Otonomi daerah, yang sudah berlangsung selama beberapa tahun ternyata tidak mampu mengangkat harkat dan martabat masyarakat daerah untuk hidup lebih bernilai tinggi, dan Justru Kewenangan Pejabat daerah yang penuh, Â menimbulkan efek negatif. Contoh soal, Presiden Jokowi mengambil over Perbaikan ruas jalan Provisi Lampung, ini bentuk-bentuk kelemahan daerah.
Seorang Pemuda asal Lampung yang kuliah di Negara Kanguru Australia, yang masih terbilang belum harus melakukan kontrol sosial yang begitu tajam, kini menjadi tofik pembicaraan. Mengapa tidak ?. Gubernur Lampung Arinal Djunaidi, yang pada awal terjadinya sorotan yang dilakuan Bima putra Lampung itu, merasakan pukulan langsung tekanan kontrol sosial tersebut.Â
Tak berhenti disitu saja, justru Presiden Jokowi diiringi beberapa Menteri harus turun menyambangi Lampung, ini suatu pukulan berat bagi Gubernur itu. Ketika Tanggung Jawab Perbaikan Jalan yang seharusnya diakukan oleh Dinas Binamarga Provinsi Lampung tersebut, diambil alih oleh Pemerintah Pusat atas Perintah Presiden. Orang-orang senegeri ini menyaksikan kondisi itu, Â lewat berbagai Media Masa, utamanya layar kaca. Betapa remuk redamnya senyum sang Gubernur, orang bertepuk tangan, dia harus bertepuk tangan.Â
Walaupun dengan sangat-sangat dipaksakan bahana malu, orang tertawa, dia harus ikut tertawa. Â Tanpa daya untuk menolak suasana itu Inilah namanya " Makan Buah Si Malakama". Bertepuk dan tertawa, justru di tertawai masyarakat, tidak Tertawa sepertti tidak mendukung Presiden.
Mengapa ini harus terjadi, sebenarnya Pemerintah Pusat sudah seakan-akan muak, menyaksikan keadaan itu. Dan memang rasanya perlulah Pemerintah membentuk Tim Operasi Penertiban seperti yang pernah dilakukan Laksamana Soedomo, di era Pemerintahan Soeharto. Soedomo yang Nota Bene adalah Kalangan Angkatan Bersenjata, diperankan Soeharto melakukan Operasi Tertib alias Opstib itu.Â
Sang Laksamana, tidak segan-segan menyamar jadi Sopir truck, guna mencari kepastian atas kejadian nyata, apa yang sedang terjadi didaerah-daerah. Efeknya Para Pemangku Jabatan disetiap Lini Pemerintahan, dibuat Terseok-seok. Pertanyaannya apakah perlu seperti itu kembali ?. Jawabnya sangat perlu.Â
Langkah yang mirip-mirip kini dilaksanakan Menteri Kordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD. Itu diakui sangat benar dan nyata faedahnya, dan harus dilakukan seperti itu. Hanya saja Mahfud MD Â sepertinya dibatasi, dan dikejar-kejar waktu. Disatu sisi, Mahfud adalah orang sipil yang berpredikat ahli hukum.Â
Sikap dan actionnya dalam memerankan Operasi Tertib tersebut, terpaksa mengikuti aliran Blues, bukan aliran Rock And Roll. Banyak yang tidak senang, itu wajar saja.  Siapapun dalam sejarah yang ingin mendirikan kebenaran, pasti mendapat tantangan terutama orang yang punya dosa itu. Itu belum lagi tantangan yang bersifat fisik.  Yang menyebabkan Pehlawan yang ingin tegaknya kebenaran itu, harus berkorban nyawa. Juga untuk Mahfud MD. Tidak sedikit bahasa-bahasa miring yang muncul, bahkan menyeruak melalui Media Masa dalam bentuk statemen yang kontra. Itu wajar, karena bila disibak lebih dalam apa yang ditekan oleh Mahfud MD, adalah kejahatan-kejahatan yang disana ada berbagai kepentingan yang sudah akut. Seperti halnya Peraktek Human Traficing. Atau Manusia jual Manusia.  Yang sudah sejak lama terjadi di negeri ini. Selama ini terkesan hanya Nato "No Action, Tolking Only". Namun manusia yang dibisniskan, tetap mengalami penderitaan, yang dijual menjadi pemuas nafsu tetap kehilangan harkat kemanusiaan.  Yang dijual menjadi pekerja ke Luar Negeri, menjadi budak dimasa Modrenisasi dan Berkoar-koarnya slogan HAM. Disaat mana orang berteriak-teriak. Meneriakan Hak Azasi Manusia, dengan kerongkongan yang  sampai kering. Akan tetapi Manusia Jual Menusia itu, tetap berlangsung sebagai perbuatan terkutuk yang mendatangkan Cuan Besar, bagi orang-orang yang tidak lagi punya air mata. Air matanya berubah menjadi Air Keras, yang menutupi Mata Hati orang-orang yang tega melaksanakan perbuatan laknat itu.Â
Kembali kepada Otoritas Pemimpin-pemimpin daerah saat ini. Semua Kepala  Daerah, baik Gubernur, Bupati dan Walikota yang di tangkap KPK, dan Lembaga Hukum lainnya. Terlibat Korupsi berdasarkan hak dan kekuasaan, yang tidak dibatasi. Dari mulai transaksional prolehan Pekerjaan Proyek. Korupsi yang tidak lagi  rahasia, nilai jualnya sampai 15 persen per satu. Akibatnya kwalitas pekerjaan proyek, infra setruktur didaerah amburadul. Toh tetap diterima Pejabat Pembuat Komitemen, yang tidak bisa ngomong banyak. Kejahatan jual jabatan, yang juga bukan lagi rahasia. Bahkan jabatan Kepala Lingkungan, yang kerap disebut Kepling juga tidak luput dari kemplangan Bupati. Kalau Kepling saja dihajar, bagaimana pula pejabat lain seperti kepala Bidang, sampai Kepala Dinas. Dan yang punya harga adalah Kepala Dinas dengan Anggaran Perbelanjaan besar, seperti Kepala Dinas Pendidikan. Ini punya tarif, wah ...begitulah cerita yang berkembang, dan luput dari sergapan KPK. Karena KPK, menurut Nurul Gufron tidak hanya menindak, tapi membina. Bagaimana mungkin  masih ada cerita " Bina..bina " terhadap para Koruptor, yang sudah memenuhi seantero negeri ini. Dari yang kecil dana BOS, Dana Desa. Sampai kepada Gawenya Pejabat Besar. Kalau dahulu Korupsi diatas meja, saat ini sak meja-mejanya disantap.
Lampung kebetulan, hanyalah sebuah daerah yang sedang tertimpa apes, viral. Dan bukan berarti Daerah lain, tidak punya kejelekan seperti Lampung namun tidak viral. Itu masalahnya, sehingga tidak jadi sorotan publik secara nasional. Inio perkara nasib baik dan nasib buruk, bukan karena sudah benar. Bisa jadi besok, lusa dan lain hari Provinsi lain juga akan muncul. Terinsfirasi, dari keberhasilan orang yang namanya diambil dari nama ayah Gatot Kaca itu. Hanya bedanya Senjata ampuh "Gada Bima " tokoh pewayangan, itu Gada Sakti, yang bisa menggentarkan Tanah dalam radius tertentu. Gada Si Bima dari Lampung, yang tidak kalah saktinya, menggunakan Aji Ampuhnya Media Elektronik, bisa Menggetarkan Nusantara.
Berkaca dari peristiwa itu, yang sampai-sampai Pemerintah Pusat turun tangan mengambil alih, pekejaan orang daerah. Nah tentu kita harus menggunakan kata tanya " Lha apa lagi artinya kekuasaan-kekuasaan yang ada didaerah ini ? ". Bupati Meranti, Haji Muhammad Adil ketika ngoceh, menghajar Kementerian Keuangan. Orang-orang diseantero negeri ini, berfikir dan menganggap dia orang bersih. Begitu punya kasus, ditangkap oleh KPK. Busret, ternyata kowe juga orang yang suka menunjuk dengan satu jari telunjuk kepada keburukan orang lain, semengara empat jari mengarah pada keburukannya sendiri.
Ongkos Politik, untuk jadi Kepala daerah itu sangat besar saat ini, disaat Rakyat sudah ngomong " Jangan Dia saja yang kenyang, kalau sudah duduk, apa yang enggak dijualnya. Dari mulai Kacang Goreng, sampai kepada Lontong, habis dia lego ". Itulah gerutu masayarakat yang disebut, ikut dalam pesta demokrasi saat ini. Diperhitungkan bayar suara di Pemiiihan terkecuali Pemilihan Presiden, lainnya akan dipatok masyarakat dengan harga tinggi. Kalau selama ini pakai tarif Rp.300.000,- nanti di 2024, sudah muncul bisik-bisik masyarakat tarif naik, bisa jadi Ro.1.000.000,- Itupun kalau tidak jadi pemain ganda, Intok sana Intok Sini. Comot Sana Comot Sini. Siapa Takut, siapa yang berani memperkarakan orang cerdas, yang makan uang calon pejabat politik, tapi dia tidak memilih orang itu.
Ongkos Politik semakin tinggi, Kepala Daerah yang buang uang, pasti akan cari pengembalian modalnya, plus keuntungan untuk cari kaya. Â
Jual jabatan, bukan lagi barang baru. Bahkan ada berita, dana awal jabatan, lain dengan uang isi pulsa routine. Apa KPK tau itu ?. Pejabat bawahan Bupati, tidak berani melawan. Pejabat Politik itu, punya perangkat Inspektorat yang bisa dia gerakan untuk memeriksa pejabat bawahannya. Yang juga terpaksa tidak bersih lingkungan, disebabkan harus menutupi pengeluarannya beli jabatan. Bahkan ada yang sampai-sampai jual tanah. Karena dosa bawahan dipegang Pak Bos, bawahan tidak berkutik. Begitu juga para Kepala Desa, begitu digertak akan diperiksa Inspektorat secara ketat, Â Kepala Desa, Kepala Sekolah jadi "Ampun Ndoro"
Potret Buram negeri ini sudah berlangsung, menghambat perkembangan bangsa ini, untuk maju. Hukuman Berat tidak ditemukan dalam tindak Pidana Korupsi, yaitu Hukuman Mati seperti yang diberlakukan di berbagai negara, utamanya China. Itulah sebabnya para Koruptor anggap remeh. Tertangkap, yah keluar masih gemuk. Tidak seperti di China, bak kata Zurong Zhi Perdana mentri China sampai dengan 2003. " Beri aku 100 Peti Mati, 99 akan kujadikan Peti Mati Para Koruptor, satu Peti Mati untukku, kalau aku Korupsi " Itu ungkapan yang konsisten. Di China Koruptor Kapok. Di Negeri ini yang Kapok, adalah Gitar "  Gitar Merk Kapok  ". Sampai dengan tahun ini di Negeri Tirai Bambu itu, Pemerintahnya sudah menghukum mati 240.000 orang Koruptor. Pemerintah China mengajak wisata, para Pejabat yang belum terkontaminasi,  wisata mengunjungi penjara, dimana mereka diharuskan melihat Narapidana Koruptor, yang sudah Kurus Kering, men derita dan milih mati dari pada hidup. Siapa yang enggak takut Korupsi. Kompasioner jumpa dengan seorang mantan Bupati, yang terkena hukuman Korupsi. Wah malah klimis, gemuk, bahkan sedang mempersiapkan diri katanya untuk maju dalam Pemilihan Anggota Legislatif Pusat.
Inilah gambaran kelemahan yang terjadi di negeri ini, terlalu besarnya peluang Kepala daerah untuk Korupsi. Tentu saja harus ada gebrakan dan pembatasan kewenangan Kepala Daerah, lebih baik sebahagian kewenangan itu, ditarik ke Pusat. Misalnya Pengangkatan Pejabat Echelon II dan III, itu perlu dialihkan dan ditarik ke Pusat, apa gunanya. Agar para Kadis dan Kabid tidak di takut-takuti Bupati dan Walikota. Kalau sudah takut, terpaksa harus sering-sering ngisi pulsa.
Perlu diingat, tertangkapnya Bupati Meranti, yang akhir namanya Adil, yang tidak adil itu. Makmumnya cukup banyak, yang ikut ke Penjara. Dari gestur dan bahasa wajahnya, mereka tidak takut. Yah mungkin mereka masih berfikir, selagi Ayam masih mau Makan Jagung, Matahari masih bisa Terbit. Bagaimana mau Kapok, Perbekalan untuk melintasi  hukuman, uangnya mungkin masih banyak tersimpan. Di Penjara hanya sekedar Makan Tidur. Pemerintah sudah saatnya mempertimbangkan, sebelum enam bulan pasca Pemilihan Kepala Daerah 2024. Penunjukan Pejabat Echelon II dan III, sudah diambil alih Pusat. Paling-paling yang jadi sasaran Kepling dan Pak Lurah. Jabatan Lurah, bisa jadi terkena Tarif Kelurahan Kelas I, Kelurahan Kelas II, dan Kelurahan Kelas III. Tak mungkin juga pengambil alihan penunjukan Lurah,  sampai ke Pusat. Tapi karena Echelon III bisa beralih ke Pusat, Pak Camat terpaksa berani,  harus bisa membela Pak Lurahnya. Agar tidak jadi sasaran bidikan panah kekuasaan. Disini Baperjakat, harus benar-benar bisa dilaksanakan. Pengambil alihan tugas Echelon II dan III itu, bisa menghempang berlangsungnya " Plt Jabatan " Tertentu yang sampai bertahun-tahun, yang penting Pak Bos diuntungkan. Mengapa di Plt.Kan Untuk dihunjuk sebagai pejabat Definitif Echelon II, bapak Plt, itu belum cukup syarat. Sementara Pak Bos butuh dia, yah jalannya harus di Plt.kan bertahun-tahun. Obatnya memang pengangkatan pejabat itu, harus lewat Pusat, agar tidak bisa ditakut-takuti si Pak Bos. Memang Konsekwensinya, kalau halnya diberlakukan seperti ini, memang Pilkada mendatang bisa sepi calon Kepala Daerah.*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H