Mohon tunggu...
Zulkarnain Hamson
Zulkarnain Hamson Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Ilmu Komunikasi

Saya adalah dosen dengan latar belakang jurnalis selama 27 tahun

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

'Perang' Spanduk

30 Juli 2024   12:11 Diperbarui: 30 Juli 2024   12:14 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: dokumentasi pribadi

PERTENTANGAN lazim ditemui dalam perang, atau disebut juga 'Jurit' adalah aksi fisik bersenjata dan non fisik yang intens antara negara, pemerintah atau dalam arti sempit, adalah kondisi permusuhan dengan menggunakan kekerasan verbal, antara dua atau lebih kelompok manusia, tujuannya untuk adu siasat rebutan dominasi wilayah. Coba lihat kalimat inspirasi ini; "Barang siapa menguasai ketinggian maka menguasai dunia."

- - - - - - - - - - - -

Namun kata perang tidak lagi berperan sebagai kata kerja, tetapi sudah bergeser pada kata sifat, yang memopulerkan hal itu adalah para jurnalis, dan medianya sehingga lambat laun pergeseran itu mendapatkan posisinya, akan tetapi secara umum perang berarti "pertentangan". 

Sepekan terakhir ini, teks media seperti menyiram pertalite pada sisa api yang mulai padam dan dingin. Media kini bukan lagi domain mainstream, karena media sosial (Medsos) juga sudah menjajari diri seperti media arus utama. Komentar elit politik, juga para pendukung, bahkan pengamat sudah mengarah pada pembukaan katup konflik. Saya teringat pada pakar komunikasi politik almarhum Hidayat Nahwi Rasul, "Jangan biarkan bisul membesar, pecahkan sebelum infeksi dan membuat sakit."

Ada pameo lama politik, "Adalah sebuah ironi, saat para elit masih saling berpelukan, massa fanatik masing-masing pendukung sedang bermandi peluh dalam perkelahian fisik." Seperti inikah iklim politik dan demokrasi melahirkan pemimpin?. Saya mulai berfikir akan ada pihak yang ikut "mengail di air keruh". 

Maksudnya momentum selalu menciptakan peluang, tidak semua penonton netral, bahkan pada komentator bola, yang melaporkan final Asean Cup Usia 19 (U19) di televisi semalam, terdengar sangat pro kesebelasan Indonesia. Artinya bisa saja terjadi dukungan oleh pihak ketiga, kepentingannya bisa sama, tetapi boleh jadi berbeda.

Secara spesifik dan filosofis, perang merupakan turunan sifat dasar manusia yang tetap sampai sekarang, memelihara dominasi dan persaingan sebagai sarana memperkuat eksistensi diri, dengan cara menundukkan kehendak pihak yang dinilai berseberangan (dimusuhi). 

Dengan cara psikologis dan fisik, melibatkan diri sendiri dan orang lain, baik secara kelompok atau bukan. Pada umumnya perang dapat mengakibatkan derita, kesedihan dan kemarahan (dendam) yang berkepanjangan. Sebab terjadinya sangat banyak, diantaranya; Perbedaan ideologi; Keinginan untuk memperluas wilayah kekuasaan; dan Perbedaan kepentingan. Spanduk yang bermunculan sepekan terakhir dapat dimaknai sebagai fenomena perang Pilkada.

Saya memungut foto spanduk biru itu di salah satu grup WhatsApp, beberapa hari sebelum spanduk itu muncul, ada spanduk lain tak kalah 'garang' kalimat bertulis merah terbaca 'menyeruduk' bakal calon di Pilkada Gubernur Sulawesi Selatan, November 2024 mendatang. 

Simpulan saya genderang persaingan Pilkada Sulsel sudah ditabuh, sayangnya bernada sindiran, artinya emosi terpendam para calon mulai membuncah, pepatah "Diam itu emas" tidak berlaku teori dua menit mendiamkan kampanye negatif, sama artinya menyetujui atau membenarkannya. Seperti kata pelawak Cak Lontong, "Jangan coba memukul air di dulang jika tidak memakai jas hujan." Resiko basah sudah dalam tangan, jangan coba-coba menyerang kalau tak ingin menerima serangan balik.

"Perang tidak mengakhiri apapun" perang termasuk perang spanduk hanya akan melahirkan bibit-bibit pertikaian baru. "Tidak pernah ada perang yang baik atau perdamaian yang buruk," demikian kata politisi Amerika Benjamin Franklin. Sayangnya pemikiran filosofis Franklin, tak dipakai generasi sesudahnya. Kalau berniat jadi pemimpin di 'Butta Sulawesi' belajarlah ke 'Ammatoa' di Kajang, Bulukumba. 

Masyarakat Kajang terkenal akan kearifan memilih pemimpinnya. Pergilah ke Tanah Mandar, dan belajarlah bagaimana Suku Mandar itu memilih pemimpin mereka secara tradisionil. Memakai warisan kolonial hanya akan membuat calon pemimpin 'tersesat'. Tetapi sayangnya banyak berprinsip tindak usah ragu, ada tim sukses yang tak pernah gagal, sekalipun pada akhirnya sang calon tersungkur dalam peperangan, mereka tetap sukses.

Jeppe'E, 30 Juli 2024
Zulkarnain Hamson

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun