Malam yang cukup dingin membuatku tiba-tiba terasa lapar dan haus yang tidak  terkira. Ingin jajan membeli makanan atau minuman juga sudah tidak ada warung yang buka. Jalan yang kami lewati sudah sepi. Hanya suara jangkrik dan angin malam yang selalu menyapa.
Beberapa meter lagi Salamun sudah sampai rumah. Hatiku mulai tidak menentu. Berjalan sendirian  di malam yang sepi, dingin dan melewati kuburan yang terkenal angker.
"Jon, aku belok ya, hati-hati di jalan," kata Salamun sambil menyalamiku.
"Ya, Mun, selamat istirahat, sampai ketemu besuk."
Perutku kembali bersuara mungkin protes. Di lapangan ketika menonton kubra tadi hanya sempat membeli gorengan sebagai pengganjal perut.
Langkahku kupercepat agar segera sampai perempatan yang menuju dusunku. Melewati kuburan pada  tengah malam sungguh bagiku membutuhkan keberanian yang lebih. Jantungku berdebar-debar. Apa pun suara yang kudengar tidak kuhiraukan, ayat kursi dan doa-doa lain pengusir setan kurapalkan.Â
"Setan, dedemit, pocong, tuyul, buta ijo dan sejenisnya, enyahlah," bisik batinku yang begitu ketakutan. Alhamdulillah meski dengan keberanian yang pas-pasan, kuburan angker itu berhasil kulewati. Lega rasanya.
Napasku yang ngos-ngosan membuat rasa lapar, letih, lelah dan hausku makin bertambah.
Untung masih ada gerobag penjual wedang ronde. Lampunya masih menyala.
"Wah, asyik juga nih. Dingin-dingin minum wedang ronde untuk menghangatkan tubuh," pikirku dalam hati.
Lampu yang tidak begitu terang pada gerobag ronde, membuatku tidak begitu paham penjualnya.