Mohon tunggu...
Zuliyan M. Rizky
Zuliyan M. Rizky Mohon Tunggu... Penulis - Santri PP. Daarul Rahman, Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia.

Orang biasa yang #KebetulanMenulis. Menggeluti isu-isu Studi Agama, Hubungan Internasional, dan Pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Ingar Bingar Sepi Fourth of July

7 Juli 2020   07:06 Diperbarui: 7 Juli 2020   11:34 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pertemuan AS-China di KTT G20 Osaka, Jepang 2019. Sumber: annafrica.news

Amerika Serikat memperingati hari kemerdekaannya ke-244 pada Sabtu, 4 Juli 2020 atau akrab dikenal sebagai Fourth of July. Namun perayaan hingar-bingar yang biasa dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya, bisa jadi tidak dilakukan pada tahun ini.

4 Juli 1776 menjadi tanggal dan tahun bersejarah bagi masyarakat Amerika Serikat. Adalah Richard Henry Lee, perwakilan negara bagian Virginia yang mengeluarkan mosi kemerdekaan dari Inggris dalam Kongres Kontinental yang digelar di Pennsylvania State House pada 7 Juni 1776. 

Mosi tersebut disepakati oleh 13 perwakilan negara bagian lainnya pada 2 Juli 1776, hingga dua hari kemudian dikeluarkanlah Deklarasi Kemerdekaan Amerika pada Kongres Kontinental Kedua. 

Walau masih menjadi diskusi terkait dengan tanggal yang seharusnya diadopsi sebagai hari kemerdekaan, setidaknya peristiwa ini menjadi simbol akan momentum terlepasnya Amerika Serikat dari pengaruh koloni dan Kerajaan Inggris sejak tahun 1587.

328,2 Juta penduduk Amerika Serikat memiliki caranya masing-masing dalam merayakan Fourth of July. Seperti piknik di taman, pesta barberku, berwisata, hingga menyelenggarakan berbagai macam kompetisi, konser, dan parade. 

Di Granbury parade busana tempo dulu menjadi atraksi langganan setiap tahunnya. Di Brooklyn kompetisi makan hot dog menjadi acara yang ditunggu-tunggu. 

Warga di Atlanta menggelar ajang lari sepanjang 10 kilometer. Sedangkan Missisipi menjelma sebagai kota piknik setiap kali Fourth of July berlangsung. 

Bagi imigran, upacara naturalisasi besar-besaran memberikan makna baru bagi mereka. Hingga pada malam hari, Fourth of July ditutup dengan sempurna lewat pesta kembang api meriah yang disponsori oleh negara.

Amerika memang selalu berupaya tampil sempurna setiap kali membagikan proyek fantastis dan momen strategisnya kepada dunia. Namun perayaan Fourth of July tahun ini, kemungkinan besar akan berlangsung sepi tanpa banyak selebrasi.

2020 adalah tahun sulit bagi negara-negara di dunia, tidak terkecuali negara sekaliber Amerika. Bukan berarti Amerika Serikat tidak mampu menyelenggarakan dirgahayu-nya dengan megah. Namun seremonial sedemikian rupa tampaknya tidak pantas digelar melihat realita suram yang ada. 

Lain hal dengan Presiden Donald Trump. Ia justru mengundang 7500 warganya untuk berpesta kembang api di Monumen Nasional Gunung Rushmore di South Dakota. 

Memperhatikan apa yang sedang terjadi dan apa yang dilakukan Presiden Trump memang sangat kontras dan tidak selaras. Setidaknya ada tiga hal besar yang menjadi catatan sejarah Amerika Serikat di usianya ke-244 ini, yakni: Pandemi, Rasisme, & Konflik Bilateral.

Undangan Perayaan Fourth of July di Monumen Nasional Gunung Rushmore, South Dakota pada (3/7/2020). Sumber: twitter.com/realDonaldTrump
Undangan Perayaan Fourth of July di Monumen Nasional Gunung Rushmore, South Dakota pada (3/7/2020). Sumber: twitter.com/realDonaldTrump
Pandemi Covid-19 melumpuhkan Amerika. Siapa sangka virus yang berasal dari Wuhan, China akhir tahun silam ini justru berdampak besar bagi negeri Paman Sam. Tercatat sampai Sabtu (04/07) total infeksi mencapai 2,85 juta dengan angka sembuh sebesar 865 ribu dan angka kematian mencapai 132 ribu. 

Tren ini masih menunjukkan lonjakan saat kasus di beberapa negara lain perlahan menurun. Texas, Florida, dan Arizona menjelma sebagai episentrum penyebaran virus Covid-19 terbaru. Dari total infeksi 11 juta penduduk global, Amerika Serikat menjadi penyumbang angka infeksi virus Covid-19 terbesar di dunia.

Tabiat Gedung Putih serta sikap beberapa masyarakat Amerika Serikat dianggap menjadi dalang penyebab. Hal ini dibuktikan oleh fenomena dan kebijakan yang kontroversial. 

Dari respon Gedung Putih yang terlalu meremehkan penularan virus, memutuskan hubungan dengan WHO, mengusulkan cairan disinfektan sebagai obat, menghimbau angka tes Covid-19 dikurangi, tidak mematuhi protokol kesehatan, hingga tetap menggelar kegiatan dan kampanye yang melibatkan massa yang besar. 

Selain itu, aksi unjuk rasa menolak lockdown dengan dalih kebebasan justru mengancam dan menambah beban penanggulangan Covid-19 di Amerika Serikat. Atas apa yang sudah terjadi, Amerika Serikat tidak layak menjadi rujukan bagi negara-negara dunia dalam menyelesaikan pandemi Covid-19.

Warga Kulit Hitam Banyak Terpapar Covid-19 di Amerika Serikat. Sumber: bbc.com
Warga Kulit Hitam Banyak Terpapar Covid-19 di Amerika Serikat. Sumber: bbc.com
Di usia ke-244, itikad kebangsaan Amerika mendapat pukulan keras. Kematian George Floyd, warga Amerika Serikat berkulit hitam yang meninggal pada 25 Mei 2020 oleh aparat kepolisian Minneapolis, Minnesota menjadi pemantiknya. Kasus ini memicu aksi massa yang besar dengan agenda utama menolak diskriminasi antara kulit putih dan hitam di Amerika Serikat. 

Gerakan ini kemudian dikenal sebagai Blcak Lives Matter. Mobilisasi massa dimulai dari Minneapolis sehari setelah kejadian. Kemudian meluas ke Atlanta, Detroit, New York, Washington D.C, dan 140 kota lain di Amerika Serikat.

Kasus George Floyd adalah gambaran diskriminasi rasial  sistemik yang terjadi di Amerika. Tidak heran peristiwa ini mengundang perhatian besar warga dunia. 

Gelombang demonstrasi ikut bermunculan di Kanada, Inggris, Jerman, Belanda, Spanyol, Italia, Belgia, Brasil, Tunisia, Afrika Selatan, Australia, Jepang, Korea Selatan, Hongkong, dan beberapa negara lainnya. 

Amerika Serikat sebagai negara multilateral yang beraneka ragam etnis dan ras serta ramah imigran menjadi role model negara-negara dunia dalam menyikapi kemajemukan. 

Dilengkapi dengan slogan American Dream yang bermakna setiap etnis, ras, agama, dan warga negara dapat menggapai berbagai macam cita-citanya di Amerika. Namun munculnya kasus George Floyd telah membuka kotak pandora, bahwa kemajemukan di Amerika Serikat belumlah sempurna.

Selama 244 tahun berjalan, Amerika Serikat telah memiliki pengalaman yang panjang. Termasuk konflik dan persaingan baik perang maupun non-perang. Akhir-akhir ini Amerika terlibat konflik bilateral yang melelahkan. Yakni antara Washington D.C dan Beijing, serta Washington D.C dan Teheran. 

Sebelumnya sempat ada Pyongyang, namun setelah beberapa kali pertemuan intensitas antar keduanya tidak lagi mengkhawatirkan. Sudah sekian lama sejak Uni Soviet terakhir kali menjadi pesaing Amerika Serikat yang paling serius. 

Munculnya China dengan kebangkitan ekonomi signifikan serta Iran dengan kekuatan militer dan legitimasi yang menjanjikan menjadi arah baru hegemoni dunia di era modern.

Pertemuan AS-China di KTT G20 Osaka, Jepang 2019. Sumber: annafrica.news
Pertemuan AS-China di KTT G20 Osaka, Jepang 2019. Sumber: annafrica.news
Ketegangan antara Washington D.C dan Beijing bermula lewat perang dagang. Pertumbuhan ekonomi China signifikan menjadi kompetitor serius bagi Amerika Serikat. 

Ketegangan ini melebar ke berbagai isu seperti ancaman konfrontasi di Laut China Selatan, intervensi Amerika di status otonomi khusus Hongkong, hingga tuntutan tanggung jawab Amerika Serikat kepada China atas merebaknya virus Covid-19 yang meluas ke seluruh dunia. 

Sedangkan antara Washington D.C dan Teheran, kematian pimpinan elit militer Quds, Qassem Soleimani di Bandara Baghdad, Irak akibat serangan rudal Amerika menjadi pemicunya. Ketegangan antara Amerika dan Iran sempat memuncak bahkan berpotensi mencetus Perang Dunia ke-3. 

Namun pandemi Covid-19 menurunkan tensi ketegangan antar kedua negara. Walaupun begitu, permusuhan Amerika Serikat dan Iran tetap berlangsung. setidaknya surat perintah yang dikeluarkan Teheran untuk menangkap Presiden Donald Trump menandakan bahwa atmosfer panas tersebut belum usai.

Hingar-Bingar Fourth of July tidak benar-benar hilang. Amerika sudah cukup gaduh dengan berbagai macam konflik bilateral, disusul aksi massa Black Lives Matter yang bergelombang-gelombang. Dirgahayu Amerika Serikat ke-244 juga tidak terlalu sepi, bunyi sirene ambulan meraung-raung aktif di jalanan saat pandemi. 

Perselisihan, pelayanan, serta ketimpangan masih menjadi masalah utama berbagai negara, tidak hanya Amerika. Pelajaran di negeri orang dapat diadopsi oleh negeri sendiri. Seyogyanya setiap negara harus selalu berkembang, tanpa lupa melaksanakan refleksi diri. Happy Fourth of July!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun