17 Agustus sepertinya kini hanyalah sebuah momentum yang dirayakan dengan ceremonial upacara dilengkapi berbagai lomba – lomba kemerdekaan antar RT/RW setempat misalnya. Hal ini pula lah yang mendorong Saya untuk memantapkan hati mengikuti pendakian ini. Saya ingin merasakan atmosfer yang berbeda di perayaan 17 Agustus yang dipatri sebagai hari kemerdekaan Indonesia.
Saya merebahkan badan di atas sebuah matras dengan tumpukan carrier, memejamkan mata sejenak, dan merasakan hembusan angin, menarik nafas dalam – dalam menikmati udara pegunungan. “Hiduplah tanahku, hiduplah negeriku . . .” Nyanyian Indonesia Raya itu mengaburkan keinginan Saya untuk sejenak mengagumi dan menikmati suasana pegunungan yang tentunya amat sangat langka bisa Saya dapatkan di Cikarang – Bekasi. Merasa tidak mau ketinggalan dengan momen langka ini, segera Sayapun bergerak cepat menuju lokasi yang memang tidak jauh dari posisi Saya sebelumnya untuk mengabadikan momen tersebut.
Hilir mudik orang seraya mengibar – ngibarkan bendera merah putih, menyanyi dengan sekeras – kerasnya. Beberapa diantaranya sibuk membawa tongsis kesana kemari, mungkin sedang mencari angel yang pas untuk bisa mendapatkan foto dengan kualitas prima. “Beginikah seremonial kemerdekaan Indonesia di puncak gunung?” gumam Saya. Lagu – lagu kebangsaan yang seharusnya dinyanyikan dengan penuh khidmat, upacara bendera yang selayaknya menjadi media kontemplasi dan refleksi akan makna kemerdekaan dilaksanakan seperti ini. Ahhhh, entahlah. Ada yang salah, entah dengan pribadi Saya yang mendadak nasionalis atau memang Saya yang tidak mengetahui adat istiadat pelaksanaan seremonial kemerdekaan Indonesia di pegunungan.
Saya pribadipun meragukan ke–Indonesia–an Saya, tidak perlu berbicara tentang nasionalisme dan patriotisme, karena mungkin Saya hanya baru dalam tahapan mengetahui arti katanya belum sampai pada tahap mandalami, mengilhami, serta menerapkan dalam kehidupan sehari – hari. Meskipun sedari dini Saya belajar tentang pendidikan kewarganegaraan, namun seolah semuanya terhempas oleh waktu.
Upacara bendera di 17 Agustus Saya hampir selalu mengikutinya semenjak SD hingga perguruan tinggi, begitu pula dengan serangkaian acara lomba – lombanya, Saya bisa dibilang jarang absen mengikutinya. Sebatas itukah ke–Indonesia–an Saya? Berbicara tentang ke–Indonesia–an Saya saja ragu, bagaimana mungkin Saya akan berbicara ke–Indonesia–an kepada orang lain?
Teruntuk Indonesia
Surat Terbuka Untuk Ibu Pertiwi Di Titik 2249.
Dear Indonesia,
71 tahun paska kemerdekaan, tua juga ya. Jikalau aku harus memanggilmu, mungkin lebih tepatnya aku memanggil dengan sebutan simbah Indonesia.
71 tahun bukanlah sebuah usia kemarin sore, aku tidak tahu apa saja yang sudah kamu lakukan, karena kenyataannya aku baru berumur 24 tahun 5 bulan 9 hari.
Selama itu pulalah aku mengirup udara dan menginjakkan kaki di bumi Ibu pertiwi.
Yang aku tahu, terlalu banyak masalah yang sedang Kamu hadapi di usia senjamu, di usia yang seharusnya kamu bisa menikmati kesuksesan dari apa yang telah dibangun rakyatmu.