Mohon tunggu...
Zulfakriza Z.
Zulfakriza Z. Mohon Tunggu... Dosen - Dosen yang senang ngopi tanpa gula dan tanpa rokok

Belajar berbagi lewat tulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Refleksi Satu Bulan Bencana Gempa Pidie Jaya

8 Januari 2017   07:43 Diperbarui: 8 Januari 2017   08:19 749
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar salah satu lantai rumah yang retak akibat gempa (koleksi pribadi)

Rasanya masih segar dalam ingatan kita tentang gempa bumi di Pidie Jaya yang terjadi lebih kurang sebulan yang lalu. Tepatnya, tanggal 7 Desember 2016 pukul 05.03 WIB, semua kita dan khususnya masyarakat di Pidie Jaya dan sekitarya dikejutkan dengan gempa bumi yang berkekuatan M6,5 pada kedalaman 10 km. 

Kejadian gempa bumi yang menguncang wilayah Pidie Jaya, Pidie dan Bireuen waktu itu merupakan suatu hal yang memilukan. Badan Nasional Penanggulangan Bencana merilis jumlah korban yang meninggal dunia akibat tertimpa bangunan mencapai 104 orang, 11.000 unit rumah dan bangunan rusak serta kerugian ditaksi mencapai Rp. 1,9 Triliun (Harian Kompas, 27-12-2016). Gempa bumi ini tergolong kedalam gempa bumi yang merusak.

Hasil survey yang dilakukan oleh Badan Geologi beberapa hari setelah gempa bumi terjadi mengungkapkan bahwa wilayah Pidie Jaya dan sekitarnya tersusun dari batuan aluvial yang relatif muda dan komposisinya masih sangat lunak. Kondisi ini mengakibatkan penguatan goncangan dipermukaan sampai enam kali, sehingga memicu terjadinya likuifaksi, retakan dan rekahan di permukaan. 

Fenomena likuifaksi akibat gempa bumi adalah peristiwa hilangnya kekuatan lapisan pasir lepas akibat meningkatnya tekanan pori air karena menerima goncangan gempa bumi. 

Kemunculan rekahan dan keluarnya air beserta pasir dari dalam tanah adalah salah satu fenomena likuifaksi. Seperti yang terjadi di Gampong Rhieng Krueng, Pantai Manohara, Pantai Lancang dan beberapa lokasi lainnya.

Selain kondisi tanah yang relatif lunak, banyakya korban jiwa pada saat terjadi gempa bumi di Pidie Jaya dikarenakan kondisi bangunan rumah tinggal dan banguan publik belum sesuai dengan kaidah bangunan aman gempa. 

Banyak ditemukan dilapangan bagunan-bangunan yang gagal secara struktur, baik bangunan yang satu lantai terlebih lagi bangunan dua lantai. Sebuah banguan yang dirancang dengan konstruksi lemah akan gagal dan tidak mampu menahan goncangan dari gempa bumi.

Pelajaran Berharga

Bagi kita yang saat ini diberikan kemampuan untuk berfikir dan membaca setiap hal yang terjadi di muka bumi, tentu bisa merenung dan mencari tahu tentang pelajaran apa yang bisa diambil dari setiap kejadian. Tentu saja sekarang ini kita sedang fokus pada kejadian gempa bumi di Pidie Jaya. Sehingga kita mencoba mencari tahu, Apa yang menjadi pelajaran penting dari gempa bumi yang terjadi di Pidie Jaya pada 7 Desember 2016 lalu.

Setidaknya ada dua sisi dari kejadian gempa bumi ini yang memberikan pelajaran kepada kita. Sisi ketauhidan dan sisi ilmu pengetahuan khususnya ilmu kebumian. Sebagai makhluk yang beriman, kita harus yakin seyakin-yakinnya bahwa kejadian ini adalah pertanda Kemahakuasaan Allah swt Dzat Yang Maha Berkehendak. 

Setiap hal yang terjadi di muka bumi ini sudah ada yang mengatur. Bahkan sehelai daun pun yang jatuh dari dahan sebatang pohon pasti sudah ada yang menentukan. Akan tetapi, kita manusia sebagai makhluk yang dikarunia akal pikiran punya hak untuk menelaah setiap fenomena alam yang terjadi.

Sebagai seorang yang pernah belajar dan memahani sedikit tentang ilmu kebumian, penulis mencoba mengambil beberapa pelajaran dari kejadian gempa bumi di Pidie Jaya. Walaupun sebenarnya, gempa bumi di Pidie Jaya bukanlah yang pertama sekali terjadi di Aceh. Tercatat beberapa kejadian gempa bumi besar bahkan ada diantaranya yang memicu gelombang tsunami, seperti yang terjadi pada 26 Desember 2004.

Sumber gempa bumi pada 7 Desember lalu terjadi pada daerah yang tidak pernah diduga sebelumnya. Sesar aktif di daerah ini belum terpetakan secara baik. Bahkan Tim Revisi Peta Bahaya Gempa Bumi Indonesia tidak memperhitungkan adanya sesar aktif di Pidie Jaya untuk menjadi masukan dalam revisi Peta Bahaya Gempa Indonesia. 

Pada awalnya sempat berkembang pendugaan Sesar Samalanga Sipopok sebagai sumber terjadinya gempa bumi di Pidie Jaya. Namun setelah melihat sebaran gempa susulan, pola kerusakan bangunan dan pemutakhiran posisi gempa utama, para ahli kegempaan yang tergabung dalam Pusat Studi Gempa Nasional (PusGen) mencoba menduga bahwa ada sesar lain yang belum dipahami dengan baik. Mereka menyebutnya dengan nama Sesar Pidie Jaya (Harian Kompas, 24-12-2016).

Secara geologi, wilayah pantai utara Aceh tersusun dari endapan aluvial yang tebal dan umurnya relatif muda. Endapan yang tebal ini menjadi salah satu kendala sehingga sesar/patahan tidak teridentifikasi karena tertutupi oleh endanpan. 

Ada sebuah dokumen ilmiah yang telah dipublikasikan oleh Barber & Crow tahun 2005 dalam buku Sumatra: Geology, Resources and Tectonic Evolution yang menjelaskan adanya beberapa sesar di pantai utara Aceh. Akan tetapi pemetaan sesar yang dilakukan hanya berdasarkan kajian geologi secara regional. Untuk itu, pendalaman penelitian tentang sumber gempa menjadi penting untuk dilakukan secara terpola dan berkelanjutan.

Di sisi lain, gempa bumi yang terjadi di Pidie Jaya tergolong salah satu gempa yang tidak terlalu kuat jika dibandingkan dengan gempa bumi yang terjadi di Selandia Baru pada 13 November 2016 dengan magnitudo 7,8. Kedua gempa tersebut terjadi pada kedalaman yang dangkal. 

Akan tetapi yang menarik disini adalah gempa yang terjadi di Selandia Baru tercatat 2 orang korban jiwa. Sebuah angka yang relatif kecil jika dibandingkan dengan korba jiwa yang terjadi di Pidie Jaya pada 7 Desember lalu. Dalam hal ini, perlu menjadi pembelajaran bagi kita untuk meningkatkan mutu bangunan yang aman terhadap gempa, sehingga tidak menimbulkan korban yang banyak.

Bangaimana dengan Banda Aceh?

Selanjutnya yang menjadi perhatian kita adalah bagaimana dengan daerah-daerah lain yang sudah terpetakan sesar aktif di dekat wilayahnya. Seperti halnya Kota Banda Aceh yang diapit oleh dua sesar aktif yang merupakan kemenerusan dari Zona Sesar Sumatera. Kedua sesar ini sudah diperhitungkan sebagai sumber gempa yang dimasukkan dalam Peta Bahaya Gempa Bumi Indonesia. 

Kedua sesar ini dikenal dengan nama Segmen Seulimum dan Segmen Aceh. Dalam kondisi ini, Banda Aceh menjadi salah satu kota yang berpotensi terjadinya gempa bumi. Pernyataan ini tidak bertujuan untuk menakut-nakuti, akan tetapi sebagai pemahaman bagi kita bahwasanya kita bermukim pada wilayah yang rawan gempa. Untuk itu menjadi penting bagi kita untuk mengambil pelajaran dari kejadian gempa Pidie Jaya sebagai langkah untuk waspada dan kesiapsiagaan.

Tentu tidak berharap dan kita selalu berdoa agar gempa bumi tidak terjadi di Banda Aceh. Itu merupakan harapan kita semua. Akan tetapi tidak ada salahnya kita berikhtiar untuk melakukan upaya mitigasi dan langkah pengurangan risiko bencana. 

Sudah saatnya kita melakukan pengecekan kembali pada setiap gedung dan bangunan yang ditempati. Apakah masih layak atau perlu dilakukan penguatan, sehingga disaat gempa bumi terjadi bangunan yang ditempati tidak rusak dan roboh. Terutama sekali bangunan-bangunan publik seperti rumah sakit, sekolah, perkantoran, tempat ibadah dan pertokoan.

Kita sama-sama sudah memahami bahwa memprediksi kejadian gempa bumi di luar kemampuan manusia, dan kita sudah mengetahui bahwa kita hidup berdekatan dengan sumber gempa bumi. Sehingga sebuah keharusan untuk selalu bersiap-siaga ketika gempa kembali menyapa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun