Malam Jumat, kembali Yu Jiyem harus bertemu dengan ibu-ibu jamaah Yasin. Setengah bulan sekali kegiatan itu selalu dilaksanakan secara bergiliran. Beberapa hari yang lalu sempat vakum karena datangnya wabah covid-19. Rasanya ibu-ibu peserta jamaah Yasin sudah kangen betul karena lama tidak berkumpul membaca Yasin.
Di rumah Bu Endro, pembukaan kegiatan Yasin setengah bulan sekali, dipadati jamaah. Maklum saja mungkin wabah covid-19 telah memisahkan jalinan silaturahmi para jamaah, yang hanya mampu bertegur sapa lewat media sosial.
Yu Jiyem yang terkenal penakut ketika pulang malam hari, kali ini ditemani Yu Berkah. Dari awal sudah mewanti-wanti agar dapat pulang bersama. Rumah mereka berdekatan, jadi setiap kegiatan, Â dapat saling mengingatkan sekaligus pergi dan pulang bersama.
"Yu, jangan lupa aku diampiri ya, nanti Yasinannya," pinta Yu Jiyem pada sahabat sekaligus tetangganya.
"Ya, habis Isya awal langsung cabut, ya. Malu jika sampai acara sudah dimulai."
"Ya, weslah, siap."
Acara malam Jumat itu pun berjalan lancar. Selain ada pembacaan surat Yasin, juga tahlil, dan kultum dari pengurus. Arisan menjadi hal wajib bagi ibu-ibu jamaah Yasin itu. Ada juga uang piringan, untuk kegiatan sosial, seperti bezuk tetangga yang sakit atau  keluarga dari jamaah Yasin.
Yang namanya pertemuan perempuan, ya sudah pasti harus bawa uang, untuk infaq, arisan, Â kadang ada iuran untuk kepentingan bersama.
Malam pun semakin larut. Acara berakhir pada pukul setengah sepuluh tepat.Â
Yu Jiyem sejak tadi sibuk mencari sesuatu setelah keluar dari rumah Bu Endro. Matanya mencari-cari sesuatu yang tidak juga ditemukan.
"Aduh, kok ora ana to sandalku!"
"Apa, Yu, mencari sandal po?" tanya Yu Berkah yang sudah tidak sabar menanti lama.
"Iya, j. Wah kok ora ana tak goleki ket mau, ki."
"La sandal coklat kuwi udu?"
"Sandalku srampate ireng, iki lak coklat. Aku ya wegah nganggo la udu wekku, kok," kata Yu Jiyem jujur.
"Mbok teka dienggo wae saanane, Yu. Sesuk nek ana sing opyak ya teka balekke, to."
"Ah, wegah, aku angur nyokor wae baline."
Akhirnya Yu Jiyem pun kembali ke rumah dengan kondisi tanpa sandal melekat di kakinya. Esok paginya Yu Jiyem ke pasar membeli sandal, sebab sandal satu-satunya hilang entah siapa yang memakai.
Hampir satu minggu setelah hilangnya sandal Yu Jiyem, Yu Karti bertamu ke rumah Yu Jiyem. Â Yu Jiyem yang pada saat itu sedang berada di depan rumah mempersilakannya masuk, tetapi ditolaknya.
"Wes kene wae, Yu. Aku arep njaluk ngapura, jebule aku kleru nganggo sandalmu, Yu. Ya pisan meneh aku njaluk pangapuramu, ya, Yu," kata Yu Karti sambil menyerahkan sandal yang dipakainya ketika malam Yasinan.
"Ora pa-pa, Yu. Aku ya wes tuku sandal meneh, kok. La ming duwe sandal siji kuwi j, kok ilang. Dadi ya kudu tuku meneh."
"Oalah, Yu, mesakke tenan, njaluk pangapura ya, nganti ngrepotke, malah saiki dadi duwe sandal loro."
"La jane aku ya ora karep tuku sandal, ora ana anggaran kanggo kuwi, nanging merga sandalku ming siji, ya kepeksa tuku meneh," batin Yu Jiyem dalam hati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H