendidikan di desa tersebut.

Namun, tidak ada hujan tidak ada angin, tiba-tiba saja Sumini mengagetkan Marto, ingin membicarakan suatu hal yang  cukup serius. Marto pun makin penasaran dengan apa yang akan dibicarakan Sumini.

"Ntar saja, Kang, nanti setelah sampeyan siap lahir batin," jawab Sumini ketika didesak masalah yang akan disampaikan.

"Ealah, Sum, mbok ya nggak usah pakai rahasia-rahasiaan kenapa, sih? Teko to the point wae."

Sumini hanya memandang suaminya dengan wajah sendu.

"Wait n see, Kang!"

Mungkin karena Marto saking penasarannya, hingga suatu kali ketika mereka berdua duduk di balai-balai yang terletak di samping rumah ditemani kopi dan singkong rebus panen dari sawah, lelaki itu pun  mendesak agar Sumini agar segera bercerita.

"Kang, sampeyan benar sudah siap?"

"La kok ndadak pakai kata siap segala to. Ya wes dari dulu siap mendengarkan ceritamu itu. Wes lek cerita saja, aku siap dengarkan."

"Okelah, Kang. Karena sampeyan kayaknya sudah nggak sabar, maka aku segera akan bercerita, tapi siap benar ya, Kang? Apa pun yang akan aku ceritakan?"

Marto hanya mengangguk tanda setuju dengan persyaratan yang disampaikan Sumini.

Sumini menghirup napas dalam-dalam, seakan ada rasa berat yang begitu menyesakkan dada. Duduknya makin rapat mendekati Marto. Matanya memandang suaminya dengan tajam, kedua tangan Marto pun dipegangnya.

"Kang ... sebelumnya aku minta maaf. Berat rasanya hati ini, jika harus bercerita masa lalu yang kelam. Namun saya pikir kini saatnya untuk membeberkan  siapa aku sebenarnya."

"Aduh, Sum, kok serius men to. Mbok santai saja bisa, to."

"Iya, Kang. Sabar. Aku memang anak desa, yang lugu, polos, tetapi karena keluguanku itulah yang telah membawaku pada hal yang tidak pernah terlintas di hatiku. Dulu, ketika aku masih usia SD, kira-kira usia kelas dua, sebagaimana anak-anak seusiaku, suka bermain. Tetanggaku Den Bromo yang cukup kaya,  punya anak laki-laki yang sangat nakal, kurang ajar dan tidak tahu sopan santun. Dialah Bimo. Suatu hari aku dibujuknya, katanya  dia  punya permainan yang menarik. Aku pun dituntunnya masuk ke dalam rumah yang pada saat itu kosong mlompong. Namun apa yang terjadi?"

Beberapa saat kemudian,  Marto mengambil rokok tingwe yang baru saja digulungnya. Marto mendengarkan cerita Sumini sambil menyalakan sebatang rokok kesukaannya. Asap  kini mulai mengepul dari mulut dan hidung Marto.

"Terus piye, Sum?

Sumini mulai tergugu.

Tiba-tiba Marto tersedak.

"Wes ... wes aku wes ngerti terusing cerita. Rasah tok teruske."

"Maafkan aku, Kang yang kotor ini."

"Hm ... kowe ora salah, Sum. Sing kurang ajar ya Bimo kuwi. Terus kamu pernah cerita sama orang tuamu, nggak atas kejadian itu?"

Sumini  masih tergugu dan tertunduk, dan digelengkan kepalanya.

"La kok ra tau cerita ki piye to, Sum. Apa kowe wedi nek diajar apa ditakoni Den Bromo? Apa samar wong tuwamu nesu?

Sumini diam. Sulit untuk menjawab pertanyaan Marto.

Marto memeluk erat Sumini yang makin deras mengalirkan air mata. Buliran bening itu kini membasahi baju Marto.

"Wes, Sum. Aku ngerti apa sing tok pikirke. Aku ngerti perasaanmu."

"Kang sekarang terserah sampeyan, aku mau diceraikan juga sudah siap."

Marto melepas pelukannya.

"Apa, edan po? Mbok aja cupet mikire to, Sum. Semua itu nanti ada balasannya. Jika tidak di dunia ya di akhirat. Semua mempertanggung jawabkan perbuatannya."

"Terus aku gimana, Kang?"

Marto menghapus air mata yang mengalir di kedua netra Sumini dengan kedua jari telunjuknya.

"Sum, meski ada seribu Sumini di sana, kau tetap yang kusayang selamanya, bagaimana pun keadaanmu. Setiap orang kan punya cerita dan masa lalu, dan kini kita bersama menapaki masa depan, bukan masa lalu. Masa lalu itu sebagai cermin, agar kita lebih bijak dalam bersikap."

"Makasih, ya, Kang."

Sumini memeluk Marto lebih erat.

"Wes ora usah nangis terus, marai aku sedih, ngerti?"

Magelang, 27 Oktober 2020, ketika hujan mulai membasahi bumi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun