Tubuhnya terbungkuk, menahan laju usia.
Katanya Aku ini penembak Bren.
Itu waktu masa Londo.
Masa Aku bersedih kehilangan Laila,
Sang Palang Merahku.
Dia yang tidak lagi menyatu
Dengan Selendang Suteranya.
Tak mampu menepis pecahan Mortir
yang tidak bermata.
Gurat Duka Wajah Kopral Kasim
Yang dia seret sejak muda.
Sejak kehilangan kekasihnya Laila.
Kini tubuh renta itu semakin duka,
Yang dia tahu hanya Sapta Marga
Sembari mengusap-usap Bintang Gerilya.
Entah mengapa aku Tak Bersama Laila,
Mengapa aku masih mereguk tua,
Mengapa Tuhan tak mengantar  aku,
Menutup Mata Bersama Dentuman Mortir itu?
Entah mengapa aku harus tahu,
Entah Mengapa aku tak sudi khianati cintanya.
Tak seperti saat ini, yang kami merdekakan dulu
Banyak hati tega menghianati negeri ini,
Niat Perjuangan kami tidak seperti ini dulu.
Siapa saja yang mencemari Merah Putihku ?
Hiruk Pikuk Politik, yang lebih banyak dusta.
Siapa yang sudah membunuh cita-cita kami,
Untuk mensejahterakan anak negeri ini ?.
Komandanku, Kapten Nurdin, Ngatno,
Murad, mereka bersimbah darah didepanku.
Mereka katakan, teruskan perjuangan..........
Berjuang untuk siapa lagi ? kami putus asa.
Orang yang Panen Hasil Korupsi ?
Orang yang tidak tahu sepedih apa
Pertarungan itu, demi kamu.
Kopral Kasim, Air Matanya menitik.
Kopral Kasim tak sudi menghitung waktu
Berapa hari lagi dia bisa bertahan,
tuk' melihat keburukan itu.
(Mengenang Jasa Pahlawan, Yang sudah berjuang di Pertempuran Merebut Kemerdekaan Negeri ini.
Dengan Pesan, wahai pejabat negeriku. Â Gunung Es di Kutub Tidak Tercipta dalam satu malam).