Mohon tunggu...
Zulfa MuasarohBinti
Zulfa MuasarohBinti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Saya Zulfa, mahasiswi jurusan Perbankan Syariah

Saya Zulfa, mahasiswi jurusan Perbankan Syariah di salah satu PTKIN di Malang.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dewi Kwan Im, Dewi yang Melambangkan Belas Kasih dalam Ajaran Buddha

23 Maret 2022   11:28 Diperbarui: 24 Maret 2022   21:32 7294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
potret saya bersama beberapa teman bersama Bapak Rudi (bonus, kami bertemu turis dari Jerman)


Dalam sensus resmi yang dirilis pada tahun 2020, oleh Badan Pusat Statistik Indonesia pada tahun 2018, 86,7% penduduk Indonesia beragama Islam, 10,72% Kristen, 1,74% Hindu, 0,77% Buddha, 0,03% Konghucu, dan 0,04%.  Walaupun penganut agama Budha dan Konghucu tidak teramat banyak, rumah ibadah agama-agama tersebut sangat mudah ditemui di tiap-tiap kota, salah satuya di Kota Malang.

Hari Selasa Kemarin, saya berkesempatan untuk mengunjungi Klenteng Eng An Kiong yang bertempat di Jalan Martadinata, Kotalama, Kedungkandang, Kota Malang. Bersama beberapa teman sekelas, saya ajukan surat izin untuk mewawancarai Bapak Rudi, selaku ketua Yayasan Buddha di Klenteng Eng An Kiong.

Klenteng yang didominasi warna merah dengan arsitektur khas Tiongkok ini berdiri megah selama hampir 200 tahun lamanya. Bapak Rudi menyebutkan bahwa pada tahun 2025, usia Klenteng Eng AN Kiong akan mencapai dua abad. Meskipun begitu, bangunan ini masih berdiri dengan gagahnya. Saya ajukan beberapa pertanyaan mengenai sejarah serta filosofi-filosofi yang ada pada tempat ibadah ini. 

Ada beberapa hal yang baru saya ketahui, seperti konsep tri dharma yang dianut oleh klenteng tersebut. Tri dharma yang dimaksudkan adalah tempat ibadah ini menaungi tiga agama sekaligus, yaitu Budha, Taoisme, juga Konghuchu. Menaungi tiga agama berbeda, klenteng ini menunjukkan seberapa kuatnya toleransi yang dijunjung. Masing-masing penganut beribadah dengan rukun, saling menyapa satu sama lain, juga merawat klenteng dengan begitu baik.

"Ini, aksara Cina yang tertera di dinding ini Mbak, merupakan daftar nama donatur yang membantu kami merenovasi serta membangun klenteng sehingga bisa berdiri sampai saat ini. Kalau Mbak mau menghitung berapa jumlah donaturnya, per tiga suku kata itu milik satu orang. Nama orang dalam aksara Cina itu terdiri dari tiga suku kata Mbak," Bapak Rudi menjelaskan dengan mata melengkung. Saya tebak, ia terus tersenyum dibalik masker ketika memberi penjelasan kepada saya dan teman-teman. "Banyak sekali Mbak daftarnya, ini sudah ditulis dari tahun 1903, hingga saat ini."

Saya terkekeh, kemudian saya ikuti langkah lelaki yang saya perkirakan telah mencapai usia setengah abad itu ketika ia membawa kami kepada pintu masuk Klenteng. "Mbak pasti sudah sering lihat bagaimana umat kami ketika memulai ibadah," Pak Rudi menebak. Ia mengambil dupa, tiga buah dupa panjang, lalu membakarnya di atas lentera. "Kita ambil tiga sebagai perumpamaan bumi, langit, dan kita sendiri. kita bakar dupanya, namun, jangan ditiup untuk mematikan api tersebut."

Salah satu teman saya menanggapi, "kenapa Pak?"

potret saya yang tengah mewawancarai Bapak Rudi
potret saya yang tengah mewawancarai Bapak Rudi

"Sebab mulut manusia itu kotor, kita kibaskan saja, ya." Pak rudi menjawab ramah, ia melangkahkan kakinya menuju wadah berisi abu yang berada tepat di depan Klenteng. "Kita tancapkan di sini, kita panjatkan doa kepada Tuhan pemilik langit dan bumi. Baru selepasnya kita boleh masuk ke dalam untuk melanjutkan ibadah."

Saya edarkan pandangan ketika Pak Rudi membawa saya masuk lebih dalam. Banyak sekali ornamen kuno ala Tiongkok, menggambarkan dewa dan dewi di masa lalu. "Itu namanya Dewi Kwan Im, dewi yang menggambarkan belas kasih. Dalam ajaran Budha, kami percaya bahwa Dewi Kwan Im memberikan banyak pengorbanan untuk rakyat-rakyat kecil. Tanpa kewelas asihannya, kami tidak akan sejahtera."

Selain menjelaskan tentang dewa dan dewi yang diagungkan, Pak Rudi juga memberi sedikit tahu kami mengenai cara umat tao meminta izin, dan meminta resep obat ketika mereka berada di klenteng. "Ada beberapa cara untuk mengetahui resep. Ada alat yang bentuknya seperti penghapus ini. Mereka memiliki dua sisi. Kita lemparkan. Dua sisi tidak boleh menghadap kepada sisi yang sama. Salah satunya harus terbalik. 

Setelah berhasil, kita ambil stik-stik panjang yang berisi nomor ini Mbak. Kita kocok sampai jatuh satu stik, apabila telah jatuh, kita lihat nomornya. Nah, ini jatuh pada nomor 28. Berarti resep untuk Mbak ada di kotak nomor 28." Pak Rudi berjalan menghampiri kotak berisi tulisan resep yang juga menggunakan aksara Cina. "Kalau umat kami biasanya langsung membawa resep ini ke toko obat herbal Cina, mereka akan langsung resepkan obat kepada kami."

Tidak sampai di sana, Pak Rudi juga menjelaskan beberapa kolase bakti yang berada pada dinding kelnteng. "Mbak bisa lihat di sana, itu adalah bakti yang harus dilakukan umat manusia. Mereka harus menurut kepada orang tua, berkorban, melakukan kebajikan selama hidup. Saya pikir seluruh umat beragama memiliki dasar ajaran yang sama. Begitu juga dalam agama Mbak, ya? Kalau semua orang memperdalam agama, saya yakin tidak akan ada perpecahan."

Kami mengangguk membenarkan. Pak Rudi masih setia menaikkan telunjuknya guna menjelaskan satu persatu gambar kepada kami. "Sebetulnya gambar di sini lebih bagus Mbak. Sayangnya pada tahun 1965, ketika ada peristiwa G30S/PKI, gambar kami harus dihapus dengan paksa. Kami terlalu takut diangkap penganut komunis, takut ditangkap, begitu. Lalu untuk sementara kami hapus dan kami gambar lagi setelah keadaan membaik, namun tidak bisa sebagus dulu."

Saya cukup sedih mendengarnya, namun, tidak lama setelah itu Pak Rudi kembali terkekeh. "Tapi itu dulu ya, ketika masalah politik sedang buruk. Sekarang saya yakin orang-orang sudah pada mengerti akan toleransi."

Yang diktakan Bapak Rudi benar. Orang-orang sudah mulai mengerti akan perbedaan. Memang seharusnya begitu. Kami hidup berdampingan tidak sendirian. Kami hidup dan berjalan bersamaan. Tidak seharusnya saling tuduh, saling melukai, sampai-sampai menghina perbedaan agama yang dipeluk tiap manusia. Sejatinya, apapun kepercayaan yang dianut, seperti kata Pak Rudi tadi, dasar ajaran suatu agama adalah kebaikan. Menghargai sesama. Dalam agama apapun, menyakiti manusia lain adalah dosa.

Pertemuan saya akhiri dengan mengucap banyak terima kasih, Pak Rudi membalas kami dengan ucapan yang sama. "Nanti saya undang Mbak Mas sekalian ketika ada acara besar, hihi."

  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun