Mohon tunggu...
Zulfikar Umar
Zulfikar Umar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Dokter Pelajar

Manusia pembelajar, membaca setiap waktu, menulis di paruh waktu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengatasi Kesenjangan dan kemiskinan Melalui Budaya Agama

11 September 2016   19:25 Diperbarui: 11 September 2016   19:48 518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pebincangan mengenai kesenjangan sosial dan kemiskinan merupakan sebuah perbincangan yuang seperti tidak menemukan ujung. Pelbagai teori baik oleh ekonom, politisi, maupun oleh kalangan intelektual terdidik dan mahasiswa untuk mengatasi persoalan kesenjangan dan kemiskinan belum juga berhasil memberi kontribusi yang maksimal menghadapi persoalan ini. Dalam karyanya Asian Drama, An Inquiry into The Poverty of Nation (1968), Gunnar Myrdal mengurai bahwa kemiskinan yang masif di Negara-negara berkembang di Asia adalah akibat kebijakan yang rapuh sejak perencanaan.

Ketika pelbagai upaya pengentasan kesenjangan sosial melalui pendekatan struktural yang telah dilakukan oleh Negara-negara di dunia tak terkecuali Indonesia belum juga mampu membebaskan rakyat dari belenggu kemiskinan, fokus utama kita adalah mencari pendekatan model baru yang lebih dapat diterima dan bisa melibatkan peran serta seluruh komponen dan lapisan masyarakat.

Salah satu metode yang dapat dipertimbangakan dalam upaya mengatasi kesenjangan dan kemiskinan adalah melalui pendekatan kebudayaan. Kebudayaan adalah pendekatan yang relatif baru dalam teori sosial, namun mungkin bisa menjadi sangat efektif mengingat budaya adalah pola kebiasaan yang hidup dan menghidupi suatu kelompok masyarakat tertentu.

Kebudayaan dianggap lekat pada keindahan dan kesempurnaan prestasi pikiran. Oleh karena itu, kebudayaan adalah sebuah produk normatif yang mengatur kehidupan ideal suatu kelompok masyarakat. Maka, wujud kebudayaan adalah cantik, puitis dan indah yang dapat dibayangkan sebagai sebuah kumpulan kebaikan yang dipadatkan untuk menjadi produk kebijakan yang mengatur masyarakat agar berbuat baik, estetik, luhur dan pada saat yang sama diakui dan diamini oleh semua orang.

Agama sebagai gerak Kebudayaan

         Ketika pendekatan kebudayaan kemudian dijadikan sebuah metodologi dalam upaya memberantas kesenjangan sosial dan kemiskinan, dalam konteks Indonesia yang multi kultural dan multi etnis pertanyaan yang kemudian muncul kemudian adalah kebudayaan yang mana yang akan menjadi pilihan bagi kita untuk memberantas kemiskinan?

          Jawabannya mudah saja, kebudayaan yang telah diterima dan diamini oleh seluruh masyarakat Indonesia. Dalam hal ini kita mampu me-legitimasi Pancasila sebagai sebuah puncak prestasi intelektual Bangsa ini. Namun, realitasnya saat ini Pancasila tidak menjadi sumber rujukan bagi berbagai lapisan masyarakat dalam kehidupan kenegaraan. Maka dari itu, perlu budaya alternatif lain selain Pancasila yang mampu melembaga dalam semua sendi pranata sosial kehidupan bermasyarakat.

          Alternatif lain selain Pancasila yang dapat menjadi gerakan Kebudayaan bagi upaya pengentasan kemiskinan adalah agama. Studi yang cukup menarik yang dilakukan oleh Pew Research Center pada tahun 2015 menempatkan Indonesia sebagai Negara ketiga di dunia yang menempatkan agama sebagai hal yang paling penting dalam kehidupan dengan presentasi 95 % yang berarti hampir seluruh rakyat Indonesia menganggap bahwa agama adalah sangat penting dalam kehidupan. Artinya agama bisa memberikan pengaruh yang sangat besar dalam upaya mobilisasi sosial tak terkecuali dalam upaya memberantas kemiskinan, tinggallah kemudian bagaimana menggali kearifan ajaran-ajaran agama yang dapat mendorong mobilisasi sosial ini.

Bukan sekedar Selebrasi Ritual-Spiritual

         Sebagaimana yang telah saya singgung di atas, bahwa agama ternyata sangat penting bagi kehidupan masyarakat Indonesia, ada juga hasil penelitian yang cukup menggelitik nurani saya sebagai ummat beragama khususnya Islam, penelitian yang dilakukan oleh S Rehman dan Askari terhadap ummat Islam yang notabene adalah penduduk beragama mayoritas di Indonesia pada tahun 2014 tentang seberapa Islami suatu Negara, ternyata Indonesia hanya menempati peringkat ke 140 dari 208 negara jauh tertinggal dari Negara dengan ummat Islam minoritas seperti Kanada di urutan ke-7, Inggris (8), Australia (9), dan Amerika Serikat (25), yang hanya 25 % warganya menganggap agama sangat berarti bagi kehidupan.

          Fakta-fakta tersebut menyimpulkan bahwa ternyata agama yang dipandang penting bagi kehidupan oleh kebanyakan masyarakat Indonesia hanyalah agama dalam bentuk seremoni ritual-spiritual belaka, agama yang hanya menjangkau kehidupan sampai tatanan kekhawatiran mendapatkan ganjaran neraka dan ketakutan membuat dosa, maka hal yang penting hanya ritual. Agama belum menyentuh masyarakat Indonesia sebagai sebuah sense of meaning ataupun purpose of life.

          Oleh karenanya, masyarakat Indonesia yang mengaku beragama perlu mengembangakan ajaran-ajaran keagamaannya sebagai tools kebudayaan yang cakap dan relevan untuk menyentuh seluruh aspek kehidupan tak terkecuali kemiskinan. Ajaran-ajaran agama yang mulia harus tampil menjadi kebijakan yang mampu mengatur kebaikan dan keluhuran masyarakat.

          Sebagai contoh, dalam momentum Idul Adha yang akan diperingati oleh ummat Islam diseluruh dunia esok hari perlu dilegitimasi sebagai gerakan kebudayaan keagamaan dalam upaya mengatasi kesenjangan social. Dalam tradisi ummat Islam, momentum ber qurban secara filosofis-psikologis dapat dipandang sebagai upaya peleburan ego individualistic menjadi ego keummatan dan kemasyarakatan, upaya pengorbanan ke-individualitasan demi kemaslahatan orang yang lebih banyak.

Saya rasa ada berbagai macam lagi ajaran-ajaran luhur agama yang jika betul-betul membudaya dan menjadi sekumpulan pranata yang mengatur kebaikan yang mampu mengatasi persoalan keummatan seperti kemiskinan misalnya ber-zakat, ber-sedekah, mengasihi fakir-miskin, yatim-piatu dan lain sebagainya. Contoh-contoh yang saya sebutkan mungkin sangat eksplisit terhadap ajaran Islam karena keterbatasan pengetahuan saya terhadap agama lain namun saya percaya semua agama memiliki ajaran yang luhur yang dapat membantu masyarakat keluar dari jerat kemiskinan,

          Pada kesimpulannya adalah bukan agamanya yang penting namun kualitas keagamaannya, kualitas keagamaan yang mampu me-revolusi dan me mobilisasi ummat secara massif  untuk mengatasi berbagai persoalan seperti kemiskinan. Revolusi dari sebuah gerakan ritual-spiritualitas menjadi gerakan sosial.

          Jadi dibanding berteriak-teriak mengkafirkan orang dan ajarannya ataupun merasa ajaran agamanya yang paling benar, lebih baik mengamalakan ajaran dan mengutamakan akhlak kebaikan setiap agama yang kita yakini, yang demikian sekiranya lebih maju untuk dapat mengatasi berbagai permaslahan keummatan. Bukankah agama adalah Rahmat bagi kita semua tanpa terkecuali. Ibn Qayyim berpesan, Agama itu semuanya akhlak, siapa yang mengunggulimu dalam akhlak dia mengungguli mu dalam agama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun