Malam ini, ku lihat seseorang terpuruk diantara himpitan gedung
Malang nasibnya, bak seekor kucing yang tertidur disela kandang yang mewah
Beliau terlihat kusam dan tak terawat, mungkin malas mandi karena wc umum disini bayar
Sudah tua, menyingkir dan menyendiri dalam hiruk pikuk metropolitan
Esok ku temui dalam kesempatan yang hangat, dengan buah tangan ku roti dan susu jahe dengan bercampurnya suasana malam perkotaan
Senang rawut mukanya terpancar dalam pertemuan ini
Habis sudah dilahap dengan senangnya, pula aku merasa tidak sia-sia
Lalu dilanjutkan dengan bincang kecil namun penuh arti hidup
Namanya Tukiran asal Purwodadi, datang dengan istrinya bermodalkan hasil panen lalu membuka rumah makan pinggir jalan
Amat sangat naas nasibnya, warung yang sebagai mata pencariannya terjaring razia
Lalu ia memulung sampah yang bisa di jual lagi
Anaknya yang masih bayi itu harus menerima kenyataan pahit terlahir pada keluarga miskin
Tak usai tuhan memberinya cobaan, orang yang ia cintai teman hidupnya meninggal di gilas kereta api
Dua belas tahun hidupnya di Jakarta di terpa berita bahwa anaknya yang berinisiatif untuk mengamen diangkut razia entah dimana
Sekarang ia sebatang kara, kejam ya, sangat kejam kota ini
Hanya mengeluh dan memanjakan diri bagaimana hari esok
Tukiran kau bersemangat
Setelah obrolan itu di dua minggu ke depan ku dengar kau jadi marbot masjid
Sudah tidak kau cari lagi isi dunia ya tuan
Ku harap kisah ku dapat menjadi nilai pada mu tuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H