Penyakit virus corona (COVID-19) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus SARS-CoV-2. Jika dibandingkan virus lain, seperti Ebola dan HIV, SARS-CoV-2 bukanlah yang paling mematikan. Namun ia paling membahayakan lantaran penyebarannya yang amat cepat. Dibandingkan dengan Ebola dan HIV, SARS-CoV-2 juga lebih sulit terdeteksi.Â
Sifatnya yang asimptomatis (tidak bergejala) dan sulit terdeteksi inilah yang membuat penyebaran virus ini semula dianggap remeh sehingga mengakibatkannya meluas dengan sangat cepat. Â Virus baru dan penyakit yang dibawanya ini sebelumnya tidak dikenal, melainkan setelah terjadinya wabah di Wuhan, Tiongkok, pada Desember 2019. Â Kemudian COVID-19 ini menular dan menyebar dengan cepat dan menjadi sebuah pandemi yang terjadi di banyak negara di seluruh belahan dunia, termasuk Indonesia.
Untuk menyikapi adanya wabah pandemi COVID-19, salah satu langkah yang ditempuh pemerintah  Indonesia untuk pencegahan penyebaran COVID-19 yaitu dengan memberlakukan prinsip social distancing dalam masyarakat, bahkan diberlakukan pula PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) di beberapa kota besar. Mulai tanggal 1 Juni 2020 lalu Pemerintah memberlakukan New Normal.Â
New Normal merupakan perubahan perilaku atau kebiasaan untuk tetap menjalankan aktivitas biasa namun dengan menerapkan protokol Kesehatan. New Normal membatasi ruang gerak hampir seluruh sektor yang ada, tak terkecuali pendidikan. Dalam sektor pendidikan sendiri, Menteri Pendidikan mengeluarkan Surat Edaran No.4 tahun 2020 pada Satuan Pendidikan dan No. 36962/MPK.A/HK/2020 tentang Pelaksanaan Pendidikan dalam Masa Darurat COVID-19, yang mana dalam surat tersebut terdapat arahan agar peserta didik melakukan kegiatan pembelajaran secara online dalam rangka pencegahan penyebaran COVID-19.
Atas dasar itulah sejak pertengahan Maret 2020, kegiatan peserta didik di semua tingkat satuan pendidikan dilakukan di rumah. Â Kegiatan pembelajaran secara online ini berupa PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh). Menurut Peraturan Menteri No.7 tahun 2020, PJJ adalah proses belajar mengajar yang dilakukan secara jarak jauh melalui penggunaan berbagai media komunikasi secara online. Pemanfaatan teknologi pun menjadi alternatif. Teknologi yang semakin canggih turut menyadarkan kita akan potensi luar biasa internet yang belum sepenuhnya dimanfaatkan dalam berbagai bidang, termasuk pendidikan. Dengan memanfaatkan teknologi ini, kegiatan pendidikan bisa dilakukan di manapun kapanpun, tanpa batas ruang dan waktu.
Program PJJ yang sudah berjalan selama pandemi itu tentu saja memiliki dampak-dampak yang bisa dirasakan oleh semua elemen terkait, mulai dari peserta didik, guru, hingga orangtua. Mari kita lihat pada realita yang ada. Walaupun dalam pelaksanaannya, PJJ ini memiliki dampak positif, namun tentu saja itu tak membuatnya lantas terbebas dari dampak negatif. Hal ini selaras dengan temuan Fortadikbud (Forum Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan) terkait Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang didiskusikan bersama dengan beberapa narasumber kompeten serta Kemendikbud.
Temuan atau dampak dari PJJ tersebut diantaranya, banyak peserta didik yang tidak bisa menyerap mata pelajaran dengan baik. Salah satu faktor yang menyebabkan hal ini yaitu dikarenakan mereka belum terbiasa memakai aplikasi-aplikasi penunjang pembelajaran daring, seperti Zoom. Perlu diketahui bersama bahwa dukungan orangtua terhadap anaknya pun merupakan kunci dari kesuksesan pelaksanaan PJJ. Tak bisa dipungkiri juga akan ada dampak negatif seperti ; anak menjadi malas dan enggan mengerjakan tugas, yang mana timbul karena kurangnya pengawasan orangtua terhadap mereka.
Kemudian ada faktor keterbatasan sarana. Bantuan kuota pulsa yang diberikan oleh Kemendikbud dianggap belum bisa mengatasi permasalahan PJJ secara optimal. Â Penyebabnya antara lain karena banyak anak didik yang tinggal di daerah luar dan tertinggal, tidak memiliki gawai, kendala jaringan dan sinyal yang sulit dijangkau, dsb. Selain itu temuan lainnya adalah dari segi hubungan anak didik dengan guru. Yang mana karena anak didik dan guru tidak pernah saling sapa dan bertatap muka secara langsung, maka itu membuat hubungan batin keduanya menjadi dingin.
Selain dampak-dampak diatas masih ada beberapa dampak lain yang berpotensi muncul, seperti dilansir dari laman Kemendikbudristek, Kamis (29/7/2021), Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Makarim mengingatkan bahwa Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), yang berkepanjangan dapat menimbulkan dampak negatif dan permanen untuk anak-anak Indonesia.
Pertama, putus sekolah. Kita semua tahu bahwa pandemi ini memiliki dampak signifikan hampir pada semua sektor kehidupan yang ada, tak terkecuali ekonomi. Hal ini mengakibatkan banyak masyarakat kehilangan mata pencaharian dan tentunya, pemasukan. Krisis ekonomi juga membuat banyak orangtua memilih anaknya untuk berhenti sekolah dan bekerja agar ikut menopang ekonomi keluarga. Berdasarkan riset WVI (Wahana Visi Indonesia) terhadap 900 keluarga dan 943 anak dari kelompok miskin di bulan Mei tahun lalu, menunjukkan 3,6 persen anak dari seluruh keluarga yang disurvei, terpaksa bekerja karena ketiadaan sumber pendapatan. Ditambah lagi adanya kemungkinan bahwa orangtua peserta didik akan mengubah persepsinya terkait peran sekolah yang tidak optimal dalam proses pembelajaran, jika pembelajaran dilakukan dengan tanpa tatap muka.
Kedua, penurunan capaian belajar. Salah satu faktor yang melatarbelakangi hal ini yaitu kenyataan bahwa tidak semua peserta didik bisa menyerap pelajaran dengan baik. Ini sejalan dengan temuan Fortadikbud (Forum Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan) terkait efek negatif yang ditimbulkan  Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Dinas Pendidikan menemukan adanya perbedaan akses dan kualitas selama PJJ. Ini bisa memicu adanya kesenjangan capaian belajar, terutama untuk anak dari sosio-ekonomi yang berbeda.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah risiko terjadinya learning loss atau hilangnya kompetensi belajar peserta didik. Untuk potensi learning loss ini sendiri, pihak Kemendikbud telah melakukan survei singkat. Dan hasilnya terdapat 20 persen sekolah secara nasional menyatakan sebagian siswa tidak memenuhi standar kompetensi belajar. Â Sebuah studi pun menemukan bahwa dibandingkan dengan PJJ, pembelajaran tatap muka menghasilkan pencapaian akademik yang lebih baik.
Itulah beberapa dampak negatif yang timbul akibat pelaksanaan PJJ secara berkepanjangan. Salah satu langkah yang bisa diambil guna mengatasi atau meminimalisir dampak-dampak negatif dari pelaksanaan PJJ secara berkepanjangan yaitu dengan mengadakan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) terbatas. Ini selaras dengan pernyataan Nadiem Makarim dalam webinar Merdeka Belajar, Transformasi Pendidikan Indonesia (Jum'at 22/01/2021), bahwa tatap muka merupakan satu-satunya solusi untuk sekolah yang susah melaksanakan PJJ agar mereka tidak lebih tertinggal lagi. Pemerintah telah mendorong pelaksanaan PTM terbatas bagi sekolah yang berada di zona kuning dan hijau. Kendati demikian, pelaksanaan PTM harus mendapat dukungan dari kementerian dan stakeholder terkait. Seperti Kementerian Perhubungan dan Kementerian Kesehatan terkait layanan transportasi dan layanan kesehatan ditingkat pemerintah daerah. Tentu saja dalam pelaksanaannya nanti, PTM haruslah berjalan dengan tetap mengedepankan protokol kesehatan. Bila tidak, PTM bisa lebih besar memberikan dampak buruk terhadap peserta didik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI