Selama dalam perjalanan, selalu ada saja tema pembicaraan yang diomongkan. Mulai dari saudara, pekerjaan, atau keadaan masyarakat saat itu.
Aku juga tidak pernah memperhatikan gelangku ketika dalam perjalanan. Mungkin terbawa sikap cuek terhadap penampilan, sehingga semua yang melekat di tubuh tidak pernah menjadi pemikiran serius bagiku.
Setelah lelah mengitari desa, aku dan suami mampir ke sebuah warung untuk istirahat, dan berbelanja bahan makanan serta sayuran. Aku berencana, setelah sampai di rumah akan memasak sayur kesukaan suami.
Sesaat kemudian, mataku pun terbelalak menyadari gelang pemberian  itu tidak lagi menempel di tangan kiriku. Kuraba-raba tangan kiriku berkali-kali. Seketika itu juga aku mendekat dan membisiki  ke telinga suami, yang  saat itu sedang menikmati kopi hitam.
"Mas, kok gelangku lepas kayaknya. Ini nggak ada di tangaku," kataku sambil menunjukkan lengan kiriku pada suami.
Suami pun memperhatikan tangan kiriku yang memang sudah tidak berhias gelang. Tanganku dipegangnya dan dibolak-balik untuk meyakinkan gelang itu masih ada. Â Lengan kaosku pun ditarik ke atas. Namun yang dicari memang sudah menghilang entah jatuh di mana.
"Terus gimana, mau dicari?" tanya suamiku meminta persetujuanku.
"Ya dicarilah, Mas. Takut nanti jika Mbak Win menanyakan gelang itu gimana, coba."
Dalam hati aku agak pesimis juga dapat menemukan kembali gelang itu. Zaman  sekarang  mencari orang jujur kan begitu sulit.  Namun, tidak ada salahnya tetap berusaha mencarinya. Hatiku pun sudah kutata sebaik mungkin.
Jika masih menjadi rezekiku, pasti akan kutemukan juga gelang itu, hiburku dalam hati.
Aku dan suami kembali menyusuri jalan yang sudah dilewati, tetapi hasilnya nihil.