Sore, tak lama usai Ashar. Afiza asik di rumah, bermain dengan berjuta imajinasinya. Ia terlihat begitu menikmati suasana.
Asap dan bau dupa yang dibakar para tentangga tak mengganggunya. Ia faham, sebagai manusia harus dapat menerima keberagaman, menghargai setiap aktivitas ibadah seluruh manusia yang bertuhan.
Bahkan, musik-musik yang diputar tetangga dengan volume cukup keras saat imlek tak mengusiknya. Lagi-lagi Afiza sadar, saling menerima sesama manusia melahirkan kerukunan.
"Bukankah Indonesia ini utuh dari perpecahan karena toleransi yang terjaga," ujarnya satu sore.
Larut dalam permainannya, Afiza kedatangan tamu, yang ia kenal belum lama. Namun entah bagaimana, tamu tersebut menjadi rutin mengunjungunginya.
Namanya Nabila, perempuan berhijab yang usianya terlalu tua untuk dipanggil kakak oleh Afiza.
"Assalamu'alaikum Afiza cantik," sapa Nabila ramah sekali. Yang oleh Afiza hanya dijawab dengan senyum tanpa suara.
Kedatangan Nabila sore ini tampak tak ada yang berbeda dari sebelumnya. Keceriaan mereka bersautan melintasi waktu hingga malam mendekat.
Canda dibalas canda, tawa dibalas tawa. Ceria sekali, walau lagu Gong Xi Gong Xi milik tetangga telah berganti dengan lantunan  ayat Qur'an dari masjid-masjid terdengar jelas sekali.Â
Meski sudah lumrah, tapi Afiza tampak kagum dengan sikap tetangganya yang tabah mendengarkan ayat Qur'an setiap hari, lima kali dalam 24 jam.
Sore itu, sampai menjelang malam suasana bagi Afiza sangat haru. Bagaimana tatanan kehidupan begitu teratur dan dinamis terjaga dengan sikap saling menerima. Apalagi sejak Nabila datang, sore itu sepertinya milik Afiza. Sampai sebelum Nabila membuka bungkusan yang tadi ia bawa.