"Bang, aku mau" ucapnya lembut malam itu.
Akhirnya, setelah sekian lama menanti, jawaban itu keluar dari mulutnya, dua bibir tipisnya tampak gemetar mengucapkan kalimat pendek yang berjuta makna bagiku.
"Maksudnya?" Aku bertanya. Bukan karena tidak mendengar ucapan itu.
Tetapi aku seketika candu dengan ucapannya.
"Iya, aku mau memberi Abang waktu & kesempatan itu" lagi-lagi dengan lembut ia menjawab.
Aku hanya ingin memastikan, ucapan yang baru saja keluar itu muncul dari mulutnya, atau hatinya.
Dan dengan tatapannya yang tajam namun syahdu itu, aku tau, bahwa kalimatnya lahir dari hati. Aku membisu, kakiku gemetar, lututku terasa sangat dingin.
Di depan Masjid yang Agung, malam yang cerah, sesaat setelah Isya, diterangi lampu jalan kemerah-merahan. Aku merasa dikunjungi oleh bayang putih, bayang yang berbisik tepat di telinga, kalimatnya tegas.
"Wahai anak muda, lukamu sudah sembuh. Waktunya untuk membentuk kebahagiaan di masa depan"Â
Aku tak tau siapa bayangan itu, namun aku sadar betul bahwa ucapannya adalah pengingat yang kuat. Gadis pemilik wajah kemerahan saat malu pun tersenyum di sampingku, adalah jembatan kehidupan yang agung, yang tak boleh tersentuh luka, tak boleh tergores kesedihan.