#Part 2 (Fatamorgana di Titik 2249)
Puncak . . .
Inikah yang sedang Saya cari?
Benarkah Saya sungguh – sungguh menginginkannya?
Atau jangan – jangan ini hanya sebatas keinginan yang semu layaknya sebuah fatamorgana?
Saat ini Saya telah menginjakkan kaki di puncak gunung Guntur, nampaknya pagi ini Gunung Guntur memiliki banyak tamu. Ratusan orang telah berlalu lalang dan hilir mudik sibuk dengan aktivitasnya masing – masing, memasak, makan pagi, membangun flysheet, menggelar matras, dan tak lupa pula juga dipenuhi dengan orang – orang yang sibuk mengabadikan momen di puncak gunung.
Namun, ada yang berbeda kali ini, di beberapa titik orang – orang sibuk memasang bendera. Ya, Sang Saka Merah Putih, tepat dengan kemerdekaan Republik Indonesia, disinipun akan digelar upacara bendera sebagai seremonial kemerdekaan bangsa Indonesia.
Enam kawan Saya melanjutkan pendakian ke puncak kedua, karena memang seremonial disana lebih cetar dan menggelora. Dan Saya memutuskan untuk tetap stay di puncak 1, jika memang upacara bendera yang dikejar, toh di puncak 1 juga akan diadakan upacara bendera.
Bukan bermaksud ngeles lagi ya, biarlah Saya yang betugas sebagai penjaga tas dan barang bawaan mereka, anggaplah ini sebagai wujud terima kasih Saya kepada mereka karena telah membantu dan mendukung Saya hingga mencapai puncak 1. Terbayang kan, seandainya tadi tidak ada yang menawarkan untuk membawakan carrier Saya, berbagi makanan dan minuman di tengah – tengah pendakian, menjadi pegangan dan navigator, serta memberi semangat ketika Saya seolah tak mampu lagi untuk melangkah. Saya belum tentu mencapai puncak seperti saat ini. Thanks guys , . .
Pembaca yang budiman, mungkin agak sedikit berbeda antara tulisan part 1 di part 2 ini, ada sesuatu yang menggelitik hati Saya yang ingin Saya ungkapkan dalam cerita Di Titik 2249 #part 2 ini. Ini bukan tentang hingar – bingar puncak dalam nuansa kemerdekaan, bukan pula tentang nasionalisme dan patriotisme, tetapi ini tentang ke–Indonesia–an Saya. Jadi, jika kalian tidak begitu tertarik dengan topik ini, kalian bisa skip dan langsung membaca di #part 3.
Ke – Indonesia – an Saya
Tenang, Saya tidak akan menambah daftar panjang kasus kewarganegaraan yang sedang ramai diberitakan di sejumlah media massa dewasa ini, seperti halnya kasus menteri ESDM Arcandra maupun kasus Gloria. Saya secara KTP berkewarganegaraan Indonesia dan tentunya pemegang paspor Indonesia. Jadi, clear ya…
17 Agustus sepertinya kini hanyalah sebuah momentum yang dirayakan dengan ceremonial upacara dilengkapi berbagai lomba – lomba kemerdekaan antar RT/RW setempat misalnya. Hal ini pula lah yang mendorong Saya untuk memantapkan hati mengikuti pendakian ini. Saya ingin merasakan atmosfer yang berbeda di perayaan 17 Agustus yang dipatri sebagai hari kemerdekaan Indonesia.
Saya merebahkan badan di atas sebuah matras dengan tumpukan carrier, memejamkan mata sejenak, dan merasakan hembusan angin, menarik nafas dalam – dalam menikmati udara pegunungan. “Hiduplah tanahku, hiduplah negeriku . . .” Nyanyian Indonesia Raya itu mengaburkan keinginan Saya untuk sejenak mengagumi dan menikmati suasana pegunungan yang tentunya amat sangat langka bisa Saya dapatkan di Cikarang – Bekasi. Merasa tidak mau ketinggalan dengan momen langka ini, segera Sayapun bergerak cepat menuju lokasi yang memang tidak jauh dari posisi Saya sebelumnya untuk mengabadikan momen tersebut.
Hilir mudik orang seraya mengibar – ngibarkan bendera merah putih, menyanyi dengan sekeras – kerasnya. Beberapa diantaranya sibuk membawa tongsis kesana kemari, mungkin sedang mencari angel yang pas untuk bisa mendapatkan foto dengan kualitas prima. “Beginikah seremonial kemerdekaan Indonesia di puncak gunung?” gumam Saya. Lagu – lagu kebangsaan yang seharusnya dinyanyikan dengan penuh khidmat, upacara bendera yang selayaknya menjadi media kontemplasi dan refleksi akan makna kemerdekaan dilaksanakan seperti ini. Ahhhh, entahlah. Ada yang salah, entah dengan pribadi Saya yang mendadak nasionalis atau memang Saya yang tidak mengetahui adat istiadat pelaksanaan seremonial kemerdekaan Indonesia di pegunungan.
Saya pribadipun meragukan ke–Indonesia–an Saya, tidak perlu berbicara tentang nasionalisme dan patriotisme, karena mungkin Saya hanya baru dalam tahapan mengetahui arti katanya belum sampai pada tahap mandalami, mengilhami, serta menerapkan dalam kehidupan sehari – hari. Meskipun sedari dini Saya belajar tentang pendidikan kewarganegaraan, namun seolah semuanya terhempas oleh waktu.
Upacara bendera di 17 Agustus Saya hampir selalu mengikutinya semenjak SD hingga perguruan tinggi, begitu pula dengan serangkaian acara lomba – lombanya, Saya bisa dibilang jarang absen mengikutinya. Sebatas itukah ke–Indonesia–an Saya? Berbicara tentang ke–Indonesia–an Saya saja ragu, bagaimana mungkin Saya akan berbicara ke–Indonesia–an kepada orang lain?
Teruntuk Indonesia
Surat Terbuka Untuk Ibu Pertiwi Di Titik 2249.
Dear Indonesia,
71 tahun paska kemerdekaan, tua juga ya. Jikalau aku harus memanggilmu, mungkin lebih tepatnya aku memanggil dengan sebutan simbah Indonesia.
71 tahun bukanlah sebuah usia kemarin sore, aku tidak tahu apa saja yang sudah kamu lakukan, karena kenyataannya aku baru berumur 24 tahun 5 bulan 9 hari.
Selama itu pulalah aku mengirup udara dan menginjakkan kaki di bumi Ibu pertiwi.
Yang aku tahu, terlalu banyak masalah yang sedang Kamu hadapi di usia senjamu, di usia yang seharusnya kamu bisa menikmati kesuksesan dari apa yang telah dibangun rakyatmu.
Ya, tentu saja aku tahu masalahmu, aku mengetahuinya dari pemberitaan media massa.
Meskipun aku juga tidak tahu secara pasti cara untuk membantumu.
Melalui lembutnya angin yang berhembus
Melalui segarnya udara pegungungan
Melalui hangatnya sang surya
Di titik 2249 mdpl ini, Aku akan mendengarkan keluh kesahmu,
maka berceritalah, . . .
Indonesia,
Aku mungkin tidak memahami secara utuh filosofi simbolis dari ke–Indonesia–anmu, bendera, lambang negara, lagu kebangsaan, dan lain sebagainya.
Aku mungkin juga bukan penghafal UUD 1945 apalagi UU dan Tap MPR.
Tetapi yang jelas aku bersyukur bisa tinggal di negara yang aman.
Aku bisa tidur nyenyak tanpa mendengar letupan laras panjang
Aku bisa bersekolah dengan baik tanpa takut adanya ledakan bom
Seperti halnya nasib saudara – saudara kita di Timur Tengah.
Semoga Allah selalu menguatkan dan melindungi mereka.
Yang jelas, aku bersyukur bisa tinggal di negara yang loh jinawe ini.
Sehingga selalu tersedia asupan makanan dan minuman, meskipun di beberapa wilayahmu ada yang belum memadai.
Terima kasih untuk semuanya.
Indonesia,
Terlalu jauh dan tinggi jika aku harus mengutip kata – kata seorang negarawan Paman Sam
“Jangan tanyakan apa yang bisa negara berikan kepadamu, namun tanyakan apa yang bisa kamu berikan kepada negara”.
Tolong, level kecintaanku padamu belum sampai selevel John F. Kennedy mencintai negaranya.
Bahkan aku masih harus mempertanyakan pada diriku.
Benarkah aku bangga menjadi bagian dari Indonesia?
Sebangga apa aku menjadi warga negara Indonesia?
Oh, Ibu Pertiwi,
Maafkan aku.
Maafkan atas lunturnya ideologi yang pernah kubangun bahkan kandas.
Maafkan atas kecintaanku akan negara ini yang hanya sebatas ucapan.
Maafkan atas kecintaanku yang seolah hanya dalam kepura – puraan.
Maafkan atas ke–Indonesia–anku yang abal – abal ini.
Di usia 71 tahun kemerderkaan,
Aku tidak bisa berdoa agar beban masalahmu diperingan karena nyatanya toh masalah yang kamu hadapi teramat besar dan kompleks.
Aku akan berdoa semoga Allah memberikan bahu yang kuat agar mampu memikul setiap masalah yang ada.
Semoga selalu dipertemukan dengan orang – orang yang berbudi pekerti luhur untuk memimpin negeri ini.
Doaku selalu menyertaimu, Indonesia.
Gambar 2. Dari Kiri ke Kanan Pak Ketut, Danang, Choi, Lutfi, Rizky, Ilham.
Even though the flag is just a symbol, but it full of history and soul of country. Happy Independence day, Indonesia.
Zulvah – @ Mt. Guntur (August 17th, 2016).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H