Mohon tunggu...
Zuni Sukandar
Zuni Sukandar Mohon Tunggu... Guru - Seorang guru SLB

Lahir di Magelang, 20 Mei 1971, SD-SMP di kota yang sama, S-1 di Jogjakarta, saat ini mengajar di SLB Maarif Muntilan sebagai guru tunanetra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tanda-tanda

6 Oktober 2020   11:18 Diperbarui: 6 Oktober 2020   11:40 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Teringat cerita Bapak sekian tahun yang lalu. Aku paling senang jika Bapak mau menceritakan masa kecilnya, ketika zaman penjajahan Jepang, atau cerita horor sekalipun. Aku dan adik-adik terbuai oleh kalimat yang disampaikan Bapak.

Setiap malam Jumat, Bapak selalu menyempatkan diri  bercerita tentang keluarganya yang telah meninggal, mulai dari nenek, kakek,  dan saudara-saudaranya.

"Nek malem Jemuwah, do maca tahlil, po Yasin, mbah-mbahne awak dhewe gek do bali. Dadi aja nganti lali le ndongakke," pesan Bapak padaku dan adik-adik.

Biasanya Bapak memimpin baca tahlil atau doa bersama.

Pernah suatu kali Bapak bercerita, bahwa ada semacam kepercayaan di tengah masyarakat sekitarku, tentang suatu tanda berupa suara. Bapak menceritakan bahwa hal ini terjadi berkali-kali, sehingga masyarakat sebagian besar mempercayai.

"Saben ana swara glung, ngono kuwi, iso dipesthekke nek arep ana wong seda," kata Bapak menceramahiku dan adik-adik yang kebetulan saat itu berkumpul bersama di ruang tengah.

Adikku yang terkenal banyak omong mungkin merasa penasaran. Akhirnya memberanikan diri bertanya pada Bapak.

"Swarane teng pundi niku, Pak?"

"Ya neng cedhake kuburan mau. Dadi swara glung mau kaya nek barang kecemplung ana luwangan, ngono, Ndhuk."

Kami bertiga pun melongo mendengar keterangan Bapak. Merasa ngeri dan takut juga sebenarnya.

Berawal dari rasa penasaranku dan adik-adik, maka kami pun menyetujui untuk berjaga-jaga. Setiap malam kami bertiga pun menjadi pemerhati suara yang mungkin akan muncul seperti yang dikatakan Bapak.

Mungkin ingin membuktikan apa yang dikatakan Bapak, kami pun kadang rela berjaga sampai malam hari. Beberapa hari kami coba, tetapi belum mendengar suara glung tersebut. Usaha kami pun belum menunjukkan hasil.

Tiba-tiba setelah salat Subuh, petugas penyiar berita kematian menyampaikan informasi lewat pengeras suara.

"Lo, kok ana berita kematian," tanya adikku penuh rasa penasaran, karena usahanya selama ini belum menunjukkan hasil.

Bapak hanya tertawa melihat reaksi adikku yang merasa kecolongan.

"Bapak mireng swara glung wes telung dina kepungkur, Ndhuk, ning trima meneng wae, ndak kowe padha wedi."

"Oalah, Pak...."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun