Mohon tunggu...
Cerpen Pilihan

Orang-orangan Pasar

3 Maret 2016   16:25 Diperbarui: 3 Maret 2016   16:34 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

 

@zulfikariza

Mentari masih seperempat jalan lagi menuju ufuk timur saat kehidupan di pasar perbatasan telah berlari kencang. Bunyi parang pemecah kelapa sahut-menyahut dengan gemuruh perjuangan setiap pedagang yang datang mengais potongan rupiah sekecil apapun dari Abah Haji Tengkulak. Tak begitu haram, kata mereka, hanya sekedar mengambil secuil lagi dari hak mereka atas laba Abah Haji. Mereka menolak peduli meski tahu Abah Haji tak pernah mengambil untung lebih tebal dari sehelai uban.


Kunyit adalah gulita di antara mereka. Ia adalah jelaga di tengah gempitanya pasar perbatasan. Ia hanya tersapa setiap kali seorang pelanggan Abah Haji kebingungan dengan belanjaannya yang bertumpuk. Ia adalah malam di antara kerumunan pelanggan Abah Haji. Ia hanya berpelita saat Abah Haji memintanya mengangkut satu setengah ton gula dari gudang toko untuk dikirim ke Madiun.


Kunyit adalah udara hampa. Bukan kuli angkut pasar perbatasan. Dia adalah aroma yang tak semerbak. Bukan tukang parkir pasar perbatasan. Kunyit adalah kamis dan selasa, butir debu atau kecipak hujan, sepoi kering atau embun keruh, yang dilewati manusia tanpa terpedulikan waktu dan rasanya, tanpa terpedulikan ada tiadanya.


Kunyit hanyalah itu semua. Orang-orangan pasar.
***
Sejak kelas lima SD (kadang ia memang merasa sepertinya dulu sekali ia pernah punya satu setel seragam putih-merah), seingat Kunyit, ia telah ditinggal bapak emaknya. Bukan ditinggal mati. Mereka berdua entah bercerai atau apa, lalu masing-masing mencari pasangan baru lagi dan pergi entah ke mana, tanpa ada satu pun yang sudi mengasuh Kunyit. Ia ditinggalkan begitu saja saat tertidur di dalam rumah papannya yang dibangun di atas setumbak tanah tak bertuan, yang kelak menjadi sengketaan para juragan sapi dengan pamong-pamong pemerintah.


Sejak itu, Kunyit luntang-lantung di pasar perbatasan. Tidur di halte tua, mandi di WC umum pasar, dan makan dua kali sehari dengan uang lelah yang didapatnya dari Abah Haji dan para pelanggannya.


Begitu siang bertandang dan pasar telah bubar, hanya debu pasar yang menemani kesendirian Kunyit. Tak ada Abah Haji yang meladeni setiap bualan ngelanturnya tentang kuli pasar atau para pendayung sampan di bengawan. Tak ada pula wajah-wajah pelanggan toko yang datang dan pulang menyapu pelupuk mata yang terlalu keruh untuk pemuda seusianya.


Pelupuk mata itu telah jengah melihat dunia menghujami hidupnya dengan kenyataan pahit yang hampir tak terperikan. Lengan kekar itu teramat akrab dengan karung-karung beras dan gula sejak limabelas tahun silam. Telapak tangannya telah lama bersahabat dengan pasir dan batu kali. Tak ada masa depan yang mampu direngkuh kedua lengan legam itu. Sebagaimana tiada pula embun-embun impian yang sanggup mengembalikan kejernihan bola matanya.


Telah lama tapak kakinya tak menyentuh sandal. Tanah lumpur dan paku beling sudah pula muak dengan kulit arinya yang terlalu tebal. Tapi, meski orang-orangan pasar itu tampak teramat pekat dan kumal bagi kebanyakan mata tua, tak pernah ada anak kecil yang jenuh berlarian dan bertarian dengan Kunyit, atau tertawa dan bercanda bersama Kunyit. 

Mereka menganggap Kunyit laiknya badut berbedak pasir bengawan. Atau, mungkin juga mata mereka masih begitu murni, hingga melihat Kunyit tampak bening tanpa geliat dosa yang menebal menyelubunginya. Bagaimanapun, Kunyit tetaplah sekedar itu. Ia cuma orang-orangan pasar.
***
Malam tadi bukanlah malam yang nyenyak bagi Kunyit. Bukan kenapa-kenapa, hanya saja, halte tua itu semalam telah lebih dulu dikuasai oleh orang gila dari seberang bengawan. Kunyit tak cukup berani mengusir imigran kasar itu dari dipan beton yang selalu mengantarnya ke alam tidur setiap malam. Ia lebih suka membiarkan halte tua itu sebagaimana kodratnya sebagai tempat umum yang boleh ditempati oleh siapapun, termasuk si gila pecandu puntung dari seberang bengawan itu.


Maka semalam, ia terpaksa tidur di balik meja dagang lapak buah-buahan milik Pak Ronggeng. Lalat dan nyamuk pun mendadak melonjak kegirangan dan membuntuti Kunyit hingga ke setiap jengkal mimpinya.


Tapi senyum Kunyit tak pernah sirna karenanya. Di pagi buta ini, ia tetap berdiri di belakang kerumunan pelanggan Abah Haji. Memamerkan barisan gigi besar kekuningan itu untuk menyambut pekerjaan apapun yang ditawarkan padanya. Ada kalanya sekedar mengangkut sekardus tepung ketan ke atas becak. Ada pula kala lain memanggul beberapa karung beras ke penyeberangan sampan di tepi bengawan.


Dan di pagi buta ini, barisan gigi kekuningan itu jauh lebih berkilau daripada sebelumnya. Itu setelah Kunyit melihat kalender sobek Abah Haji menyapanya dengan angka sebelas besar berwarna hijau.


Hari Jumat adalah hari raya bagi Kunyit. Hari di mana semua pilu hatinya selama sepekan akan lenyap. Di mana pegal dan kram otot yang kadang menghinggapi pundak kekar itu akan sirna pada akhirnya. Di mana kawanan nyamuk takkan mampu lagi melonjak kegirangan di atas kuntum bunga tidurnya.


Maka, satu setengah ton gula itu tak sedikitpun menggerus lebarnya senyuman Kunyit. Meski kerja angkut itu baru rampung saat Haji Halim melantangkan adzan subuh di surau pasar. Begitu pula tusukan demi tusukan matahari kemarau tak kan sedikitpun merajami keringat Kunyit. Meski masih ada puluhan sepeda yang harus dijaganya di depan toko Abah Haji saat siang bertengger di puncak menara surau.


Asa Kunyit masih membuncah. Ia masih setia menunggu satu atau dua suara lagi yang akan memanggilnya dari tengah kerumunan pelanggan Abah Haji, sebelum tiba saatnya Mudin Marjuki berkhotbah di atas mimbar. Asa Kunyit masih membuncah. Karena lengannya masih siap memeras keringat. Karena badannya masih kuat menopang belikat. Dan karena ini adalah Hari Jumat.
***
Aji Gumbik adalah seorang Hansip desa. Kantor sekaligus rumah dinasnya adalah sebuah pos ronda kecil yang berhimpitan dengan tembok barat balai desa. Jika mentari Jumat hampir luruh di langit barat, maka tiba waktunya ia pulang kampung ke dusun dalam. Membawa gaji mingguannya untuk jatah beras dan susu anaknya yang baru berumur lima purnama.


Mata keruh Kunyit telah terpancang di wajah Aji Gumbik sejak belasan menit lalu. Jantungnya berjingkat dan menendang-nendang rongga dadanya. Senyum gigi kekuningan itu sesekali menyembul keluar dari balik tudung kegelisahan yang menyelubungi gurat-gurat harapannya.


Sore ini ia memakai baju terbaiknya. Kemeja lengan pendek hadiah lebaran dari Abah Haji dua tahun silam, yang ia titipkan di sebuah lemari tua kecil bekas tempat menyimpan semangka dan melon di lapak buah Pak Ronggeng.


Rambutnya disisir licin. Badannya wangi selepas mandi keramas di WC umum pasar. Tak tertinggal sedikitpun bau menyengat dari duabelas karung sampah pasar yang baru selesai diangkutnya menjelang ashar. Ia benar-benar ingin tampil sebaik mungkin di hari raya ini.
Ini sudah waktunya. Karena matahari telah hampir hilang di langit barat. Cakrawala pun telah merona merah, mengiringi ucapan selamat tinggal Kunyit pada nyamuk kebun dan lalat buah.


Sudah lebih dari sejenak ia bersila di teras pos ronda. Kedua mata keruhnya mengikuti ujung jempol kakinya yang melukis di atas debu. Sementara sang Hansip yang ditunggu-tunggu baru selesai berkemas di dalam pos kecil itu. Kunyit bangkit dan menyuguhkan barisan gigi kekuningan untuk menyambut Aji Gumbik.


“Eh, kamu sudah datang, Nyit!”
Aji Gumbik terlalu hafal dengan air muka Kunyit yang mendadak segar setiap bertemu dengannya. Ia menepuk pundak Kunyit kuat-kuat, menitipkan kunci pos kepadanya, lalu pamit dan pergi menunggang motor dua windunya memunggungi merahnya cakrawala.
Sepasang kunci telah tergenggam di tangan Kunyit. Pahatan logam kecil itu berkilauan membuai mata, melesatkan angan-angan Kunyit akan betapa hangatnya malam ini.


Maka karung-karung gula itu seketika mendekap dada Kunyit dengan sejuta manisnya yang menggila di rongga hati. Suara-suara senyap pasar perbatasan mendendangkan lagu tidur yang mengalun teduh sepanjang kepak sayapnya menuju ke sebuah negeri di balik pijar rembulan.
Tak masalah lagi jika si gila itu kembali menggerayangi halte tua. Karena Kunyit kini telah beralas kasur gulung, dan berkemul sarung kumalnya yang hangat.

 Melingkarkan badan menghadap televisi berwarna yang gambarnya meliuk-liuk bagai ular padang pasir. Senyumnya lebar. Dan kedua bola mata keruh itu berbinar terang, seterang gemintang di luar sana. Bagi Kunyit, ketika tawanya melantang renyah menghadap televisi, dan bunga tidurnya mekar merekah di dalam sebuah pos ronda kecil, maka itulah hari raya.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun