Di sudut sebuah kampung, tersebutlah sebuah kentongan kuno yang telah berumur sekitar dua ratus lima puluh tahun. Konon, pembuatan kentongan itu tidak asal-asalan saja, sang empu pembuat membutuhkan waktu khusus. Diceritakan bahwa sebelum memulai proses pembuatan kentongan, Â empu tersebut melakukan puasa empat puluh hari atas perintah gurunya.
Kayu yang dipilih untuk membuat kentongan juga bukan sembarangan. Dia pilih kayu yang benar-benar berkualitas, agar suaranya memiliki kekuatan khusus.
Kini, sang pembuat kentongan telah tiada, namun karyanya masih dapat dilihat dan dinikmati bersama.
Fungsi kentongan pada zaman itu selain sebagai penanda datangnya waktu salat, juga penanda jika ada berita kematian  warga. Irama untuk berita kematian dan penanda waktu salat tentu sangat berbeda. Jadi masyarakat yang mendengarnya akan segera mengetahui  waktu salat atau penanda adanya kematian warga.
Kentongan itu sekarang berada di rumah salah satu warga karena menjadi barang antik. Dia mendapatkan benda tersebut bukan cuma-cuma, tetapi harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.
Namun anehnya, kentongan tersebut sekarang sering membuat resah warga. Tiba-tiba pada  tengah malam yang sepi, terdengar suara kentongan dengan irama teratur, sebagai penanda waktu salat. Bukan hanya seorang dua orang yang mendengar suara kentongan tersebut. Hampir semua telinga mendengarnya.
Peristiwa itu berulang kali terjadi. Hingga sesepuh daerah tersebut merasa sangat khawatir bakal terjadi sesuatu seperti yang dulu pernah didengar dari gurunya.
"Kentongan ini akan mengeluarkan suara sendiri tanpa dipukul, jika masyarakat sudah terlihat tidak sesuai dengan aturan lagi," kata Ki Sabda guru dari Mbah Purwa.
Keprihatinan Mbah Purwa pun makin menjadi ketika banyak ditemui segala sesuatu di tengah masyarakat tidak sesuai aturan agama, maupun Negara.
Kentongan misterius itu makin sering mengeluarkan suara sendiri. Frekuensi suara yang dikeluarkan makin sering dan hampir setiap hari.
Maka atas usul Mbah Purwa sebagai sesepuh, para pemuka daerah tersebut dikumpulkan. Pertemuan itu menjadi sebuah ajang koreksi. Ada juga yang menyalahkan si pemilik kentongan, karena dianggap sebagai penyebab keresahan masyarakat.
Beberapa bulan setelah pertemuan dengan para pemuka daerah itu, ternyata belum menunjukkan kemajuan, bahkan makin sering berbunyi sendiri tidak peduli siang atau malam.
Kembali pertemuan digelar. Pertemuan kali ini lebih serius karena langkah pertama kemarin tidak membawa hasil. Berbagai usulan dan masukan muncul. Akhirnya pada akhir pertemuan Mbah Purwa berkenan  menyampaikan usulan.
Beliau menyampaikan usulan sederhana saja.
"Sekarang kita kembalikan pada fungsi kentongan pada awal mulanya. Jika dulu sebagai penanda waktu salat, mungkin saat ini kita perlu melihat fungsi itu sudah benar belum?"
Hadirin pun saling berpandangan. Ada satu hal yang tidak pernah terpikirkan lagi. Saat ini ketika ada panggilan salat, masyarakat kurang memperhatikan dan sibuk dengan urusan masing-masing. Apa yang dikatakan Mbah Purwa memang benar.
Satu minggu setelah Mbah Purwa mengatakan hal tersebut, tiba-tiba masyarakat mulai berubah. Kentongan itu pun sekarang jarang mengeluarkan suara. Masyarakat sekarang lebih memperhatikan saat ada panggilan salat. Masjid dan musala kini ramai lagi dengan jamaah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H