"Kang, sampeyan benar sudah siap?"
"La kok ndadak pakai kata siap segala to. Ya wes dari dulu siap mendengarkan ceritamu itu. Wes lek cerita saja, aku siap dengarkan."
"Okelah, Kang. Karena sampeyan kayaknya sudah nggak sabar, maka aku segera akan bercerita, tapi siap benar ya, Kang? Apa pun yang akan aku ceritakan?"
Marto hanya mengangguk tanda setuju dengan persyaratan yang disampaikan Sumini.
Sumini menghirup napas dalam-dalam, seakan ada rasa berat yang begitu menyesakkan dada. Duduknya makin rapat mendekati Marto. Matanya memandang suaminya dengan tajam, kedua tangan Marto pun dipegangnya.
"Kang ... sebelumnya aku minta maaf. Berat rasanya hati ini, jika harus bercerita masa lalu yang kelam. Namun saya pikir kini saatnya untuk membeberkan  siapa aku sebenarnya."
"Aduh, Sum, kok serius men to. Mbok santai saja bisa, to."
"Iya, Kang. Sabar. Aku memang anak desa, yang lugu, polos, tetapi karena keluguanku itulah yang telah membawaku pada hal yang tidak pernah terlintas di hatiku. Dulu, ketika aku masih usia SD, kira-kira usia kelas dua, sebagaimana anak-anak seusiaku, suka bermain. Tetanggaku Den Bromo yang cukup kaya,  punya anak laki-laki yang sangat nakal, kurang ajar dan tidak tahu sopan santun. Dialah Bimo. Suatu hari aku dibujuknya, katanya  dia  punya permainan yang menarik. Aku pun dituntunnya masuk ke dalam rumah yang pada saat itu kosong mlompong. Namun apa yang terjadi?"
Beberapa saat kemudian,  Marto mengambil rokok tingwe yang baru saja digulungnya. Marto mendengarkan cerita Sumini sambil menyalakan sebatang rokok kesukaannya. Asap  kini mulai mengepul dari mulut dan hidung Marto.
"Terus piye, Sum?
Sumini mulai tergugu.