Haii sobat Kompasiana, semoga dalam keadaan sehat dan bersemangat ya. Lamanya waktu sedari kita kecil sampai saat ini, rasanya tahun ke tahun cuaca semakin tidak menentu saja yah. Entah saat munsim penghujan ataupun kemarau, hujan lebat dan panas terik bisa terjadi diwaktu yang berdekatan. Baru-baru ini pun di pertengahan tahun 2023, telah terjadi cuaca yang sangat panas tidak seperti biasanya dengan suhu maksimum berkisar antara 33-36,1 derajat celcius dan terjadi pemburukan kualitas udara karena polusi sangat parah yang mengkhawatirkan di beberapa Negara seperti New York dan Indonesia khususnya di Jabodetabek. Dampak langsung dari tidak sehatnya kualitas udara sangat dirasakan Jakarta dengan meningkatnya ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Atas) dan Pneumonia yang akut kebanyakan dialami balita dan para lansia, serta menyebabkan mudah lelah bagi para usia produktif dalam beraktifitas.
Dikutip dari kompas.com, Deputi Bidang Meteorologi BMKG ternyata cuaca terik sangat panas yang kita rasakan di bulan Mei lalu disebabkan salah satunya karena posisi semu matahari sudah berada di wilayah utara ekuator pertanda sebagian wilayah Indonesia mulai memasuki musim kemarau. Dua musim yang terjadi di Indoensia yaitu musim kemarau yang terjadi pada bulan Oktober -- Maret dan musim hujan yang terjadi pada bulan April -- September menurut BMKG Indonesia. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan langsung meminta semua pihak termasuk kementerian/lembaga dan pemerintah daerah untuk belajar dari pengalaman tahun 2015 dan sekarang bersiap melakukan upaya mitigasi menghadapi El Nino yang diprediksi terjadi pada Agustus 2023 mendatang.
Terlihat bagaimana besarnya pengaruh El Nino disegala bidang di Indonesia dengan himbauan tegas dari Pak Luhut. Mari kita pahami bersama, apa itu El Nino serta dampaknya, dan apa sih yang harus kita lakukan serta persiapkan untuk menghadapi El Nino yang akan melanda di tahun 2023 sekarang ini sebagai rakyat Indonesia.
Pengertian El NinoÂ
Sir Gilbert Thomas Walker seorang ilmuan ahli matematika yang menemukan tiga osilasi tekanna permukaan yang berperan dalam variabilitas iklim bumi pada abad ke-20. Tahun 1969 (11 tahun setelah kematian Sir Gilbert T. Walker), Jacob Bjerknes seorang fisikawan dan ahli meteorologi Norwegia menunjukkan bagaimana adanya interaksi yang kompleks antara variasi suhu permukaan laut di Samudera Pasifik ekuator dan atmosfer di atasnya yang menghasilkan Southern Oscillation, lalu pemanasan Samudera Pasifik Timur dikenal sebagai El Nino dengan fluktuasi tekanan atmosfer yang tidak dapat dijelaskan oleh Gilbert T. Walker sebelumnya. Berasal dari bahasa Spanyol, kata El Nino berarti anak lelaki. Secara terminologi El Nino digunakan untuk sebutan iklim oleh nelayan kawasan Pantai Ekuador, Amerika Serikat bagian  barat laut dengan maksud menunjukkan bahwa terdapat arus panas muncul yang menyebabkan turunnya jumlah ikan sehingga nelayan kesulitan untuk mendapatkan ikan saat El Nino terjadi yang biasanya muncul sekitar waktu Natal sampai beberapa bulan berikutnya.
ENSO (El Nino Southern Oscillation) kondisi peningkatan atau penurunan suhu permukaan air laut di wilayah Samudera Pasifik, dapat mempengaruhi cuaca di sekitar laut Pasifik, berdampak pergeseran musim hujan di wilayah Indonesia. ENSO mengalami tiga fase: 1) El Nino fase ENSO hangat, 2) La Nina fase ENSO dingin, dan 3) Netral. Meteorologi menerangkan, El Nino sebagai fenomena dalam skala global yang pengaruhnya sampai ribuan kilometer. El Nino tidak terjadi setiap tahun, kemunculan El Nino dapat terjadi dengan frekuensi umumnya rata-rata 2-7 tahun dengan siklus 4 tahunan, dan sekali terjadi dapat berlangsung selama 9-12 bulan lamanya. Sejarah keilmuan manusia berasil mencatat setidaknya telah terjadi fenomena El Nino sebanyak 23 kali. Sedangkan fenomena La Nina diprediksi siklus yang pernah terjadi sebanyak 15 kali dengan rentan periode sekitar 6 -- 7 tahun sekali.
El Nino memicu kondisi kekeringan pada wilayah Indonesia secara umum, karena El Nino salah satu bentuk penyimpangan iklim di Samudera Pasifik ditandai dengan terjadinya kenaikan suhu yang tidak normal pada permukaan laut di daerah khatulistiwa bagian tegah dan timur dengan suhu rata-rata minimal 0,5 derajat celcius, menyebabkan peningkatan pertumbuhan awan di Samudera Pasifik tengah sehingga suhu permukaan air laut wilayah Indonesia berada di bawah normal dan mengurangi curah hujan di wilayah Indoensia yang menyebabkan kemarau.
Kemunculan EL Nino dalam tiga intensitas jenisnya: 1) El Nino Lemah dengan penyimpangan kenaikan suhu sekitar 0,5 -- 1.0 derajat celcius minimal selama 3 bulan secara berturut-turut di perairan Pasifik, 2) El Nino Sedang dengan penyimpangan kenaikan suhi sekitar 1.1 -- 1.5 derajat celcius minimal selama 3 bulan secara berturut-turut terjadi di perairan Pasifik, dan 3) El Nino Kuat dengan penyimpangan kenaikan suhu sekitar lebih dari 1.5 derajat celcius minimal terjadi selama 3 bulan dari kejadian pertama. Sedangkan La Nina kebalikan dari fenomena El Nino, La Nina membuat suhu permukaan laut Samudera Pasifik Tropis bagian tengah dan timur di bawah normal atau lebih dingin dari biasanya, menyebabkan kurangnya potensi pertumbuhan awan di Samudera Pasifik tengah, dan meningkatkan curah hujan di wilayah Indonesia secara umum karena suhu permukaan laut perairan indonesia berada diatas normal.
El Nino Tahun 2023 di Indonesia
Para ilmuwan telah memperkirakan tahun 2023 menjadi awal iklim El Nino yang kuat akan dimulai dan terjadi sampai awal di tahun 2024 nanti, 80% diperkirakan kita akan mengalami El Nino mulai bulan Juli 2023 dengan 66% kemungkinan El Nino membuat dunia akan mengalami kenaikan suhu global sekitar lebih dari 1.5 derajat celcius. Menurut hasil penelitian yang dilakukan di Dartmouth College, Hanover, New Hampshire, perkiraan kerugian ekonomi global karena iklim El Nino mencapai sebesar Rp. 50.876 triliun yang berdampak sampai lima tahun berikutnya. Untuk Negara tropis terutama Peru dan Indonesia diperkirakan akan mengalami penurunan PDB sebesar 10% jika dilihat dari pembelajaran sejarah terjadinya fenomena iklim El Nino di tahun-tahun sebelumnya, yang mungkin akan menjadi ketegangan dari kondisi ekonomi yang baru pulih dari Pandemi Covid-19.
Berdasarkan informasi yang diberikan Direktur Copernicus Climate Service pada Uni Eropa, Carlo Buontempo menerangkan fenomena El Nino tahun 2023 sekarang akan mencapai puncak terpanas pada tahun 2024. Sedangkan data yang diambil dari Konferensi Pers BMKG pada 6 Juni 2023 lalu, menjelaskan bahwa Indonesia akan mengalami kondisi yang lebih kering karena terjadinya dua fenomena secara bersamaan yaitu El Nino dan IOD (Indian Ocean Dipole) yang mana keduanya saling menguatkan dalam kondisi kekeringan yang akan dialami Indonesia. La Nina sudah berakhir pada Februari, Maret -- April lalu merupakan kondisi Netral ENSO, dan Mei sampai sekarang bulan Juni sudah masuk pada El Nino lemah menuju moderat atau berarti El Nino semakin menguat. Sehingga ENSO Netral sedang menuju fase El Nino 80%, El Nino yang dikontrol suhu muka air laut di Samudera Pasifik dan IOD di control oleh suhu muka air laut di wilayah Samudera Hindia menuju arah positif kuat mulai bulan Juli - Oktober.