Ia ingin sekali mempersunting seorang putri Tiongkok yang bernama 'We Cudai.' Setelah sekian lama ia menikahi 'We Cudai' dan menetap di Tiongkok, saat Sawerigading rindu dan ingin pulang ke kampung halamannya. Perahu yang membawa Sawerigading itu digambarkan sebagai kapal kayu yang megah.
Dengan menaiki perahu yang dibuatnya sendiri, dalam perjalanan pulang kembali ke Tana Luwu. Namun, ketika berada di perjalanan, perahu yang ditumpangi Sawerigading dihantam ombak besar dan terpecah.
Pecahan-pecahan perahu tersebut menyebar dan terdampar ke tiga tempat di wilayah Kabupaten Bulukumba. Pertama di Kelurahan Ara, pecahan kedua di Tana Beru, dan pecahan ketiga di Lemo-lemo.
Pecahan-pecahan perahu itu kemudian oleh masyarakat disatukan kembali menjadi sebuah perahu megah diberi nama Perahu Pinisi.
Suatu saat saya sedang duduk bersama kawan asal Buton Sulawesi Tenggara, dengan penuh perhatian saya mendengarkan cerita pecahan-pecahan kapal milik Sawerigading di gugusan pulau-pulau di daerah Buton.
Mari lihat sejarah kapal, dikisahkan dalam Al Qur'an Nabiullah Nuh Alaihissalam (AS), diperintahkan oleh Allah SWT, untuk membawa pengikutnya dari rencana Tuhan, untuk menenggelamkan manusia yang menolak ajaran kebenaran.
Perahu itu dibuat Nabi Nuh, sekitar tahun 3.465 SM. Jika mengacu pada peristiwa banjir besar yang pernah melanda bumi, para ahli memperkirakan bahwa kapal Nabi Nuh AS dibuat sekitar tahun 3.465 SM.
Bagi para perajin Kapal Pinisi, filosofi perahu berlandaskan ajaran ketauhidan. Tiang dan layar memiliki makna mendalam, sehingga pembuatan perahu takkan terpisah dari spirit religius. Saya tentu tak berani menanyakan kepada para pekerja yang tengah tekun mengerjakan dinding kapal kayu besar itu.
Saya teringat pada guru semasa Sekolah Menengah Atas (SMA), asal Kabupaten Selayar, mengajarkan kami pendidikan Agama. Guru kami itu bertutur, Kapal Pinisi merupakan kapal layar dengan dua tiang dan juga memiliki tujuh layar.
Dua tiang layar utama dipercaya umat Islam sebagai dua 'kalimat Syahadat' tujuh lembar layar merupakan bilangan dari surah Al-fatihah. Sehingga pada Kapal Pinisi bermakna filosofi hidup dan diamalkan umat Islam, sejak sebelum dimulai prosesi pembuatan, hingga prosesi akan berlayar (pelarungan) menuju laut.
Setelah mendapat izin naik ke Pinisi memotret, ekor mata para pekerja yang sedang serius, terus-terus mengamati pergerakan saya, itu cukup memberikan gambaran bahwa mereka tak ingin terganggu, dan saya terpaksa pamit.