30 menit trekking, sudah mulai mengatur nafas karena nafas sudah mulai tidak beraturan dan keringat bercucuran. Oh My, bahkan ini baru 1/10 dari waktu pendakian yang ditargetkan untuk bisa mencapai puncak dan tentunya bau-bau pos 1 pun belum terendus. Mau tidak mau Saya meminta istirahat untuk meneguk tetesan air.
Tidak ada yang salah bukan karena sesuai yang pernah breafing pasca berdoa sebelum pendakian dimulai “siapapun yang capek, nanti bilang ya, kita istirahat dulu”. Meskipun ini sedikit agak ngeles, tapi setidaknya keputusan ini tentunya menyenangkan pihak-pihak lain kok. Setelah sekitar 5 menit beristirahat, Kami melanjutkan perjalanan.
Perjalanan semakin berat diselimuti dengan hawa dingin dan bau khas belerang serta keringat yang sudah mulai mengalir deras ditambah lagi dengan medan trekking yang semakin tidak bersahabat. Setelah jalanan berkelok dan tanjakan yang tidak manusiawi, Kami harus melewati jalanan bebatuan dengan sudut kemiringan jalan berkisar 60o – 80o, bagi Kami melawati jalanan datar dengan pijakan tanah padat adalah bonus, mungin kenikmatannya sama halnya ketika mendapatkan bonus akhir tahun kali ya. Pendakian seolah terbagi menjadi dua kubu, yakni kubu leader dan sweeper. Klasifikasi ini sesuai dengan kecepatan ayunan langkah, sepertinya sudah terlihat sangat jelas Saya berada di kubu mana, tidak perlu Saya bahas secara mendetail, bukan? Hehehehe.
Derap langkah kaki ini kian melambat, sebagai wanita satu – satunya memang sangat dipahami jika meminta sejenak waktu berhenti untuk meneguk tetesan air. Semangat, rasa ingin tahu, dan sugesti seolah tidak mampu mengcover lambatnya alunan langkah. Should I give up? Jawabannya “mungkin iya, tapi tidak sekarang Zulvah”.
Saya masih berusaha untuk tetap mendaki, ketakutan Saya hanya satu semoga Saya tidak kram perut, karena hasil running beberapa waktu lalu, Saya selalu mengalami kram perut setelah berlari 2 km – 3 km. Di sela – sela pendakian yang kian ekstrim bebatuannya, datanglah sebuah tawaran mulia “Zulvah, sini tasmu Saya bawain”. “Are you sure?” “Apakah Saya sedang bermimpi?”. Maksud hati ingin menolak tapi apa daya kaki dan tangan memaksa untuk berkata “Ya” tentunya dengan sedikit basa – basi, akhirnya Saya mengiyakan. Kesempatan belum tentu datang untuk yang kedua kalinya, bukan? Because I only live once and only get one chance. It only happens once.
Dengan berkurangnya beban di punggung, maka seyogyanya tidak ada alasan untuk berlambat lambat dalam pendakian. Saya mulai mengatur speed pendakian, menyesuaikan antara hembusan nafas dan derap langkah yang selalu tak bisa seirama. Sekitar pukul 03.00 tibalah Kami di pos 3, tempat para pendaki membangun tendanya, sekitar ada 300 – an tenda yang sudah terpasang.
Namun, kali ini Kami tidak bermaksudnya untuk camping, Kami melakukan pendakian ini dalam satu hari. Puncak semakin dekat dengan Kami, di puncak nampak beberapa titik – titik cahaya, sudah ada pendaki yang lebih dulu mencapai puncak. Setelah melakukan serangkaian tahapan administrasi, Kamipun bersiap mendaki kembali.
Langkah demi langkah Kami lewati, medan menuju puncak semakin yang tidak berpola, tidak ada jalur resmi pendakian, kemiringan gunung sekitar 75o, padang kerikil bercampur tanah pasir yang licin, minim pepohonan, minim pijakan yang berumput, sehingga setiap pendaki sama – sama mencari jalur untuk pendakian dirinya dan timnya masing – masing. Setiap satu langkah yang terhenti akan turun dua langkah kaki meluncur ke bawah. Sesekali terdengar suara bersahutan “Awas batuuuu”. Pilihannya hanyalah tetap melangkah atau carilah pijakan yang kuat jika ingin berhenti.
Beban tumpuan di lutut semakin berat, langkah kaki ini tidak mampu lagi menyesuaikan kecepatan mendaki regu leader, sempat beberapa kali tertinggal namun berhasil bergabung kembali, hingga akhirnya Saya benar – benar tertinggal.
Sendiri dalam gelapnya Gunung Guntur, secara kebetulan tidak ada satupun pendaki lain yang lewat di selah kanan dan kiri Saya sementara grup sweeper masih jauh dibawah Saya. Sempat sekali dua kali Saya memanggil nama salah seorang dari kubu leader maupun sweeper.
Ayunan langkah kaki ini sungguh berat, setiap 3 – 5 langkah kaki, Saya harus mencari pijakan untuk berhenti, sekali dua kali jemari ini harus tersayat oleh rerumputan yang Saya jadikan pegangan ketika mendaki. Nafas mulai tersengal – sengal.