***
Ada satu fenomena yang saya temukan dari para penikmat bila makan di sebuah restoran atau cafe. Begitu makanan dan minuman yang disajikan di hadapannya, yang dilakukan pertama adalah menata letaknya dan memfoto, berkali kali, sampai merasa fotonya pas. Apa tujuannya? Bisa jadi untuk koleksi, tapi lebih banyak untuk dipasang di media sosial, dengan disertai kalimat penjelas.
Bagi Anda yang terobsesi mengunggah foto makanan dan minuman di media sosial, hati-hati. Menurut Dr. Valerie Taylor, psikiater dari Women College Hospital, University of Toronto, Kanada, yang dikutip Viva.co.id. bisa jadi gangguan mental. "Beberapa orang keluar rumah untuk makan, bukan karena memang membutuhkan makanan. Justru hanya demi interaksi di media sosial. Apa yang dimakan, kapan mengunjunginya dan kapan kembali ke tempat tersebut," kata Dr. Taylor.
Kebiasan tersebut bisa jadi gejala gangguan kebiasaan makan atau tanda adanya masalah psikologis. Berupa bentuk obsesi dan keasyikan tidak sehat pada makanan. Lalu, pada beberapa orang yang melihat foto makanan dan dengan mudah tergoda bisa berujung menjadi hingga kegemukan. Studi pada 2012 yang dilakukan oleh tim dari University of Southern California mengungkap kalau sering melihat foto makanan di internet akan merangsang otak untuk makan secara berlebihan.
Memfoto makanan di restoran untuk ini ternyata ada juga dilarang oleh pemilik restoran. Beberapa restoran di luar negeri menerapkan peraturan kalau makanan tidak boleh difoto dan diunggah ke media sosial. Seperti restoran di New York milik Chef Michelin, David Bouley melarang pelanggannya untuk mengambil foto makanan dan minuman yang disajikan. Menurutnya, makanan yang disajikan harus segera dinikmati dan aktivitas mengambil gambar bisa mengganggu pelanggan lain.
Namun, sebaiknya, diri kita sendirilah yang melarang, atau paling tidak mengurangi kebiasaan makan dengan foto yang dipublikasi. Selain tidak baik secara sosial, juga agar takdianggap autis. Ini istilah saya saja. Karena tampaknya hobi semacam ini, bila dianggap ganggugan psikologis, ya diawali dengan gangguan saraf - yaitu ketidakmampuan menerjemahkan gejala sosial sebagai bagian dari kesehatan berpikir.
Okelah. Hidup ini memang pilihan, Sebagai umat beragama, khususnya Islam, Rasulullah sebagai teladan hidup sudah memberikan rambu rambu agar selalu berbagai makanan kepada tetangga - bisa diterjemahkan juga siapa pun. Jadi, kalau siap , ya siap juga seharusnya berbagi. Jangan baaray kalau hanya untuk (Banjar; merangsang selera makan) orang lain. (Zf)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H