BERJALANLAHÂ ke Kota Wisata Bahari Bulukumba, Sulawesi Selatan, berjarak 170 kilometer, dari Kota Makassar. Di kawasan pantai, terlihat sejumlah industri kapal rakyat ramai berjejer.
Sejarah kapal pertama yang terdokumentasi dibuat oleh Bangsa Mesir kuno, diperkirakan sekitar abad ke-4 Sebelum Masehi (SM). Kapal-kapal kayu Mesir itu digerakkan untuk berlayar dengan memakai tenaga manusia dalam jumlah banyak, menggunakan alat dayung untuk mendorong gerak laju kapal.
Perahu berlambung tertua ditemukan pada sisa bangkai Kapal Uluburun dari Zaman Perunggu Akhir di lepas pantai Turki, berasal dari tahun 1300 SM. Pada era 1200 SM, bangsa Fenisia membangun kapal kayu dagang besar.
***
Saya memutuskan berhenti sejenak, tepat di pantat kapal kayu yang sedang dibangun di tepian pantai selepas Tanjung Bira, Kabupaten Bulukumba, arah selatan Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel).
Meminta izin pada sejumlah pria yang sedang asyik bekerja. Desa Tanah Beru di Bulukumba, menjadi salah satu pusat pembuatan Kapal Pinisi.
Bulukumba memiliki riwayat dalam sejarah Sulsel. Pada situs budaya.co menyebutkan Suku Bugis terkenal sebagai penakluk lautan. Mereka adalah pelaut handal, menaklukkan lautan dengan memakai sebuah perahu legendaris, yakni Perahu Pinisi.
Pinisi adalah perahu layar tradisional menjadi khas Suku Bugis. Ciri utama dari Pinisi adalah dua tiang utama serta tujuh buah layar. Tiga layar di bagian depan, dua di bagian tengah, dan dua di bagian belakang.
Perahu memiliki sejarah panjang, diceritakan di naskah "Lontarak I Babad La Lagaligo", Pinisi sudah ada sejak abad ke-14 M. Pertama kali dibuat oleh putra mahkota dari Kerajaan Luwu, Sawerigading.
Sawerigading membuat Perahu Pinisi dari pohon 'Welengreng' (pohon dewata) yang dikenal kuat dan kokoh. Perahu itu dibuat Sawerigading untuk mulai melakukan perjalanan menuju Tiongkok (China).
Ia ingin sekali mempersunting seorang putri Tiongkok yang bernama 'We Cudai.' Setelah sekian lama ia menikahi 'We Cudai' dan menetap di Tiongkok, saat Sawerigading rindu dan ingin pulang ke kampung halamannya. Perahu yang membawa Sawerigading itu digambarkan sebagai kapal kayu yang megah.
Dengan menaiki perahu yang dibuatnya sendiri, dalam perjalanan pulang kembali ke Tana Luwu. Namun, ketika berada di perjalanan, perahu yang ditumpangi Sawerigading dihantam ombak besar dan terpecah.
Pecahan-pecahan perahu tersebut menyebar dan terdampar ke tiga tempat di wilayah Kabupaten Bulukumba. Pertama di Kelurahan Ara, pecahan kedua di Tana Beru, dan pecahan ketiga di Lemo-lemo.
Pecahan-pecahan perahu itu kemudian oleh masyarakat disatukan kembali menjadi sebuah perahu megah diberi nama Perahu Pinisi.
Suatu saat saya sedang duduk bersama kawan asal Buton Sulawesi Tenggara, dengan penuh perhatian saya mendengarkan cerita pecahan-pecahan kapal milik Sawerigading di gugusan pulau-pulau di daerah Buton.
Mari lihat sejarah kapal, dikisahkan dalam Al Qur'an Nabiullah Nuh Alaihissalam (AS), diperintahkan oleh Allah SWT, untuk membawa pengikutnya dari rencana Tuhan, untuk menenggelamkan manusia yang menolak ajaran kebenaran.
Perahu itu dibuat Nabi Nuh, sekitar tahun 3.465 SM. Jika mengacu pada peristiwa banjir besar yang pernah melanda bumi, para ahli memperkirakan bahwa kapal Nabi Nuh AS dibuat sekitar tahun 3.465 SM.
Bagi para perajin Kapal Pinisi, filosofi perahu berlandaskan ajaran ketauhidan. Tiang dan layar memiliki makna mendalam, sehingga pembuatan perahu takkan terpisah dari spirit religius. Saya tentu tak berani menanyakan kepada para pekerja yang tengah tekun mengerjakan dinding kapal kayu besar itu.
Saya teringat pada guru semasa Sekolah Menengah Atas (SMA), asal Kabupaten Selayar, mengajarkan kami pendidikan Agama. Guru kami itu bertutur, Kapal Pinisi merupakan kapal layar dengan dua tiang dan juga memiliki tujuh layar.
Dua tiang layar utama dipercaya umat Islam sebagai dua 'kalimat Syahadat' tujuh lembar layar merupakan bilangan dari surah Al-fatihah. Sehingga pada Kapal Pinisi bermakna filosofi hidup dan diamalkan umat Islam, sejak sebelum dimulai prosesi pembuatan, hingga prosesi akan berlayar (pelarungan) menuju laut.
Setelah mendapat izin naik ke Pinisi memotret, ekor mata para pekerja yang sedang serius, terus-terus mengamati pergerakan saya, itu cukup memberikan gambaran bahwa mereka tak ingin terganggu, dan saya terpaksa pamit.
Tana Beru, 3 September 2024
Zulkarnain Hamson
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H