Sayang, ayah memilih untuk kembali ke rumah Allah pada awal tahun 2017.
Perjuangan untuk menghidupi diri sendiri dan anak-anaknya dimulai.
Saya begitu ingat, ibu saya sempat tidak mau makan selama satu minggu setelah ayah saya pergi. Hingga saya sendiri termakan emosi, saya ingin marah, namun saya sadar, kehilangan itu sangat menyakitkan, sehingga ibu yang sekuat baja saja dapat melebur bersama debu yang bertebaran.
Saya berinisiatif untuk membelikan ibu jajanan di sekolah saya, ibu tersenyum dan mulai menyadari bahwa dunia masih memerlukan ibu di dalamnya. Saya dan adik saya perlu disinari, saya dan adik saya perlu didampingi. Sejak saat itulah ibu bangkit, berusaha sekuat tenaga untuk tegar, menjadi kepala keluarga, lantas mulai menghadapi pahitnya langkah-langkah selanjutnya.
Hidup bersama ibu memang segalanya, namun ada masa dimana saya sempat tidak sejalan dengan pendapat ibu, saya ingin menyangkalnya sebab seluruh kekhawatiran ibu selalu menghanyutkan beliau. Padahal belum tentu kekhawatiran itu terjadi di masa depan.
Saya bersitegang dengan ibu saya ketika saya hendak menentukan kemana saya akan melanjutkan studi. Waktu itu saya memiliki mimpi yang tinggi, saya ingin bersekolah di luar kota. Saya putuskan untuk mengejar mimpi saya ke daerah istimewa, Yogyakarta. Ibu menentang keputusan saya dengan telak, sebab daerah istimewa begitu jauh dengan tempat ibu berada. Saya yang masih terlalu kecil akhirnya membalas tentangan tersebut dengan tangis, pilu membiru menyelimuti saya. Saya berpikir kalau ibu terlalu egois, ternyata saya saja yang teramat apatis. Saya tidak pikirkan bagaimana rumah, bagaimana perasaan ibu, bagaimana keadaan saya sendiri seandainya saya terlalu jauh dari kasih sayangnya.
Sekarang saya mengerti mengapa ibu berkata demikian. Terkadang yang ibu saya khawatirkan tidak terjadi, namun, tidak dipungkiri kalau beberapa terjadi juga.
Saya sungguh menghormati seluruh atensi yang diberikan kepada saya, seluruh kasih, seluruh usaha yang diberikan tulang rapuh ibu untuk saya agar saya dapat berdiri di sini dengan baju yang bagus, dengan sepatu yang cantik. Saya benar-benar tidak tahu bagaimana cara membalasnya, saya  ingin menjadi kaya raya dan membeli seluruh dunia untuk ibu. Saya ingin membeli pesawat, saya ingin memiliki gedung tinggi, namun, ibu saya tidak menginginkan itu semua. Ibu hanya tidak ingin saya berakhir seperti ibu yang putus sekolah. Ibu ingin saya merasakan indahnya menerima ilmu dan pengetahuan, ibu ingin diberi ilmu yang saya pelajari. Bahkan di usianya yang hampir mencium angka lima puluh, ibu masih ingin belajar, beliau masih ingin mengisi waktunya untuk ilmu yang belum sempat dipelajari.
Ibu saya ... ibu paling hebat dan luar biasa kan? Hihi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H