Mohon tunggu...
Zulfa MuasarohBinti
Zulfa MuasarohBinti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Saya Zulfa, mahasiswi jurusan Perbankan Syariah

Saya Zulfa, mahasiswi jurusan Perbankan Syariah di salah satu PTKIN di Malang.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Ibu yang berada di Bawah Langit Biru

4 Maret 2022   00:13 Diperbarui: 10 Maret 2022   20:40 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Potret Ibu (tangan adik saya berada di belakang)

Hendak saya deskripsikan mengenai seorang wanita yang memiliki banyak pesona, ibu saya tercinta.

Mungkin apabila ibu saya tahu kalau saya memiliki tugas untuk mendeskripsikan beliau, beliau akan meminta disebutkan hal-hal yang cantik saja. Hemm, tentu sebagai seorang putri pertama yang telah merasakan pahit manis bersama, akan saya ungkap segala yang saya dapat selama saya hidup, selama delapan belas tahun ini.


Awalnya dulu mungkin ya, ibu saya adalah wanita luar biasa berusia empat puluh tujuh tahun ini. Sudah lumayan tua untuk wanita yang memiliki anak perempuan pertama yang baru menginjak usia delapan belas seperti saya. Ibu sendiri pernah berkata kalau masa muda beliau dihabiskan untuk bekerja, memenuhi keinginan semasa remaja yang tidak dapat diberikan kakek dan nenek saya sebab mereka hidup dalam keluarga yang tidak teramat kaya.

Ibu saya adalah anak kedua dari lima bersaudara. Ibu memiliki seorang kakak perempuan yang kerap saya panggil bude dan dua adik lelaki serta satu adik perempuan. Ibu dan saudara-saudaranya sudah merasakan banyak sulit sejak kecil, belum sampai pada sekola menengah akhir, ibu saya memutuskan untuk putus sekolah. Sebab tidak ada biaya yang cukup untuk menggapai mimpi ibu saya, ibu terpaksa bekerja diusia belia.

Saya tidak terbayang seberapa sulitnya masa itu, dimana teman-teman ibu tengah bersemangat mengikat tali sepatu, merapikan baju, berangkat dengan semangat di bawah naungan langit biru, sementara ibu mengayuh sepeda untuk bekerja di pabrik. Ketika teman-temannya pulang dengan ilmu, ibu bersimbah keringat dan diselimuti banyak pegal pada sendi dan tulangnya.

Saya menyayangkan itu, pasal ibu yang harus merelakan masa mengemban ilmunya yang berharga. Namun, waktu telah berlalu, dengan berbekal ijazah SMP-nya, ibu berjuang untuk bekerja di satu pabrik, di dekat rumah kami. Dengan gaji yang cukup untuk membahagiakan diri, yang cukup untuk di sumbangkan sedikit demi sedikit guna memperbaiki rumah kakek dan nenek, ibu cukup bangga menceritakan kisahnya kepada saya.

Saya selalu salut dengan perjuangan ibu yang tidak ada habisnya. Selepas bekerja dan berhasil membeli barang-barang yang dia damba dengan jerih payahnya, ibu mengenal ayah saya di usia dua puluh tujuh menuju dua puluh delapan. Dalam kurun waktu singkat, ibu dan ayah menikah sebab mereka menemukan kecocokan satu sama lain.

Jarak usia ayah dan ibu tidak terlampau jauh, hanya tiga tahun. Ibu dan ayah dapat saya deskripsikan sebagai pasangan paling serasi dan bahagia seluruh dunia. Sebab ayah yang begitu menghormati wanita, juga ibu yang begitu mengerti kebutuhan ayah kapanpun mereka bersama. Ayah dan ibu bersama sejak tahun 2002, mereka memiliki anak pertama, yaitu saya, pada tahun 2003. Tak lama setelahnya, di tahun 2005, saya memiliki adik lelaki.

Kami berempat hidup bahagia dengan kondisi ekonomi berkecukupan. Tiap akhir pekan, ketika saya masih TK, ibu dan ayah sering mengajak saya ke pusat perbelanjaan di tengah kota. Saya begitu bahagia, saya menjadi anak paling bahagia di usia saya, hehe.

Saya, ibu, ayah, dan adik saya adalah gambaran keluarga yang tidak kurang akan kasih sayang walau ekonomi kami tidak stabil, walau begitu juga, saya rasa kami cukup senang dengan kondisi yang demikian. Tidak yang kaya sekali, namun juga tidak miskin, pas intinya.

Sayang, ayah memilih untuk kembali ke rumah Allah pada awal tahun 2017.

Perjuangan untuk menghidupi diri sendiri dan anak-anaknya dimulai.

Saya begitu ingat, ibu saya sempat tidak mau makan selama satu minggu setelah ayah saya pergi. Hingga saya sendiri termakan emosi, saya ingin marah, namun saya sadar, kehilangan itu sangat menyakitkan, sehingga ibu yang sekuat baja saja dapat melebur bersama debu yang bertebaran.

Saya berinisiatif untuk membelikan ibu jajanan di sekolah saya, ibu tersenyum dan mulai menyadari bahwa dunia masih memerlukan ibu di dalamnya. Saya dan adik saya perlu disinari, saya dan adik saya perlu didampingi. Sejak saat itulah ibu bangkit, berusaha sekuat tenaga untuk tegar, menjadi kepala keluarga, lantas mulai menghadapi pahitnya langkah-langkah selanjutnya.

Hidup bersama ibu memang segalanya, namun ada masa dimana saya sempat tidak sejalan dengan pendapat ibu, saya ingin menyangkalnya sebab seluruh kekhawatiran ibu selalu menghanyutkan beliau. Padahal belum tentu kekhawatiran itu terjadi di masa depan.

Saya bersitegang dengan ibu saya ketika saya hendak menentukan kemana saya akan melanjutkan studi. Waktu itu saya memiliki mimpi yang tinggi, saya ingin bersekolah di luar kota. Saya putuskan untuk mengejar mimpi saya ke daerah istimewa, Yogyakarta. Ibu menentang keputusan saya dengan telak, sebab daerah istimewa begitu jauh dengan tempat ibu berada. Saya yang masih terlalu kecil akhirnya membalas tentangan tersebut dengan tangis, pilu membiru menyelimuti saya. Saya berpikir kalau ibu terlalu egois, ternyata saya saja yang teramat apatis. Saya tidak pikirkan bagaimana rumah, bagaimana perasaan ibu, bagaimana keadaan saya sendiri seandainya saya terlalu jauh dari kasih sayangnya.

Sekarang saya mengerti mengapa ibu berkata demikian. Terkadang yang ibu saya khawatirkan tidak terjadi, namun, tidak dipungkiri kalau beberapa terjadi juga.

Saya sungguh menghormati seluruh atensi yang diberikan kepada saya, seluruh kasih, seluruh usaha yang diberikan tulang rapuh ibu untuk saya agar saya dapat berdiri di sini dengan baju yang bagus, dengan sepatu yang cantik. Saya benar-benar tidak tahu bagaimana cara membalasnya, saya  ingin menjadi kaya raya dan membeli seluruh dunia untuk ibu. Saya ingin membeli pesawat, saya ingin memiliki gedung tinggi, namun, ibu saya tidak menginginkan itu semua. Ibu hanya tidak ingin saya berakhir seperti ibu yang putus sekolah. Ibu ingin saya merasakan indahnya menerima ilmu dan pengetahuan, ibu ingin diberi ilmu yang saya pelajari. Bahkan di usianya yang hampir mencium angka lima puluh, ibu masih ingin belajar, beliau masih ingin mengisi waktunya untuk ilmu yang belum sempat dipelajari.

Ibu saya ... ibu paling hebat dan luar biasa kan? Hihi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun