“After climbing a great hill, one only finds that there are many more hills to climb”
Nelson Mandela
Sepertinya perkataan Oppa Nelson Mandela ini cukup mengispirasi para mountaineers Aisin Indonesia di alam bawah sadar mereka, karena mereka melakukan beberapa pendakian untuk bisa berdiri tegap di atas dataran tertinggi yakni puncak sebuah gunung. Namun, sesungguhnya Saya sendiri juga tidak yakin mereka menyadari ada quote semacam ini dari Oppa Mandela. Baiklah, Saya tidak akan mengupas tentang quote Oppa Nelson Mandela apalagi perjuangannya sebagai aktivis anti – apartheid, Saya hanya ingin sedikit berbagi cerita tentang perjalanan Saya menuju titik 2249.
Sebagai anggota resmi dari grup Whatsapp mountaineers di kantor, sedikit merasa berdosa rasanya jika tidak pernah mengikuti hiking, at least pernah mengikuti meskipun hanya sekali. Hal inilah yang melandasi Saya agar menguatkan hati ini untuk berpaling “Ya, Kamu harus join dalam pendakian kali ini Zulvah.”
Namun, keraguan itu mulai datang manakala pada hari Minggunya (14/Agustus) Saya harus turut serta dalam kepanitian sebuah acara yang cukup menguras tenaga, waktu, dan emosi. No way to take it all back, Saya bergabung dalam pendakian kali ini, and as well as you’ve known that Saya wanita satu-satunya dalam pendakian ini.
Kalau biasanya bisa bermalas-malasan soal running, kali ini harus digeber lari seminggu minimal 3 – 4 kali sebagai persiapan fisik dan stamina karena Saya hanya punya waktu 2 minggu sebelum pendakian itu dimulai. Sederhananya paling tidak jika tidak ingin direpoti orang lain, maka jangan membuat orang lain repot karena kita. Hasilnya? Entahlah, Saya hanya mempercayai bahwa hasil tidak pernah menghianati usaha.
The story will begin..
#Part 1 (Titik Nol)
16/Agustus/2016
Setelah berdoa bersama, perjalananpun dimulai dari starting point PT Aisin Indonesia pada pukul 20.10, dan dilanjutkan dengan pengisian logistik baik untuk kendaraan maupun para pendaki. Hmmm, nasi Padang menjadi andalan bagi Kami malam ini untuk mengisi kantong perut kita.
Oh ya, sebelumnya Saya perkenalkan dulu personil mountaineers kali ini adalah Pak Ketut (Purchasing), Lutfi (Maintenance), Danang (PC), Choi (MSU), Rizky (Marketing), Ilham (MIS), dan Saya. Perjalanan Kami terbilang lancar dan bebas hambatan. Setelah beberapa kali bertanya ke beberapa penduduk setempat, sampailah Kami di base camp pendakian pada pukul 00.10.
17/Agustus/2016
Sebelum melakukan pendakian ini sudah ada deklarasi kepada siapapun yang bertugas sebagai sweeper agar menguatkan hatinya menghadapi pendaki abal-abal macam Saya ini. So, it’s clear enough ya. Setelah sedikit re-packing dan persiapan administrasi serta bertegur sapa dengan penduduk lokal. Penduduk lokal banyak berbagi cerita dan saran tentang lokasi pendakian. Kami berdoa untuk keselamatan Kami semua selama pendakian dan bersiap untuk berangkat.
Sekitar pukul 01.05, perjalananpun Kami mulai. Kalau dari penampilan mungkin sudah cukup mumpunilah Saya disebut anak gunung berbekal carrier dan topi kupluk serta balutan jaket tebal. Jangan tanya aneka perlengkapan pendakian, soal senter apalagi tongkat pendaki, tentu saja Saya tidak punya, tapi untungnya sudah ada yang rela hati membawakan dan berbagi perlengkapan pendakian dengan Saya. Sepertinya perlu diingat kembali dan note ya sebelum kalian membaca lebih jauh tentang perjalanan Saya di titik 2249 ini bahwa “Saya hanyalah pendaki amatiran yang bermodal keingintahuan”.
“Sepertinya perjalanan ini akan menyenangkan” sebuah sugesti yang berusaha Saya tanamkan saat pendakian ini akan dimulai. Tidak seperti perjalanan – perjalanan backpacker yang pernah Saya lakukan sebelumnya, Saya sengaja tidak searching and learning more tentang destinasi ini. Saya hanya ingin merasakan kejutan apa yang akan Saya alami, membiarkan logika dan hati ini agar selalu bertanya “what’s next?” “what will be happen?” dan satu lagi dalam perjalanan kali ini Saya bersama 6 orang kawan tidak sendirian. At least, Saya bisa meminimalisir kekhawatiran menjadi DPO (Daftar Pencarian Orang) dalam perjalanan kali ini.
30 menit trekking, sudah mulai mengatur nafas karena nafas sudah mulai tidak beraturan dan keringat bercucuran. Oh My, bahkan ini baru 1/10 dari waktu pendakian yang ditargetkan untuk bisa mencapai puncak dan tentunya bau-bau pos 1 pun belum terendus. Mau tidak mau Saya meminta istirahat untuk meneguk tetesan air.
Tidak ada yang salah bukan karena sesuai yang pernah breafing pasca berdoa sebelum pendakian dimulai “siapapun yang capek, nanti bilang ya, kita istirahat dulu”. Meskipun ini sedikit agak ngeles, tapi setidaknya keputusan ini tentunya menyenangkan pihak-pihak lain kok. Setelah sekitar 5 menit beristirahat, Kami melanjutkan perjalanan.
Perjalanan semakin berat diselimuti dengan hawa dingin dan bau khas belerang serta keringat yang sudah mulai mengalir deras ditambah lagi dengan medan trekking yang semakin tidak bersahabat. Setelah jalanan berkelok dan tanjakan yang tidak manusiawi, Kami harus melewati jalanan bebatuan dengan sudut kemiringan jalan berkisar 60o – 80o, bagi Kami melawati jalanan datar dengan pijakan tanah padat adalah bonus, mungin kenikmatannya sama halnya ketika mendapatkan bonus akhir tahun kali ya. Pendakian seolah terbagi menjadi dua kubu, yakni kubu leader dan sweeper. Klasifikasi ini sesuai dengan kecepatan ayunan langkah, sepertinya sudah terlihat sangat jelas Saya berada di kubu mana, tidak perlu Saya bahas secara mendetail, bukan? Hehehehe.
Derap langkah kaki ini kian melambat, sebagai wanita satu – satunya memang sangat dipahami jika meminta sejenak waktu berhenti untuk meneguk tetesan air. Semangat, rasa ingin tahu, dan sugesti seolah tidak mampu mengcover lambatnya alunan langkah. Should I give up? Jawabannya “mungkin iya, tapi tidak sekarang Zulvah”.
Saya masih berusaha untuk tetap mendaki, ketakutan Saya hanya satu semoga Saya tidak kram perut, karena hasil running beberapa waktu lalu, Saya selalu mengalami kram perut setelah berlari 2 km – 3 km. Di sela – sela pendakian yang kian ekstrim bebatuannya, datanglah sebuah tawaran mulia “Zulvah, sini tasmu Saya bawain”. “Are you sure?” “Apakah Saya sedang bermimpi?”. Maksud hati ingin menolak tapi apa daya kaki dan tangan memaksa untuk berkata “Ya” tentunya dengan sedikit basa – basi, akhirnya Saya mengiyakan. Kesempatan belum tentu datang untuk yang kedua kalinya, bukan? Because I only live once and only get one chance. It only happens once.
Dengan berkurangnya beban di punggung, maka seyogyanya tidak ada alasan untuk berlambat lambat dalam pendakian. Saya mulai mengatur speed pendakian, menyesuaikan antara hembusan nafas dan derap langkah yang selalu tak bisa seirama. Sekitar pukul 03.00 tibalah Kami di pos 3, tempat para pendaki membangun tendanya, sekitar ada 300 – an tenda yang sudah terpasang.
Namun, kali ini Kami tidak bermaksudnya untuk camping, Kami melakukan pendakian ini dalam satu hari. Puncak semakin dekat dengan Kami, di puncak nampak beberapa titik – titik cahaya, sudah ada pendaki yang lebih dulu mencapai puncak. Setelah melakukan serangkaian tahapan administrasi, Kamipun bersiap mendaki kembali.
Langkah demi langkah Kami lewati, medan menuju puncak semakin yang tidak berpola, tidak ada jalur resmi pendakian, kemiringan gunung sekitar 75o, padang kerikil bercampur tanah pasir yang licin, minim pepohonan, minim pijakan yang berumput, sehingga setiap pendaki sama – sama mencari jalur untuk pendakian dirinya dan timnya masing – masing. Setiap satu langkah yang terhenti akan turun dua langkah kaki meluncur ke bawah. Sesekali terdengar suara bersahutan “Awas batuuuu”. Pilihannya hanyalah tetap melangkah atau carilah pijakan yang kuat jika ingin berhenti.
Beban tumpuan di lutut semakin berat, langkah kaki ini tidak mampu lagi menyesuaikan kecepatan mendaki regu leader, sempat beberapa kali tertinggal namun berhasil bergabung kembali, hingga akhirnya Saya benar – benar tertinggal.
Sendiri dalam gelapnya Gunung Guntur, secara kebetulan tidak ada satupun pendaki lain yang lewat di selah kanan dan kiri Saya sementara grup sweeper masih jauh dibawah Saya. Sempat sekali dua kali Saya memanggil nama salah seorang dari kubu leader maupun sweeper.
Ayunan langkah kaki ini sungguh berat, setiap 3 – 5 langkah kaki, Saya harus mencari pijakan untuk berhenti, sekali dua kali jemari ini harus tersayat oleh rerumputan yang Saya jadikan pegangan ketika mendaki. Nafas mulai tersengal – sengal.
Arghhhh kenapa dia juga harus datang di saat yang tidak tepat? Kram perut ini perlahan namun pasti mulai datang menyerang. Saya bertumpu di atas kedua kaki yang sudah mulai melemah disokong oleh tongkat, tidak ada air untuk minum ataupun logistik karena sedari menuju pos 3 carrier Saya sudah berpindah tangan.
Mulai mengatur nafas dan menegakkan badan, dan berusaha untuk tetap bersikap tenang sembari berdoa. Berangsur – angsur rasa nyeri itu mulai bisa dilokalisir dan diatasi, dan tetiba “Sroooooootttt”Saya mulai kehilangan keseimbangan lantaran salah berpijak, meluncur sekitar 5 langkah kaki menuruni bekas pijakan langkah kaki Saya sebelumnya.
Seseorang menjulurkan tangannya menarik lengan Saya dan membantu Saya untuk kembali tegap berdiri. “Hati – hati Teh” ujarnya, dan Saya hanya mampu membalas “Terima kasih atas bantuannya”. Dalam masa kritis sekitar 3 menit ini, I’ve learn that“the only person that can save you is yourself, but don’t worry because God always be with you, if needed He will send His angels at the right time to help you”.
Saya mengakhiri masa kritis Saya dalam pendakian ini dengan berteriak“Pak Ketut, Saya mau air”. Terdengar konyol memang, tetapi harapannya ini tidak membuat panik anggota tim yang lain. Dan tak lama kemudian terdengar peluit. Wow, itu bunyi peluit milik Pak Ketut. Dan dari sisi kanan terdengar suara memanggil “Zulvahhhh” Saya mengenalinyaaaaaaa, itu kubu sweeper. Sesungguhnya ini adalah pertemuan yang mengharukan, termehek – mehek lah pokoknya. How lucky I’m, Thanks God. I still remember Your promise that “Verily, with every hardship comes ease”.
Saya kembali bergabung denga kubu sweeper, puncak sudah di depan mata, tapi entahlah kenapa langkah kaki ini tak sampai juga. Pukul 05.15, sudah mulai ada tanda – tanda sunrise, seorang tim sweeperbertekad untuk melaksanakan sholat Subuh di puncak. Dan Kamipun berpisah. Bukannya Saya pesimis, namun Sayalah yang tahu batas kemampuan Saya, dengan waktu 15 menit, jarak tempuh memang hanya berkisar 250 meter namun dengan medan yang demikian tak menentu.
Saya memutuskan untuk mencari pepohonan untuk tumpuan kaki agar tidak meluncur ketika melaksanakan sholat Subuh bersama dua orang rekan Saya lainnya dari kubu sweeper. Kami bertiga menunaikan sholat Subuh dengan kondisi seadanya dan bertumpu pada sebatang pohon kecil. Dan syukurlah Kami bertiga masih bisa menikmati sunrise ditemani renyahnya gigitan buah apel. “Nyam, Nyam, Nyam…”
“Haiiiiii” berteriak sembari mengangkat tongkat Saya, berusaha berkomunikasi dengan teman-teman yang sudah mencapai puncak lebih awal, jarak Saya dan lokasi puncak sekitar 20 langkah lagi. Dannnnnn, Saya sampai di puncak sebagai orang kelima, kemudian disusul seorang rekan lagi. Lantas kemana seorang teman Saya yang bersama – sama menikmati sunrise dengan sebutir apel? Ternyata dia salah ambil jalur. Dan 10 menit kemudian, Kami full team mencapai puncak. “Yeayyyyyyyy….”
The important thing in a picture isn’t about background or who is in the picture, but the memories.
You can capture the memories with camera but camera can’t capture the story. That’s why, I keep this memories with the words.
Zulvah – @ Mt. Guntur (August 17th, 2016)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H