Judul Novel: Pachinko
Penulis: Min Jin Lee
Tahun terbit: 2017
Penerbit: Gramedia
Konon jauh lebih mudah untuk menjadi diri sendiri dibandingkan menjadi seperti diri orang lain. Barangkali ungkapan klise semacam itu sering kita temui dalam acara motivasi pengembangan diri yang menjamur belakangan ini. Di satu sisi, hal itu sesungguhnya benar---bahwa setiap individu manusia itu adalah unik dan jauh lebih mudah mengembangkan kemampuan diri sendiri saat kita sadar nilai pembeda kita.
Tapi bagaimana jika sesuatu yang membedakan diri kita itu malah membuat kita terkucil. Dan memilih untuk menjadi seperti kebanyakan orang adalah satu-satunya pilihan?
Bahwa pada akhirnya Min Jin Lee dalam novelnya yang berjudul Pachinko mencoba mengungkap semua kegetiran itu. Sebuah narasi yang mencoba mengiris banyaknya lapisan persoalan yang melingkupi kehidupan warga Jepang beretnis Korea alias para Zainichi. Orang-orang yang sepanjang hidupnya terjebak dalam streotipe dan krisis identitas.
Barangkali secara kasat mata maka novel Pachinko karya warga Korea-Amerika ini akan terlihat seperti kisah cinta segitiga pada umumnya---streotipe dan klise ala drama korea, bahwa tokoh A mencintai tokoh B sedangkan tokoh B hatinya sudah terpaut dengan sosok C. Dan artinya tidak ada yang luar biasa dari novel ini.
Dengan mengambil latar era perang dunia II, penjajahan Jepang atas Korea, dan masa-masa setelahnya. Ada tema besar yang ingin diungkapkan oleh penulis dalam narasi yang ia tuliskan. Seperti soal kemanusiaan, keterasingan, hingga pencarian identitas diri.
Melihat jauh ke belakang, ke awal abad ke 20 ketika istilah Zainichi itu akhirnya lahir. Semua itu dimulai karena adanya Perjanjian Anekasasi Jepang-Korea pada tahun 1910. Sebuah perjanjian yang mengakibatkan pemerintah kerajaan Korea kehilangan wewenang dalam mengatur urusan dalam negeri---dan juga berakibat kepada seluruh rakyat Korea saat itu yang kini beralih status menjadi warga Kekaisaran Jepang.
Koh Hansu, Sun Ja, dan Baek Isaac