Mohon tunggu...
Zulfa Izdihar
Zulfa Izdihar Mohon Tunggu... -

Suka nulis hal-hal yang menurut saya menarik.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Anda Orang Tua Tunggal? Sebaiknya Baca Ini!

31 Agustus 2017   13:43 Diperbarui: 1 September 2017   05:23 3640
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: http://www.hipwee.com

Aku pernah menjadi guru les privat untuk anak-anak SD-SMP. Memang impianku dari dulu adalah mengajar anak-anak. Jadi aku menikmati pekerjaan ini di samping kegiatan kuliahku yang padat.

Biasanya aku mengajar murid perempuan karena, yah aku kan perempuan. Anak perempuan biasanya minta mentor perempuan, begitu pula sebaliknya. Tapi tidak juga. Nyatanya aku punya dua murid lelaki. Salah satu murid lelakiku itu bernama Aria.

Pertama kali mendapat panggilan tugas ke rumah Aria, aku berpikir bahwa anak ini pastilah perempuan. Dilihat dari namanya saja sudah ketahuan.

Tetapi ia adalah seorang anak lelaki.

Ya. Anak lelaki kelas 4 SD bertubuh agak kurus, tidak terlalu tinggi dengan wajah yang selalu dibayangi kegelisahan. Aku langsung menangkap kesan pertama dari raut wajah Aria bahwa ia tidak suka bimbingan belajar. Aku tahu ia membenci les. Ia merasa terpaksa untuk mengikuti kursus ini. Aku tahu karena aku pernah menjadi dia. Aku pernah menjadi seorang murid yang merasa tertekan karena harus mengikuti bimbingan tambahan setelah lelah mengikuti kegiatan belajar di sekolah. Semua muridku---tanpa terkecuali---selalu memasang wajah masam saat pertama kali melihatku. 

Aku pikir mereka akan berkata begini dalam hati, "Oh astaga, guru les. Aku harap cara mengajarnya tidak menyebalkan seperti guru-guru di sekolah," pikir aku. Setiap kali melihat wajah masam mereka, aku selalu berpikir seperti itu. Lucu juga. Mereka akan tahu bahwa aku bisa menjadi guru yang asyik dan menyebalkan dalam satu waktu. Ya, tergantung muridku juga sih. Apakah ia mau bekerja sama denganku untuk menciptakan suasana belajar yang santai dan kondusif atau ia memutuskan untuk menjadi murid menjengkelkan yang selalu mendorongku untuk bersikap tegas dan keras.

I am a human too, kids. Don't be selfish. You all know that your parents spent a lot of money to help your school tasks. Play me and you'll know the effects.

Jadi aku berusaha memasang senyum semanis mungkin sambil mengulurkan tanganku. "Hei Arel, kenalin. Aku Zulfa. Kalau manggil boleh pakai 'mbak' atau 'kak'. Dibawa santai saja ya belajar sama mbak. Yang penting tetap fokus, oke?"

Aria membalas uluran tanganku tapi tanpa berkata apa pun. Ia hanya memaksakan segaris senyum tipis yang membuatku merasa agak kasihan. Aku tahu, ia pasti merasa malas dan tidak berselera untuk mengikuti kursus hari ini. Rasanya aku seperti melihat diriku sepuluh tahun yang lalu saat aku berumur persis seperti dirinya saat dipaksa untuk kursus privat.

Pertemuan pertama dengan murid-murid les baru selalu aku usahakan sesantai mungkin. Jika mereka ada tugas sekolah, maka aku mengutamakan tugas tersebut untuk diselesaikan terlebih dahulu, lalu aku berusaha mengakrabkan diri dengan mereka. Hal ini bertujuan agar tidak ada rasa canggung yang menyebalkan antara diriku dengan murid les. Terbukti cara ini ampuh karena aku akrab sekali dengan beberapa murid lesku. Sebut saja Tasya, Danny, atau Iliana. Bahkan dua di antaranya sempat follow akun media sosial pribadiku. Ya, sedekat itu. Aku ingin menempatkan diriku sebagai teman bagi mereka dan bukannya mentor yang menjadi momok mereka.

Jadi di pertemuan pertama dengan Aria, aku tidak langsung masuk ke inti pelajaran. Aku memulai aksi basa-basi yang kuusahakan terdengar riang gembira bagi anak SD.

"Dek, kamu ngerasa kesulitan pelajaran apa di sekolah?". Atau "Kalau misalnya kita lagi ngga les dan kamu ngerasa kesulitan, kamu bisa lho tanya mbak lewat chat atau SMS. Nanti langsung mbak kerjain deh," kataku. Tahu sendiri kan anak kecil zaman sekarang sudah punya smartphone. Jadi aku berani bilang begitu agar lebih memudahkan dia juga untuk bertanya. Lihat saja muridku yang lain. Aku tidak memberitahukan nomor teleponku pada mereka, tiba-tiba mereka mengirimkan pesan padaku di WA. Saat kutanya dari mana mereka mendapatkan nomorku, mereka menjawab bahwa mereka telah bertanya pada ibu atau ayah mereka.

Modern betul

Aria hanya mengangguk-angguk sambil mengerjakan soal matematika yang kubuat untuk mengukur kemampuannya. Wajahnya sih kelihatan polos. Namun saat aku perhatikan kaki dan tangannya, banyak bekas luka. Lecet, goresan, lebam, dan lainnya. Apakah ia sering jatuh saat bermain sepeda? Kulihat ada dua sepeda di depan garasi rumahnya.

"Hei, kamu suka main sepeda?" tanyaku tiba-tiba pada Aria untuk mengatasi keheningan.

"Tidak juga. Aku bahkan tidak pernah menggunakan sepeda itu. Memang kenapa mbak?" tanyanya balik.

Aku menggeleng sambil berkata tidak apa-apa dan menyuruhnya kembali mengerjakan soal yang kubuat. Ah sudahlah. Kenapa juga aku repot-repot memikirkan bekas lukanya. Ingat, cukup perbaiki nilainya di sekolah dan bukannya mengurusi urusan lain.

Tetapi susah sekali untuk berusaha tidak-mau-tahu dengan kehidupan pribadi murid les. Aku bekerja sebagai guru les privat di rumah mereka. Jadi mau tidak mau ya aku memperhatikan juga kehidupan keluarganya.

Aku tidak pernah melihat ayah Aria. Padahal aku selalu datang malam hari untuk jadwal lesnya. Seharusnya ayahnya sudah pulang kan?

Aria bilang, ayahnya bekerja di luar kota sehingga jarang pulang ke rumah. Tetapi ia tidak ingat kapan terakhir kali melihat ayahnya. Ouch.

Oh ya, Aria punya satu adik perempuan yang lucu bernama Aliya. Aliya lucu sekali dan ia sudah lancar berbicara padahal usianya baru tiga tahun. Biasanya saat les dimulai, Aliya selalu datang ke kamar Aria (di mana tempat aku dan Aria belajar) dan mulai iseng mengganggu kakaknya. Kelihatannya Aria sayang sekali dengan adiknya karena saat dengan Aliya ia bisa tertawa lepas sambil balik menggoda adiknya. Kalau sudah begitu, terpaksa ibu Aria menggendong Aliya agar tidak mengganggu jalannya les.

Aku baru tahu kalau Aria dan keluarganya dulunya adalah non muslim. Setelah dua bulan aku menjadi guru les, Aria bercerita padaku bahwa ia dan keluarganya sudah menjadi mualaf dan masuk Islam. Sehingga saat naik ke kelas empat, ia sudah bisa mengambil mata pelajaran agama Islam di sekolahnya.

Dengan bersemangat ia bercerita kalau dia, ibunya, dan adiknya sudah menerima sertifikat resmi dari salah satu masjid terbesar di Surabaya yang menyatakan bahwa keluarganya telah memeluk Agama Islam. Saat ia menunjukkan sertifikat itu, lagi-lagi tidak ada nama ayahnya.

Ada alasan mengapa Ibu Aria bersikeras menjadwalkan les Aria pada malam hari. Ternyata Ibu Aria bekerja dari pagi hingga malam di salah satu dealer sepeda motor sehingga aku harus datang saat ibunya sudah pulang ke rumah yaitu jam tujuh malam. Ini jawaban yang kudapat saat aku berusaha memindahkan jadwal les Aria ke sore hari karena saat malam hari biasanya ia mengantuk dan tertidur di meja belajar.

Mengapa ibunya lembur tiap malam padahal Ayah Aria aktif bekerja? Seharusnya masih menafkahi kan? Hal ini pula yang membuatku heran. Maafkan intuisiku yang terkesan mencampuri kehidupan orang. Tetapi kehidupan keluarga satu ini lumayan aneh bagiku selama aku menjadi guru les privat. Aku tidak biasa melihat anak umur sembilan tahun ditinggal di rumah sendirian dengan seorang asisten rumah tangga yang tidak bisa memasak dan hanya mengandalkan makanan beku atau makanan instan. Di mana gizinya?

Aku yakin hingga saat ini bahwa sebenarnya Ayah dan Ibu Aria telah (maaf) bercerai karena pertentangan agama (asisten rumah tangga Aria yang bercerita padaku bahwa keluarga besar Ibu Aria seluruhnya adalah muslim dan keluarga besar ayahnya adalah non muslim. Sehingga ketika menikah, Ibu Aria terpaksa mengikuti agama suaminya namun pertentangan kedua pihak keluarga membuat mereka bercerai). 

Lalu kenapa tiba-tiba Ibu Aria mantap pindah ke agamanya yang semula---tanpa bukti bahwa ayahnya juga pindah ke agama Islam? Mungkin ibu Aria belum siap bercerita kepada anak-anaknya soal ini. Tapi aku yakin karena di ruang tengah pun tidak tampak foto Ayah Aria. Perceraian memang memberikan dampak yang tidak baik bagi perkembangan psikologis anak. Aku paham jika Ibu Aria menunda berita tak menyenangkan ini kepada anaknya dengan dalih Ayah Aria bekerja di tempat yang jauh dan jarang bisa pulang.

Seminggu kemudian, asisten rumah tangga yang sering mengajakku berbicara saat menunggui Aria mengerjakan tugas tiba-tiba keluar. Kata Aria, asisten rumah tangga itu bukannya keluar tapi dipecat oleh ibunya sendiri. Segera kutahu dari Aria, alasan sebenarnya mengapa ia dipecat. Agaknya asisten rumah tangga itu berbicara terlalu banyak padaku soal hal-hal privasi rumah tangga keluarga ini.

Setelah asisten rumah tangga itu keluar, praktis Aria jadi lebih sering sendirian setelah pulang sekolah. Ibunya memberi fasilitas berupa smartphpone canggih dengan merek ternama agar ia tak bosan. Tetapi keputusan ini sepertinya salah karena kini Aria punya kebiasaan buruk yaitu selalu memainkan smartphone-nya dan bukan berinteraksi dengan teman-teman seusianya di luar rumah.

Ibu Aria sangat tegas soal penggunaan smartphone ini. Jadi, ia selalu  menyita smartphone-nya jika ia tidak mau les dengan serius. Biasanya Aria menurut dan menyerahkan smartphone itu  pada ibunya.

Namun hari itu berbeda

Pertama kalinya kulihat Aria yang biasanya penurut menjadi sesosok anak bandel dan keras kepala. Ia tidak ingin menyerahkan satu-satunya media yang menemaninya saat ia kesepian di dalam rumah. Aria balik mengancam dan berteriak pada ibunya. Jika smartphone-nya diambil, ia tidak mau mengikuti les hari itu.

Terjadi adu mulut antara anak dan ibu. Aku yang berada di satu ruangan dengan mereka merasa canggung dan tidak tahu harus berbuat apa. Aku menahan diri tidak ikut campur urusan ibu dan anak ini. Rasanya seolah-olah mereka berdua menganggapku tak ada dan berteriak sesuka mereka. Ibu tetap tegas pada pendiriannya, sedangkan si anak bersikeras pada keinginannya.

Sang ibu yang sepertinya lelah baru pulang kerja dan disuguhi kebandelan anaknya, mulai terlihat emosi. Ia membanting tasnya dan menyeret kaki anaknya dari kamar sampai ruang tengah. Pemandangan yang mengerikan. Sungguh, aku tidak percaya bahwa Ibu Aria dapat melakukan hal itu. Apalagi anaknya menjerit-jerit kesakitan tapi sepertinya sang ibu tidak peduli dan tetap menyeret kaki Aria. 

Aria menangis keras dan ibunya menarik Aria berdiri lalu menarik tangannya. Aku mengikuti dari belakang karena tidak tega muridku diperlakukan seperti itu. Bagaimana pun, Aria hanya anak-anak yang menginginkan hiburan. Aku paham mengapa ia menolak menyerahkan salah satu media hiburan baginya. Ia kesepian!

Ibu Aria mulai mengguncang tubuh anaknya sambil memukul bagian tubuhnya. Aku berusaha melerai namun ibunya malah melotot tajam ke arahku sehingga aku menjadi ragu akan posisiku. Astaga, aku ingat. Ya, aku hanya guru les. Tanpa suara, aku kembali ke kamar Aria dan mengambil tas serta jaketku. Aku berusaha berjalan tenang di antara suara tangisan dan teriakan amarah di ruang tengah. Sulit sekali untuk pura-pura tenang karena Aria terus menangis saat dipukuli ibunya seolah meminta bantuan dariku. Terjawab sudah dari mana bekas luka di tubuh Aria. Bekas luka itu bukan berasal jatuh dari sepeda, jatuh di taman, atau di mana pun. Mungkin saja ibu Aria terlalu keras menyakiti fisik Aria.

Tapi aku tidak bisa ikut campur. Ibunya terlihat tidak suka jika diriku berada di antara mereka saat itu. Jadi aku hanya menggumamkan sesuatu seperti, "Bu maaf saya pulang dulu," kataku. Tetapi aku yakin Ibu Aria dan Aria sendiri tidak mendengar kata-kataku.

Aku keluar dari rumah itu dan mulai menyalakan mesin motorku. Di tengah heningnya malam, aku berusaha melupakan kejadian itu. Malam itu juga, aku memutuskan hubungan kerja dengan ibu Aria melalui lembaga bimbingan belajar privat yang memperkerjakan diriku.

Kesimpulan:

Saya paham beban orang tua dengan status sebagai single parent memang cukup berat. Tetapi bukan berarti beban itu bisa disalurkan kepada anak dengan cara yang keliru. Ketika orang tua merasa lelah dan penat cobalah untuk mengajak anak ke taman hiburan atau destinasi wisata lain saat libur akhir pekan . Hal itu bisa mempererat jalinan kasih sayang antara orang tua dan anak.

Mempunyai orang tua yang tidak lengkap juga bukan hal yang mudah bagi anak. Anak akan kehilangan sosok ibu atau ayah yang selama ini posisinya digantikan oleh satu pihak saja. Untuk kasus ibu Aria, jangan membuat anak korban broken home menjadi semakin jauh dari keluarga. Kekerasan yang tidak berdasar akan membuat anak terus mengingat orang tuanya dengan cara yang salah sehingga memberinya alasan untuk membenci keluarganya. Hal tersebut akan berdampak buruk bagi masa depan anak. Bisa jadi, di kemudian hari ia akan mencari 'keluarga-keluarga' lain yang mau menerimanya (geng/kelompok-kelompok jalanan) yang memberikan pengaruh buruk.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun