Mohon tunggu...
Zulkarnain Ali
Zulkarnain Ali Mohon Tunggu... -

Kesuksesen ditentukan diri sendiri

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Catatan Akhir Pekan Dr. Adian Husaini, Film “?”: Apa Maunya?

12 April 2011   12:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:52 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sosok lain yang secara dominan ditampilkan dalam   Film “?” adalah seorang bernama Surya. Ia  seorang laki-laki Muslim, berprofesi sebagai aktor figuran.  Dia berteman dengan Rika. Karena miskin, ia terusir dari rumah kosnya. Lihatlah, dalam film ini, Ibu Kos yang “bakhil” itu ditampilkan dalam sosok berjilbab, dan mengajari anak Rika agar membaca buku-buku Islam!

Surya  memuji-muji Rika telah melakukan sesuatu yang berarti dalam hidupnya. Mereka berkawan akrab. Surya ditampilkan sebagai sosok yang polos, kocak dan naif.  Untuk uang, dan mungkin untuk mempertontonkan fenomena “kerukunan umat beragama”,  Surya menerima tawaran Rika agar berperan sebagai Yesus. Ia rela beradegan – seolah-olah -- dipaku di tiang salib di sebuah Gereja Katolik saat perayaan Paskah. Pada kali lain, ia berperan sebagai Santa Claus. Sebagian jemaat Gereja sempat memprotes sosok Yesus diperankan seorang Muslim. Terjadi perdebatan. Muncul Pastor yang menyetujui penunjukan Surya sebagai tokoh Yesus.

Seperti halnya Rika, tampaknya sosok Surya ditampilkan sebagai representasi fenomena toleransi dan “kerukunan”.   Setelah merelakan dirinya berperan sebagai Yesus, Surya kembali ke masjid membaca surat al-Ikhlas, sebuah surat dalam al-Quran yang menegaskan kemurnian Tauhid. “Katakan, Allah itu satu. Allah tempat meminta. Allah tidak beranak dan diperanakkan. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.” Allah itu satu! Allah tidak punya anak!  Ini gambaran dalam Film “?” karya Hanung ini.

Padahal, surat al-Ikhlas seperti mengoreksi doktrin pokok dalam agama Kristen, yang dirumuskan sekitar 300 tahun sebelumnya, di Konsili Nicea (325 M), sebagaimana disebutkan dalam Nicene Creed:

“Kami percaya pada satu Allah, Bapa Yang Mahakuasa, Pencipta segala yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Dan pada satu Tuhan Yesus Kristus, Putra Allah, Putra Tunggal yang dikandung dari Allah, yang berasal dari hakikat Bapa, Allah dari Allah, terang dari terang, Allah benar dari Allah Benar, dilahirkan tetapi tidak diciptakan, sehakikat dengan Bapa…” (Norman P. Tanner, Konsili-konsili Gereja).

Padahal, al-Quran sudah menjelaskan: “Dan ingatlah ketika Isa Ibn Maryam berkata, wahai Bani Israil sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian, yang membenarkan apa yang ada padaku, yaitu Taurat, dan menyampaikan kabar gembira akan datangnya seorang Rasul yang bernama Ahmad (Muhammad).” (QS 61:6). Dalam al-Quran, ada cerita Lukmanul Hakim yang menesehati anaknya: “Syirik adalah kezaliman besar.” (QS 31:13).

Beratus tahun, sejak kelahirannya, Islam membuktikan sebagai agama yang sangat toleran. Sejak awal, Islam mengakui dan menghargai perbedaan, tanpa harus kehilangan keyakinan.

Saat Nabi Muhammad s.a.w. diutus, di wilayah Timur  Tengah, sudah eksis pemeluk Yahudi, Kristen, dan kaum musyrik Arab. Nabi Muhammad  s.a.w. mengajak mereka untuk memeluk Islam, mengakui Allah satu-satunya Tuhan dan dirinya adalah utusan Allah.  Nabi tidak menyatakan, “Semua agama sama-sama jalan yang sah menuju Tuhan!”   Bahkan, ada perintah al-Quran dalam surat al-Kafirun (109): “Katakan, hai orang-orang kafir, aku tidak menyembah apa yang kamu sembah! Dan tidak pula kamu menyembah apa yang aku sembah! Dan aku bukanlah penyembah sebagaimana kamu menyembah! Dan kamu bukanlah pula penyembah sebagaimana aku menyembah!”

Dalam Tafsirnya, Al-Azhar, Prof. Hamka menjelaskan, asbabun nuzul surat al-Kafirun ini berkaitan dengan tawaran damai empat tokoh kafir Quraisy yang resah dengan dakwah Tauhid Nabi Muhammad saw. Mereka adalah al-Walid bin al-Mughirah, al-Ash bin Wail, al-Aswad bin al-Muthalib dan Umaiyah bin Khalaf. Mereka mengajukan usulan: “Ya Muhammad! Mari kita berdamai. Kami bersedia menyembah apa yang engkau sembah, tetapi engkau pun hendaknya bersedia pula menyembah yang kami sembah….”

Buya Hamka mencatat:  “Soal akidah, di antara Tauhid Mengesakan Allah, sekali-kali tidaklah dapat dikompromikan atau dicampur-adukkan dengan syirik. Tauhid kalau telah didamaikan dengan syirik, artinya ialah kemenangan syirik.”

Lebih jauh Buya Hamka menjelaskan: “Surat ini memberi pedoman yang tegas bagi kita pengikut Nabi Muhammad bahwasanya akidah tidaklah dapat diperdamaikan. Tauhid dan syirik tak dapat dipertemukan. Kalau yang haq hendak dipersatukan dengan yang batil, maka yang batil jualah yang menang.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun