Yogyakarta merupakan salah satu kota terkaya akan pariwisata sejarah dan budaya di Indonesia. Setiap spotnya memiliki makna dan cerita. Sebagai mahasiswa perantauan, kesempatan emas bagi saya untuk bisa mengeksplor kota ini. Salah satu tempat yang belum pernah saya kunjungi adalah Kotagede.Â
Saya memiliki ekspektasi tersendiri ketika mendengar nama Kotagede. Karena nama itu sering saya dengar dari orang-orang sekitar. Saya membayangkan tempat ini kurang lebih seperti Malioboro. Cenderung ramai dan dipenuhi pedagang.Â
Pada 21 Oktober 2023, akhirnya saya berkesempatan untuk berkunjung ke Kotagede. Â Perjalanan ini bermula dari tugas kuliah yang mengharuskan saya dan teman-teman untuk jalan-jalan.Â
Kami memutuskan untuk jalan-jalan santai mengisi sore hari kami di Kotagede. Menurut saya, itu adalah keputusan yang tepat. Perjalanan ini semakin seru karena saya tidak sendirian.
Saya berangkat dari kos naik sepeda motor menuju Masjid Gedhe Mataram yang merupakan titik kumpul. Kos saya terletak di Jalan Kaliurang kilometer 5, sedangkan masjid ini terletak di Sayangan, Jagalan, Kecamatan Banguntapan, Bantul.Â
Perjalanan memakan waktu kurang lebih 30 menit. Kebetulan waktu itu tidak terlalu macet. Saya tiba di Masjid Gedhe sekitar pukul 3 sore. Saya memarkirkan motor di parkiran depan masjid. Parkirnya sangat luas. Saya tidak perlu repot mencari space untuk parkir.Â
Sambil menunggu teman yang belum sampai, saya memasuki kawasan masjid dan melihat-lihat sekeliling. Pintu masuk masjid menyerupai pura, karena dulu dibangun oleh masyarakat Hindu.Â
Begitu juga dengan pagarnya yang menyatu dengan pura sehingga meninggalkan corak Hindu. Ketika memasuki kawasan ini, saya dapat merasakan akulturasi budaya Hindu-Islam yang cukup kuat dari arsitekturnya.Â
Bangunan masjid berwarna putih dengan lantai keramik berwarna coklat. Terdapat variasi warna hijau dan emas di bagian depan yang memberikan kesan mewah khas Kerajaan Mataram. Halaman masjid sangat luas.Â
Selain itu juga bersih dari sampah. Hanya saja, ketika saya kesana, halaman dipenuhi guguran bunga berwarna putih yang saya kurang tahu namanya. Halaman masjid memang ditanami beberapa tanaman. Keberadaan tanaman-tanaman tersebut menjadikan kawasan masjid lebih rindang dan teduh. Hanya saja, guguran daun dan bunga harus rutin dibersihkan.Â
Setelah semua teman saya sampai, kami langsung memulai jalan-jalan. Keluar dari masjid, kami membeli minum terlebih dahulu. Di depan masjid ada warung-warung yang menjual makanan maupun minuman. Harganya pun juga terjangkau.Â
Setelah membeli minum, kami meneruskan perjalanan menuju destinasi berikutnya, yaitu Pasar Kotagede. Dari masjid, kami berjalan ke arah utara. Jalanan cenderung sepi. Hanya ada beberapa sepeda motor yang lewat. Kami berjalan menyusuri trotoar hingga sampai di area depan Pasar Kotagede.Â
Di depan pasar, tampak pedagang jajanan berderet. Ada yang menjual siomay, dawet, cilok, dan lain sebagainya. Tujuan kami ke pasar memanglah untuk mencicipi jajanan di sana.Â
Saya tertarik dengan dawet khas Jepara yang ramai pembeli. Karena penasaran, saya membeli satu mangkok dawet tanpa tape dan ketan. Manisnya pas dan rasanya segar. Selain cendol, juga ditambahkan agar dan cincau. Satu mangkok hanya Rp 6.000,00 saja. Tapi, kalau kalian ingin mencoba dawet ini, datanglah sebelum jam 4 sore agar tidak kehabisan.Â
Setelah minum dawet, kami melanjutkan perjalanan. Karena dekat dengan jalan raya, kami harus berjalan dengan hati-hati. Yang unik disini, meskipun jalan raya, namun jalan depan pasar tidak beraspal, melainkan terdiri dari susunan batu semacam tegel. Kami berjalan ke arah timur hingga mentok di pertigaan. Di pertigaan tersebut, terdapat sebuah tugu bernama Patjak Soeji.Â
Di dekatnya terdapat plang penunjuk jalan. Plang tersebut menunjukkan arah objek wisata di sekitaran Pasar Kotagede. Kami tertarik mengunjungi salah satu objek wisata yang tertera pada plang tersebut, yaitu Watu Gatheng. Berdasarkan plang, kami harus belok kanan. Karena tidak yakin dengan lokasi pasti objek tersebut, kami memutuskan untuk bertanya kepada warga lokal.Â
Kebetulan, waktu itu ada seorang bapak-bapak yang sedang jajan batagor di pertigaan. "Permisi Pak, mau tanya, kalau mau ke Watu Gatheng lewat mana ya?" saya bertanya kepada Bapak tersebut jalan menuju Watu Gatheng.Â
Bapak tersebut dengan ramah menjelaskan jalan menuju lokasi Watu Gatheng, "Ikuti jalan ini mawon mbak, nanti sampai. Dari mana to ini kok rame-rame?" Selain bertanya arah, kami juga sempat mengobrol sedikit dengan bapak tersebut sekaligus memperkenalkan diri. "Dari UGM Pak, lagi jalan-jalan ini, buat tugas," saya menjelaskan. Setelah itu barulah kami pamit untuk melanjutkan perjalanan.
Kami berjalan mengikuti jalan sambil menikmati lingkungan sekitar. Lingkungan di jalan ini tidak begitu ramai. Cukup sepi dan tidak banyak kendaraan berlalu lalang. Udara cukup segar, bahkan tidak ada polusi udara.Â
Warga yang berlalu lalang juga sedikit kami jumpai. Hanya penjual keliling atau orang tua yang mengajak balitanya jalan-jalan sore. Setiap orang yang kami temui selalu menyapa dengan menunduk dan tersenyum. Sebagai bentuk ramah tamah dan sopan santun, tentunya kami juga membalas dengan mengangguk dan tersenyum. Sesuai rumornya, orang Jogja memang ramah-ramah.
Akhirnya kami tiba di pertigaan ujung jalan. Ternyata kami kembali ke jalan depan Masjid Gedhe. Kami tetap mengikuti jalan sesuai dengan instruksi petunjuk jalan di pertigaan tadi. Perjalan kami menuju Watu Gatheng dihiasi oleh gravity yang menghiasi dinding-dinding rumah di pinggir jalan. Dari sini, jalanan mulai ramai pengendara. Kami harus menepi dan berjalan dengan hati-hati.
 Untungnya, langit sedang berawan sehingga sinar matahari tidak begitu menyengat. Di tengah jalan, karena bingung, kami memutuskan bertanya kembali arah menuju Watu Gatheng pada warga lokal. K
ami memutuskan bertanya kepada salah satu pemilik angkringan yang kami temui. "Permisi Pak, ini kami mau ke Watu Gatheng, bener lewat sini mboten nggih pak?" saya mencoba bertanya dengan campuran bahasa jawa alus. Pemilik angkringan tersebut dengan halus menjelaskan "Iya Mbak, lurus saja terus. Nanti sampai." Sesuai arahan, kami terus berjalan lurus mengikuti jalan.Â
Tidak jauh dari angkringan, kami bertemu dengan tukang becak yang sepertinya sedari awal sudah menyadari kami sedang kebingungan. Dengan lembut, tukang becak tersebut beratanya kami "Mau kemana Mbak Mas?". Dengan lembut pula, saya menjawab "Watu Gatheng Pak,". Tanpa ditanya, tukang becak tersebut langsung menjelaskan arah jalan menuju Watu Gatheng, "Lurus mawon Mbak, ikuti jalan aspal niki nggih". "Nggih Pak, matur suwun. Mari Pak!" kami mengucapkan terimakasih sambil pamit pergi.Â
Penjelasannya tetap sama seperti sebelum-sebelumnya, yaitu lurus mengikuti jalan. Awalnya saya berpikir kalau kami akan ditawari jasa becak. Ternyata tukang becak tersebut memang tulus ingin membantu. Sampai sini saya yakin bahwa warga lokal Kotagede memang ramah.Â
Di perjalanan, kami melewati Kampung Wisata Purbayan. Di sela-sela perjalanan, kami sempatkan singgah di salah satu kawasan Purbayan, yaitu Kawasan Two Gates. Kami beristirahat sejenak sambil melihat-lihat kawasan tersebut. Penataan kampung yang kami masuki sangat rapi. Arsitekturnya tradisional, namun tidak kuno. Bahkan justru estetik. Bangunananya seragam dan bertema.Rata-rata berwarna putih dengan ornamen-ornamen kayu sebagai hiasan.Â
Di setiap depan rumah dapat dijumpai juga tanaman pot yang disusun rapi. Suasananya tenang dan sunyi. Kami juga tidak menemukan adanya kendaraan bermotor maupun orang berlalu lalang di kampung ini. Ternyata memang sudah aturan di kampung ini untuk selalu menjaga ketenangan.Â
Setelah puas melihat-lihat, kami melanjutkan perjalanan menuju Watu Gatheng. Setelah berjalan total satu jam, kami akhirnya sampai di Watu Gatheng. Namun, kami tidak bisa melihat secara langsung Watu Gatheng yang kami tunggu-tunggu. Karena, batu yang ingin kami lihat ditempatkan di dalam rumah kecil yang tertutup rapat.Â
Selain Watu gatheng, juga ada Watu Gilang yang disimpan din dalam bangunan rumah tersebut. Rumah tersebut terletak di tengah jalan seakan-akan menjadi bunderan. Bangunannya terlihat sudah lama karena cat temboknya sudah mengelupas dan usang. Akhirnya, di sana kami hanya melihat-lihat sekitar bangunan tersebut.
Di dekat Watu Gatheng terdapat makam putra dan cucu raja bernama Regol Hasta Renggo. Untuk mengobati kekecewaan, kami mengunjungi makam tersebut. Karena lelah juga, kami memutuskan untuk istirahat sejenak. Namanya memang makam, namun tidak seperti makam pada umumnya, kawasan makam ini tidaklah menakutkan. Malah terdapat pendopo dan kantor yang disediakan bagi wisatawan dan pengurus makam.Â
Kami duduk di pendopo sembari mengistirahatkan kaki. Kebetulan waktu itu ada penjaga yang sedang bersantai di pendopo. Kami kemudian mengobrol. Beliau menceritakan asal mula adanya Kampung Wisata Purbayan. Beliau sangat antusias ketika bercerita. Pengalaman yang menyenangkan bisa banyak berinteraksi dengan warga lokal di sana.Â
Setelah lelah kami hilang, kami memutuskan untuk pulang. Kami berjalan balik menuju parkiran Masjid Gedhe. Menurut saya, bisa mengeksplor Kotagede merupakan pengalaman berharga. Apalagi bisa mencoba jajanan dan berinteraksi dengan warga lokal yang amat sangat ramah. Jalan-jalan sore di Kotagede bisa menjadi referensi liburan teman-teman yang ingin sehat sekaligus berwisata.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H