Mohon tunggu...
Zulkarnain Ali
Zulkarnain Ali Mohon Tunggu... -

Kesuksesen ditentukan diri sendiri

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Catatan Akhir Pekan Dr. Adian Husaini, Film “?”: Apa Maunya?

12 April 2011   12:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:52 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Jika direnungkan secara serius,  Pluralisme Agama sejatinya bisa begitu dekat dengan ateisme. Ketika orang menyatakan, “semua agama benar”, sejatinya bersemayam juga satu ide  dalam dirinya, bahwa “semua agama salah”.  Sebab, “Tuhan” (God), yang dipersepsikan kaum Pluralis adalah Tuhan yang abstrak. Tuhan kaum Pluralis adalah Tuhan dalam angan-angan, yang boleh diberi nama siapa saja, diberi sifat apa saja, dan cara menyembahnya pun  boleh suka-suka. Kapan suka disembah, kapan-kapan tidak suka, bisa diganti dengan Tuhan lain. Cara menyembah Tuhan, menurut mereka, juga sesuka selera manusia. Bosan dengan cara satu, bisa diganti dengan cara lain. Sebab, dalam konsep mereka, tidak ada satu cara yang pasti benar dalam ibadah, sesuai petunjuk seorang Nabi.

Tuhan dalam Islam mengharamkan babi. Pada saat yang sama, Tuhan dalam agama Kristen menghalalkan babi.

Tuhan,  dalam agama Bhairawa Tantra,  memerintahkan agar menyembelih wanita dan darahnya kemudian diminum bersama-sama. Tuhan dalam agama Children of God menganjurkan seks bebas, sebagai wujud rasa kasih sayang antar-sesama manusia.  Kini, di daratan Amerika dan Eropa bermunculan gereja-gereja nudis. Baik pendeta maupun jemaatnya, semuanya telanjang bulat saat melakukan kebaktian.  Jika semua jenis “Tuhan” itu diangga sama saja, maka “Tuhan” yang mana yang disembah kaum Pluralis?

Jadi, saat  seorang yang mengaku Pluralis  berkata, “Semua agama menyembah Tuhan yang sama”,  maka secara hakiki, dia telah berdiri di luar Islam.  Sebab, dia tidak lagi menuhankan Allah.  “Tuhan”, baginya, bisa siapa saja, berupa apa saja, dan berwujud apa saja. Bisa disebut Yehweh, bisa Allah, bisa Yesus, bisa Brahmin, dan bisa juga Iblis!  Yang penting dikatakan “Tuhan”, yang penting God!  Padahal, seorang Muslim sudah mengikrarkan syahadat: “Tidak ada Tuhan selain Allah”.

Meskipun menyebut Tuhan mereka dengan “Allah”, tetapi  kaum Quraisy ketika itu dikatakan sebagai “musyrik”,  sebab mereka menyekutukan Allah dengan Tuhan-tuhan lain.  Allah hanyalah salah satu dari Tuhan-tuhan mereka; bukan Tuhan satu-satunya. Sebutan bisa sama, yakni “Allah”, tetapi konsepnya  berbeda-beda.  Sebagian  besar kaum Kristen di Indonesia menyebut juga Tuhan mereka dengan sebutan “Allah”, tetapi konsepnya berbeda dengan “Allah” dalam Islam.

Lain lagi dengan aliran  “Darmogandul” di Tanah Jawa, yang mengartikan Allah dengan “ala” (bahasa Jawa, artinya jelek). Dalam salah satu  bait Pangkur-nya, Kitab Darmogandul,  menyatakan: “Akan tetapi bangsa Islam, jika diperlakukan dengan baik, mereka membalas jahat. Ini adalah sesuai dengan zikir mereka. Mereka menyebut nama Allah, memang Ala (jahat) hati orang Islam. Mereka halus dalam lahirnya saja, dalam hakekatnya mereka itu terasa pahit dan masin.”

Jadi, Tuhan yang mana yang disembah kaum Pluralis?  Jika Tuhan apa pun sama saja, lalu apa artinya Tuhan bagi mereka?  Ujung-ujungnya bisa jadi: Tuhan tidak penting! Sebab, dalam pandangan kaum ini, Tuhan yang sejati (Allah), atau manusia, atau setan dianggap sama saja. Semua bisa menjadi Tuhan dan dituhankan. Ujung-ujungnya, Tuhan dianggap tidak penting. Bandingkan dengan sosok Sigmund Freud, psikolog dan salah satu perintis ateisme modern, yang berteori bahwa “Bertuhan, hanyalah wujud gejala penyakit jiwa infantilisme (penyakit kekanak-kanakan). (B.E. Matindas, ibid).

Ketidakjelasan posisi teologis kaum Pluralis Agama, digambarkan oleh Dr. Stevri Lumintang, seorang pendeta Kristen di Malang,  dalam bukunya, Theologia Abu-Abu: Tantangan dan Ancaman Racun Pluralisme dalam Teologi Kristen Masa Kini,(Malang: Gandum Mas, 2004).

Dicatat dalam ilustrasi sampul buku ini, bahwa Teologi Abu-Abu adalah posisi teologi kaum pluralis ; bahwa teologi ini sedang meracuni, baik agama Kristen, maupun semua agama, dengan cara mencabut dan membuang semua unsur-unsur absolut yang diklaim oleh masing-masing agama.

Ditegaskan dalam buku ini: ‘’Inti Teologi Abu-Abu (Pluralisme) merupakan penyangkalan terhadap intisari atau jatidiri semua agama yang ada. Karena, perjuangan mereka membangun Teologi Abu-Abu atau teologi agama-agama, harus dimulai dari usaha untuk menghancurkan batu sandungan yang menghalangi perwujudan teologi mereka. Batu sandungan utama yang harus mereka hancurkan atau paling tidak yang harus digulingkan ialah klaim kabsolutan dan kefinalitas(an) kebenaran yang ada di masing-masing agama.’’

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun