Mohon tunggu...
ZULFIAN SYAH
ZULFIAN SYAH Mohon Tunggu... Mahasiswa - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Alam Takambang Jadi Guru

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

"Jangan Dulu, pada Saatnya Saja!"

18 Maret 2018   05:38 Diperbarui: 18 Maret 2018   09:51 667
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dewasa ini, kita tidak pernah terlepas dengan yang namanya gawai, bukan? Tua, muda, dewasa, bahkan anak-anak sekali pun. Kapan pun dan di mana pun, gawai tak pernah luput dari genggaman.

Pada tulisan kali ini, penulis akan memfokuskan pembahasan pada anak-anak. Tak jarang, orang tua memberikan kesempatan terlalu dini kepada anak-anak untuk bercengkrama dengan gawai. Alhasil, hal ini mengambil alih tahapan-tahapan yang dilalui setiap anak di masa pertumbuhan dan perkembangan mereka.

Mildred Parten mengemukakan bahwa tahap-tahap perkembangan bermain anak usia dini melalui 6 tahap, yaitu :

1. Unoccupied Behavior/Gerakan Kosong

Di mana, anak sepertinya belum melakukan kegiatan bermain, hanya mengamati sesuatu sejenak saja.

Misalnya bayi mengamati jari tangan atau kakinya sendiri dan menggerakannya tanpa tujuan.

2. Onlocker Behaviour/Tingkah Laku Pengamat

Pada tahap ini, anak memperhatikan anak yang lain yang sedang melakukan suatu kegiatan atau sedang bermain.

Misalnya seorang anak yang memperhatikan temannya sedang bermain kejar-kejaran, meskipun ia tidak ikut bermain tetapi ia turut merasa senang seolah ia ikut bermain bersama teman-temannya.

3. Solitary Play/Bermain Soliter

Pada tahapan ini, anak bermain dan mencari kesibukan sendiri, tanpa peduli dengan orang/teman lain yang ada disekitarnya.

4. Parraley Play/Bermain Paralel

Pada tahap ini, anak melakukan kegiatan bermain di antara anak yang lain tanpa ada unsur saling mempengaruhi satu sama lain.

Misalnya seorang anak bermain puzzle dan anak lain juga bermain puzzle, mereka bersama tetapi tidak saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya.

5. Associative Play/Bermain Asosiatif

Anak melakukan kegiatan bermain bersama dengan anak lainnya, tetapi belum ada pemusatan tujuan bermain.

Misalnya beberapa anak bermain menepuk-nepuk air di kolam bersama- sama.

6. Cooperative Play/Bermain Koperatif

Anak melakukan kegiatan bermain bersama-sama dengan teman secara terorganisasi dan saling bekerja sama. Ada tujuan yang ingin dicapai bersama dan ada pembagian tugas yang disepakati bersama.

Misalnya bermain rumah-rumahan, di mana ada yang menjadi Bapak, ibu, dan anak, sehingga masing-masing memiliki tugas tersendiri. Anak membuat rumah-rumahan tersebut dengan balok ataupun puzzle dan bermain peran dengan boneka atau sejenisnya.

Masa kanak-kanak atau para ahli sering menyebutnya dengan "Masa Bermain," di mana pada saat itu anak-anak sangat menyukai permainan dengan menggunakan alat-alat bermain. Hal itu dapat berupa congklak, lompat tali, petak umpet, galah, dan lain sebagainya.

Namun, apa yag terjadi ketika seorang anak diberikan kesempatan lebih dini untuk mengenal gawai?

Ketika seorang anak diperkenalkan dan diberikan kesempatan untuk bercengkrama dengan gawai lebih dini, hal itu dikhawatirkan akan menjadi bumerang terhadap anak tersebut. Sebagaimana masa yang dilaluinya, yakni masa bermain, mereka akan menghabiskan sebagian besar waktu dengan bersenang senang, seperti bermain gim, melihat konten lucu, dan lain sebagainya. Yang jelas, hal itu merupakah hal-hal yang menarik baginya. Di satu sisi, ia mungkin memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi. Namun, dalam hal bersosial?

Dengan keadaan di mana ia menghabiskan waktu demi waktu di hadapan sebuah benda yang senantiasa ada di genggamannya, memungkinkan ia tidak memiliki kesempatan untuk bercengkrama dengan teman sebaya/sepermainan. Asik dengan gawai setiap waktunya, lebih menarik dibandingkan bermain kejar-kejaran ataupun yang lainnya bersama teman sepermainan. Sehingga, hal ini berkemungkinan besar menjadikannya tidak mengetahui cara menyikapi orang-orang yang ada di sekitar ataupun bersosial di lingkungan hidupnya.

Kasus ini sama halnya dengan tahap perkembangan yang digambarkan pada tahap ketiga yakni Solitary Play (Bermain Soliter). Di mana anak bermain dan mencari kesibukan sendiri, tanpa peduli dengan orang/teman lain yang ada di sekitar mereka. Sibuk sendiri dengan gawai menjadikan mereka acuh dengan keadaan sekitar.

Dengan demikian, rasa simpati ataupun empati pada diri mereka lebih sulit untuk muncul. Sehingga anak-anak yang demikian lebih cenderung bersifat egois. Hal ini dikarenakan mereka tidak pernah tahu bagaimana yang namanya lingkungan permainan yang sesungguhnya dan apa saja yang terjadi di dalamnya.

Mereka pun akan lebih malas untuk bergerak dikarenakan masa bermain dihabiskan dengan gawai, yang mana dalam pengoperasiannya tidak memerlukan banyak gerakan. Bagian tubuh yang cenderung aktif dalam hal ini adalah tangan, jari tangan tepatnya. Sehingga mereka cenderung pasif dalam bergerak yang memungkinkan proses pertumbuhan mereka akan sedikit terhambat dibandingkan anak yang bermain dengan permainan-permainan tradisional dengan teman bermain, misalnya yang menuntut gerak aktif dalam pengoperasiannya.

Berbeda halnya dengan anak-anak yang diberikan kesempatan untuk bereksplorasi di lingkungan bermain bersama teman-teman. Mereka akan memiliki tingkat intelektual yang baik serta keahlian dalam bersosial. Salah satu penyebabnya karena mereka sudah terbiasa dalam menjalani proses pertumbuhan dan perkembangan bersama teman-teman mereka. 

Tingkat kekreatifan mereka pun akan lebih terlihat dibandingkan dengan anak yang sekedar menghabiskan waktunya bersama gawai. Karena mereka terbiasa untuk menjelajahi dunia mereka bersama teman-teman, bercengkrama dengan krayon, cat warna, permainan tradisional, dan lain sebagainya. Mereka pun akan lebih aktif dibandingkan anak yang bereksplorasi menggunakan gawai sehingga hal itu akan berdampak positif terhadap masa pertumbuhan mereka.

Dalam hal ini, sangat dibutuhkan sikap bijak dari orang tua demi pertumbuhan dan perkembangan buah hati mereka kedepannya. Maka dari itu, bijaklah untuk melakukan segala sesuatu dalam menjalani kehidupan ini. Tempatkan segala sesuatu pada tempatnya serta sesuai takarannya. Jikalau belum waktunya serta tanpa ada unsur kepentingan, jangan sekali-kali memberikan kesempatan lebih dini kepada buah hati Anda untuk menggunakan gawai. Sayangi buah hati, bentuk jiwa intelek, sosialis, serta sportif dalam diri mereka untuk masa depan yang lebih baik. Semoga bermanfaat.

 Wassalam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun