Mohon tunggu...
Zulham Hidayah Pardede
Zulham Hidayah Pardede Mohon Tunggu... Jurnalis - Pelancong

Fastabiqul Khoirot

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Afiza dan Martabak untuk Kehidupan yang Rukun

26 Januari 2023   10:13 Diperbarui: 26 Januari 2023   10:34 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Afiza Amarida Pard (foto: instagram/nabilaptrsrg)

Sore, tak lama usai Ashar. Afiza asik di rumah, bermain dengan berjuta imajinasinya. Ia terlihat begitu menikmati suasana.

Asap dan bau dupa yang dibakar para tentangga tak mengganggunya. Ia faham, sebagai manusia harus dapat menerima keberagaman, menghargai setiap aktivitas ibadah seluruh manusia yang bertuhan.

Bahkan, musik-musik yang diputar tetangga dengan volume cukup keras saat imlek tak mengusiknya. Lagi-lagi Afiza sadar, saling menerima sesama manusia melahirkan kerukunan.

"Bukankah Indonesia ini utuh dari perpecahan karena toleransi yang terjaga," ujarnya satu sore.

Larut dalam permainannya, Afiza kedatangan tamu, yang ia kenal belum lama. Namun entah bagaimana, tamu tersebut menjadi rutin mengunjungunginya.

Namanya Nabila, perempuan berhijab yang usianya terlalu tua untuk dipanggil kakak oleh Afiza.

"Assalamu'alaikum Afiza cantik," sapa Nabila ramah sekali. Yang oleh Afiza hanya dijawab dengan senyum tanpa suara.

Kedatangan Nabila sore ini tampak tak ada yang berbeda dari sebelumnya. Keceriaan mereka bersautan melintasi waktu hingga malam mendekat.

Canda dibalas canda, tawa dibalas tawa. Ceria sekali, walau lagu Gong Xi Gong Xi milik tetangga telah berganti dengan lantunan  ayat Qur'an dari masjid-masjid terdengar jelas sekali. 

Meski sudah lumrah, tapi Afiza tampak kagum dengan sikap tetangganya yang tabah mendengarkan ayat Qur'an setiap hari, lima kali dalam 24 jam.

Sore itu, sampai menjelang malam suasana bagi Afiza sangat haru. Bagaimana tatanan kehidupan begitu teratur dan dinamis terjaga dengan sikap saling menerima. Apalagi sejak Nabila datang, sore itu sepertinya milik Afiza. Sampai sebelum Nabila membuka bungkusan yang tadi ia bawa.

"Apa itu?" Afiza bertanya dalam hati, sedikit berharap bungkusan itu untuknya.

Dan ternyata, Afiza salah. Bungkusan berisi kotak martabak yang lezat sekali itu bukan untuknya. Itulah satu-satunya hal yang membuat suasana hati Afiza terganggu. Gestur cerianya hilang, berganti cemberut yang sangat jelas ia tunjukkan.

"Bagaimana mungkin seorang tamu datang membawa makanan lezat namun tak dibagi pada tuan rumah. Selain seagama, sesama perempuan mestinya Nabila paham kalau aku sangat suka hadiah" ia menggerutu dalam hatinya, yang sialnya Nabila tak perduli. Bahkan ia melahapnya tepat di depan Afiza.

Nabila terbahak-bahak, entah bagaimana ia tega dan bahagia melihat raut wajah cemberut Afiza.

"Afiza sabar ya, makanan ini bukan untukmu" katanya sambil mengunyah martabak coklatnya.

Tapi, lagi-lagi. Afiza yang sejak lahir memang terdidik dengan laku yang purna dapat menerima keadaan dan menguasai emosi. Ia pulih cepat, dan menyaksikan Nabila menyantap makanannya. Afiza sadar, bahkan untuk urusan makanan dengan sesama manusia bila tidak dapat saling menerima akan dapat merusakan kenyamanan hidup.

Lagi pula Afiza sadar, toleransi yang selama ini ia jalani tertib bersama para tetangganya tak semua dimiliki orang. Mungkin. Nabila ini salah satunya. Tapi, sebelum pikirannya terlalu jauh menyudutkan Nabila yang masih sibuk dengan martabaknya. Ia tersadar, badannya terasa melayang, seperti diangkat seseorang dengan lembut namun kokoh.

"Afiza, putri mama. Asik banget ya lihat ibu Nabila makan martabak. Nanti ya, setelah Afiza besar makan martabak. Yok sayang, mama mandikan dulu biar badannya segar" ucap Novi, mamanya Afiza.

Novi dengan lugas mencopoti satu persatu pakaian Afiza yang masih melihat Nabila menyantap martabaknya. Entah bagaimana, Afiza sudah berada didalam bak mandi, dan Nabila sudah berlalu dipikirannya. 

Ia tersadar, selain menerima perbedaan dengan sesama manusia. Ada hal yang lebih penting, yaitu mampu menerima kenyataan diri, menerima segala yang termaktup dalam diri sendiri adalah modal hidup utama, dan hidup bermasyarakat, lintas generasi, antar suku dan antar agama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun