Pebincangan mengenai kesenjangan sosial dan kemiskinan merupakan sebuah perbincangan yuang seperti tidak menemukan ujung. Pelbagai teori baik oleh ekonom, politisi, maupun oleh kalangan intelektual terdidik dan mahasiswa untuk mengatasi persoalan kesenjangan dan kemiskinan belum juga berhasil memberi kontribusi yang maksimal menghadapi persoalan ini. Dalam karyanya Asian Drama, An Inquiry into The Poverty of Nation (1968), Gunnar Myrdal mengurai bahwa kemiskinan yang masif di Negara-negara berkembang di Asia adalah akibat kebijakan yang rapuh sejak perencanaan.
Ketika pelbagai upaya pengentasan kesenjangan sosial melalui pendekatan struktural yang telah dilakukan oleh Negara-negara di dunia tak terkecuali Indonesia belum juga mampu membebaskan rakyat dari belenggu kemiskinan, fokus utama kita adalah mencari pendekatan model baru yang lebih dapat diterima dan bisa melibatkan peran serta seluruh komponen dan lapisan masyarakat.
Salah satu metode yang dapat dipertimbangakan dalam upaya mengatasi kesenjangan dan kemiskinan adalah melalui pendekatan kebudayaan. Kebudayaan adalah pendekatan yang relatif baru dalam teori sosial, namun mungkin bisa menjadi sangat efektif mengingat budaya adalah pola kebiasaan yang hidup dan menghidupi suatu kelompok masyarakat tertentu.
Kebudayaan dianggap lekat pada keindahan dan kesempurnaan prestasi pikiran. Oleh karena itu, kebudayaan adalah sebuah produk normatif yang mengatur kehidupan ideal suatu kelompok masyarakat. Maka, wujud kebudayaan adalah cantik, puitis dan indah yang dapat dibayangkan sebagai sebuah kumpulan kebaikan yang dipadatkan untuk menjadi produk kebijakan yang mengatur masyarakat agar berbuat baik, estetik, luhur dan pada saat yang sama diakui dan diamini oleh semua orang.
Agama sebagai gerak Kebudayaan
     Ketika pendekatan kebudayaan kemudian dijadikan sebuah metodologi dalam upaya memberantas kesenjangan sosial dan kemiskinan, dalam konteks Indonesia yang multi kultural dan multi etnis pertanyaan yang kemudian muncul kemudian adalah kebudayaan yang mana yang akan menjadi pilihan bagi kita untuk memberantas kemiskinan?
     Jawabannya mudah saja, kebudayaan yang telah diterima dan diamini oleh seluruh masyarakat Indonesia. Dalam hal ini kita mampu me-legitimasi Pancasila sebagai sebuah puncak prestasi intelektual Bangsa ini. Namun, realitasnya saat ini Pancasila tidak menjadi sumber rujukan bagi berbagai lapisan masyarakat dalam kehidupan kenegaraan. Maka dari itu, perlu budaya alternatif lain selain Pancasila yang mampu melembaga dalam semua sendi pranata sosial kehidupan bermasyarakat.
     Alternatif lain selain Pancasila yang dapat menjadi gerakan Kebudayaan bagi upaya pengentasan kemiskinan adalah agama. Studi yang cukup menarik yang dilakukan oleh Pew Research Center pada tahun 2015 menempatkan Indonesia sebagai Negara ketiga di dunia yang menempatkan agama sebagai hal yang paling penting dalam kehidupan dengan presentasi 95 % yang berarti hampir seluruh rakyat Indonesia menganggap bahwa agama adalah sangat penting dalam kehidupan. Artinya agama bisa memberikan pengaruh yang sangat besar dalam upaya mobilisasi sosial tak terkecuali dalam upaya memberantas kemiskinan, tinggallah kemudian bagaimana menggali kearifan ajaran-ajaran agama yang dapat mendorong mobilisasi sosial ini.
Bukan sekedar Selebrasi Ritual-Spiritual
     Sebagaimana yang telah saya singgung di atas, bahwa agama ternyata sangat penting bagi kehidupan masyarakat Indonesia, ada juga hasil penelitian yang cukup menggelitik nurani saya sebagai ummat beragama khususnya Islam, penelitian yang dilakukan oleh S Rehman dan Askari terhadap ummat Islam yang notabene adalah penduduk beragama mayoritas di Indonesia pada tahun 2014 tentang seberapa Islami suatu Negara, ternyata Indonesia hanya menempati peringkat ke 140 dari 208 negara jauh tertinggal dari Negara dengan ummat Islam minoritas seperti Kanada di urutan ke-7, Inggris (8), Australia (9), dan Amerika Serikat (25), yang hanya 25 % warganya menganggap agama sangat berarti bagi kehidupan.
     Fakta-fakta tersebut menyimpulkan bahwa ternyata agama yang dipandang penting bagi kehidupan oleh kebanyakan masyarakat Indonesia hanyalah agama dalam bentuk seremoni ritual-spiritual belaka, agama yang hanya menjangkau kehidupan sampai tatanan kekhawatiran mendapatkan ganjaran neraka dan ketakutan membuat dosa, maka hal yang penting hanya ritual. Agama belum menyentuh masyarakat Indonesia sebagai sebuah sense of meaning ataupun purpose of life.