Mohon tunggu...
Zulfa Izdihar
Zulfa Izdihar Mohon Tunggu... -

Suka nulis hal-hal yang menurut saya menarik.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Anda Orang Tua Tunggal? Sebaiknya Baca Ini!

31 Agustus 2017   13:43 Diperbarui: 1 September 2017   05:23 3640
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sang ibu yang sepertinya lelah baru pulang kerja dan disuguhi kebandelan anaknya, mulai terlihat emosi. Ia membanting tasnya dan menyeret kaki anaknya dari kamar sampai ruang tengah. Pemandangan yang mengerikan. Sungguh, aku tidak percaya bahwa Ibu Aria dapat melakukan hal itu. Apalagi anaknya menjerit-jerit kesakitan tapi sepertinya sang ibu tidak peduli dan tetap menyeret kaki Aria. 

Aria menangis keras dan ibunya menarik Aria berdiri lalu menarik tangannya. Aku mengikuti dari belakang karena tidak tega muridku diperlakukan seperti itu. Bagaimana pun, Aria hanya anak-anak yang menginginkan hiburan. Aku paham mengapa ia menolak menyerahkan salah satu media hiburan baginya. Ia kesepian!

Ibu Aria mulai mengguncang tubuh anaknya sambil memukul bagian tubuhnya. Aku berusaha melerai namun ibunya malah melotot tajam ke arahku sehingga aku menjadi ragu akan posisiku. Astaga, aku ingat. Ya, aku hanya guru les. Tanpa suara, aku kembali ke kamar Aria dan mengambil tas serta jaketku. Aku berusaha berjalan tenang di antara suara tangisan dan teriakan amarah di ruang tengah. Sulit sekali untuk pura-pura tenang karena Aria terus menangis saat dipukuli ibunya seolah meminta bantuan dariku. Terjawab sudah dari mana bekas luka di tubuh Aria. Bekas luka itu bukan berasal jatuh dari sepeda, jatuh di taman, atau di mana pun. Mungkin saja ibu Aria terlalu keras menyakiti fisik Aria.

Tapi aku tidak bisa ikut campur. Ibunya terlihat tidak suka jika diriku berada di antara mereka saat itu. Jadi aku hanya menggumamkan sesuatu seperti, "Bu maaf saya pulang dulu," kataku. Tetapi aku yakin Ibu Aria dan Aria sendiri tidak mendengar kata-kataku.

Aku keluar dari rumah itu dan mulai menyalakan mesin motorku. Di tengah heningnya malam, aku berusaha melupakan kejadian itu. Malam itu juga, aku memutuskan hubungan kerja dengan ibu Aria melalui lembaga bimbingan belajar privat yang memperkerjakan diriku.

Kesimpulan:

Saya paham beban orang tua dengan status sebagai single parent memang cukup berat. Tetapi bukan berarti beban itu bisa disalurkan kepada anak dengan cara yang keliru. Ketika orang tua merasa lelah dan penat cobalah untuk mengajak anak ke taman hiburan atau destinasi wisata lain saat libur akhir pekan . Hal itu bisa mempererat jalinan kasih sayang antara orang tua dan anak.

Mempunyai orang tua yang tidak lengkap juga bukan hal yang mudah bagi anak. Anak akan kehilangan sosok ibu atau ayah yang selama ini posisinya digantikan oleh satu pihak saja. Untuk kasus ibu Aria, jangan membuat anak korban broken home menjadi semakin jauh dari keluarga. Kekerasan yang tidak berdasar akan membuat anak terus mengingat orang tuanya dengan cara yang salah sehingga memberinya alasan untuk membenci keluarganya. Hal tersebut akan berdampak buruk bagi masa depan anak. Bisa jadi, di kemudian hari ia akan mencari 'keluarga-keluarga' lain yang mau menerimanya (geng/kelompok-kelompok jalanan) yang memberikan pengaruh buruk.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun