Mohon tunggu...
Zuni Sukandar
Zuni Sukandar Mohon Tunggu... Guru - Seorang guru SLB

Lahir di Magelang, 20 Mei 1971, SD-SMP di kota yang sama, S-1 di Jogjakarta, saat ini mengajar di SLB Maarif Muntilan sebagai guru tunanetra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tetangga

2 Agustus 2020   21:16 Diperbarui: 2 Agustus 2020   21:11 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Pak ... Pak, cepat sini!" pinta Ratmi pada suaminya yang sedang membaca koran di ruang tengah.

Mendengar istrinya berteriak, suaminya segera meletakkan koran yang dipegangnya. Biasanya jika Ratmi berteriak-teriak seperti itu ada hal penting yang akan disampaikan. Pengalaman beberapa waktu yang lalu Ratmi berteriak-teriak seperti itu  tidak diladeni oleh suaminya, langsung dia mencak-mencak membawa pisau dapur. Ratmi kalap, karena merasa tidak dihargai.

"Ada apa sih, Bu?"

Rusli mendekati istrinya.

"Sini, dong, mendekat sini. Tuh lihat, pengantin baru sedang  mencuci pakaian, tapi kok yang laki-laki ya, Pak?"

Rusli memperhatikan apa yang dikatakan istrinya. Ratmi dan Rusli melihat Anto dan istrinya di dekat dapur rumah. Meski berseberangan jalan, tetapi kedua tetangga itu dapat saling melihat aktivitas yang sering dilakukan, terutama di ruang dapur dan belakang, seperti sumur atau halaman belakang.

"Ya biar to, Bu. Wong pakaian ya milik mereka sendiri, kok kamu yang sewot."

"Huh, dasar Bapak ini. Mbok ya lihat kejanggalannya to, Pak."

"Maksudmu gimana, sih, Bu?"

"Ya jelas aneh to Pak. Masa yang nyuci baju malah laki-laki. Terus yang perempuan itu apa kerjaannya? Dandan, bersolek, atau hanya main HP?"

Rusli hanya geleng-geleng kepala mendengar jawaban istrinya. 

"Kamu kok sukanya menghakimi seseorang, to, Bu? Mbok ya sadar, to. Berbaik sangka saja pada mereka. Mereka kan punya dunia sendiri."

"Wah, kalau saya yang punya anak laki-laki, nggak boleh mencuci kayak gitu, Pak. La wong mencuci pakaian kan pekerjaan perempuan to. Wuh, aku jadi gemes to lihatnya."

"Sabar, Bu."

"Sabar, gimana to Bapak, ki."

"Setahuku, ya nggak apa-apa jika laki-laki yang mencuci, masak, sekalian cari duit, Bu."

"La terus istrinya kerjaannya apa, Pak?"

"Ongkang-ongkang."

"Hah!"

Mata Ratmi terbelalak mendengar jawaban suaminya. Ratmi merasa aneh dengan ucapan Rusli baru saja.

"Pak, ini serius, po?"

"Suerlah, Bu," kata Rusli menirukan kata yang biasa digunakan anak muda zaman now.

"Berarti besuk aku nggak perlu nyuci, menyetrika, memasak,  mengepel, ya, kan, Pak? Cukup ongkang-ongkang di rumah, terima uang dan belanja ke mall."

"Ya, Ibu mau pahala nggak?"

"Siapa yang nggak mau, pastilah!"

"Jika mau mencucikan baju suaminya, pahalanya gede lo, Bu. Jadi eman-eman kan jika pahala hilang begitu saja."

"Halah, dasar Bapak pasti ada maunya, terus berdalil kayak gitu."

"Ya sudah jika tidak percaya, nanti kita ngaji ke rumah Pak ustaz Ahmad."

"Siap, pasti jawabannya laki-laki kan?"

"Tunggu saja jawaban beliau, Bu."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun